Chapter 1
Finnian melirik jam tangan Tag Huer-nya, sudah menunjukkan 10:45 pm. Sudah hampir 1,5 jam duduk seorang di sini tanpa hasil. Pengamatan yang dilakukannya malam ini di sebuah Pub kecil bernama McCullens – masih di Dublin juga - sepertinya kurang beruntung. Disapunya sekelilingnya. Pub terlihat ramai seperti biasanya. Pelanggan datang silih berganti dan para pelayan hilir mudik mengantarkan dan melayani tamu. Untunglah dia duduk di sofa sudut yang hampir tak terlihat orang dan tidak mengganggu pengamatannya. Tapi bukan mereka yang menjadi pengamatannya, melainkan pojok panggung tempat para band pub menampilkan pertunjukan mereka.
Sudah menjadi kebiasaannya, sesekali ia akan menyelinap masuk ke pub-pub yang menyajikan penampilan band lokal di seluruh negeri ini. Dari sanalah, jika beruntung, ia akan menemukan bibit-bibit penyanyi baru berbakat yang dapat ia orbitkan menjadi penyanyi professional. Bukan berarti ‘Seashell’ pub milik ayahnya di Sligo kekurangan bintang baru. Tapi ajaran ayahnyalah yang mengatakan, carilah mereka hingga sudut-sudut kota di negeri ini, bahkan yang hampir tak tersentuh sekalipun. Maka iapun sesekali menjelajah main ke pub-pub kecil di segala sudut kota untuk menemukan bibit tersebut. Dan terbukti, ia telah berhasil mengorbitkan dua penyanyi band – satu dari Cork dan satu dari Galway- yang siap meluncurkan album pertama mereka. Ayahnya memang selalu benar.
Tapi sepertinya kali ini bukan milik McCullens, karena setelah 1,5 jam duduk di sini, menghabiskan 3 gelas guiness dan mendengarkan 2 band lokal yang bermain di sini, tidak ada satupun yang masuk dalam kriterianya. Mereka belum siap dalam segala hal.
Ditariknya nafas dalam-dalam dan mulai melonggarkan urat tegangnya untuk menikmati sepenuhnya permainan mereka, tanpa memperhitungkan segala plus minus penilaian penampilannya. Sofa yang diduduki cukup nyaman, membuatnya enggan untuk beranjak dari duduk. Diputuskan untuk tetap di sini sebentar, toh masih terlalu pagi untuk pulang, terlebih pulang ke apartemennya yang sudah sepi dan dingin. Yah, sejak kemarin sore, ia resmi menjadi penghuni tunggal dari apartemennya, setelah hampir 10 tahun ditinggali olehnya dan Ray. Sahabat sehati, segila, dan juga adik iparnya itu, memutuskan untuk pindah ke Swiss meneruskan perusahaan ayahnya di sana. Keputusan yang sempat membuatnya syok dan tak bisa berkata apa-apa, membayangkan harus kehilangan sahabat yang tidak pernah terpisahkan sejak mereka usia 11 tahun. Tapi tidak mungkin ia menghalanginya. Setelah Richard McBride wafat karena sakit jantung, sebagai putra satu-satunya, Ray mengemban wasiat meneruskan perusahaan ayahnya di Swiss. Dan untuk Finnian, melanjutkan apa yang dimulai sang ayah, adalah harga mati, karena iapun menjalankan perusahaan ayahnya sendiri ‘Gan’S Management and Record Company’. Finnian harus melepaskan Ray. Rasanya seperti orang yang harus berpisah dengan kekasih untuk waktu yang lama. Finnian harus tersenyum geli sendiri saat ia mengantarkan Ray di bandara Shannon kemarin, duduk berhadapan di coffee shop menunggu jadwal keberangkatannya. Orang yang melihat pasti akan mengira mereka adalah pasangan kekasih. Tapi percayalah mereka tidak pernah terpikir untuk saling jatuh cinta, karena Finnian 100 persen masih menyukai perempuan dan Ray lebih mencintai Kelly dibanding dirinya! Finnian semakin tak menahan untuk tersenyum sendiri mengingat kemarin sore.
Direguknya cairan beralkohol ringan dari gelas besar yang sudah habis setengahnya.
“Hello …?” Sebuah suara wanita menginterupsinya. Ia sudah mengira, pelayan Greta yang menawarkan mengisi ulang gelasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional Love
RomanceMalam itu ia hanya duduk untuk menikmati band lokal di sebuah pub. Namun ia bertemu dengan seseorang yang akan merubah kehidupannya. "Aku janji, aku akan membawa seorang cewek ke hadapan maa. Tapi bukan cewek yang sembarangan ngambil di jalan maa...