Chapter 8

594 35 4
                                    

Lanjut  yaaaa ... for whoever read this one ....

Hope you like it. ENJOY !!!!

Chapter 8

                Anne tetap menunggu di apartemen. Tak banyak yang ia lakukan. Hanya beristirahat, menonton tivi dan makan. Seorang diri di sebuah apartemen mewah dengan sang pemilik yang mempercayakan padanya juga segala kebaikan yang telah diberikan Finnian padanya tanpa meminta balasan membuat Anne bagaikan dalam mimpi. Seumur hidupnya, belum pernah ada yang berbuat baik padanya tanpa pamrih. Semua ada harganya. Terkadang harganya sangatlah mahal. Entah dari mana lelaki ini berasal? Mungkin dari surga. Tapi yang ia tahu dan yakini, tidak ada yang gratis.

                Anne sedang menikmati istirahat siangnya dengan menonton layar datar di dinding, saat terdengar suara bel pintu berdering. Anne terkesiap pucat, ‘Ada tamu!’ Jantungnya langsung berdebar kencang. Pesan Finnian; ia tidak boleh membuka pintu jika ada tamu. Tidak boleh ada yang tahu ia di sini, kecuali kedua kakak Finnian, tentunya.

Jantung Anne semakin berpacu kencang saat dering bel pintu berganti dengan suara kunci yang mencoba membuka pintu. Orang itu memaksa masuk! Pencurikah? Mimpi buruk kalau ia harus berhadapan dengan pencuri. Dengan panik ia segera mencari tempat untuk sembunyi, menyelamatkan diri. Ia kembali ke kamarnya dan bersembunyi di dalam lemari.

                Anne semakin sulit bernafas dengan debar jantung yang tak karuan. Perasaan takut menyiksanya. Terlebih ia kini dapat mendengar suara langkah kaki berat masuk ke dalam. ‘Dia sudah berada di dalam!’

 

Anne semakin ingin lenyap dari sana, saat terdengar pintu kamar tamu dibuka dan merasakan langkah kaki berat memasuki kamar. ‘Kenapa harus kamarnya yang pertama dimasuki!’ rutuknya dan Anne mencoba mengintip. Terlihat lelaki besar berambut hitam ikal sedang mengamati kamarnya, menyapu pandangannya ke seluruh kamar ini. ‘Siapa orang itu?’ Anne semakin ingin menangis. Urin di kandung kemihnya hampir tak sanggup lagi menahan kegugupan dan ketakutannya. Keringatnya mengalir deras di keningnya.

Hanya sesaat, saat akhirnya langkah berat kaki lelaki itu terdengar keluar dari kamar. ‘Ke mana dia sekarang?’ Anne mendengar ia masuk ke kamar lain. ‘Kamar Finniankah?’ ­Haruskah ia menelepon polisi? Tidak boleh, tidak boleh ada polisi. Ia tidak akan berurusan dengan polisi. Akan panjang masalahnya jika ia sampai berurusan dengan mereka. Tidak hanya dengan rekam jejak aksi kriminalnya, tapi juga dengan Charles.

Tiba-tiba lemari terbuka dengan lebarnya mengagetkan Anne.

    “Hai, yang di situ …., kau boleh keluar sekarang,” lelaki itu menyeringai dengan ringannya.

Anne menelan ludah dengan mendongak pucat dan pasrah

    “Tolong jangan bunuh aku ….”

Lelaki itu berkerut kening, “Huh?” dan kembali tersenyum hangat. “Kau pasti Keavy atau mungkin Anne?”

Anne terkatup. ‘Dia tahu namaku! Dari mana dia tahu namaku?’

    “Aku Ray, aku teman serumah Finn,” dengan mengulurkan tangannya.

Anne masih terkatup belum mempercayai. “Teman Finn? Buktikan!” Masih belum beranjak dari lantai lemari.

Ray harus tersenyum geli. “Finn belum cerita tentang aku? Mhmm, ingin bukti apa?”

Unconditional LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang