𝔉𝔢𝔲𝔦𝔩𝔩𝔢 | 19

66 13 0
                                    

Mata Jimin yang sipit kini semakin sipit sebab bengkak akibat terus menerus dibuat menangis. Hujan di luar sana terdengar makin deras saja, tidak menyenangkan, tidak mengasikan, tidak menghibur dirinya. Jimin akan terus terlarut dalam kesedihan berhari-hari.

"Aku tidak ingin kau seperti ini. Jimin, kau adalah satu satunya seseorang yang ada untuk putrimu. Mama juga pernah mengalami hal seperti kau rasakan, kehilangan. Tapi tolong berpikirlah dengan bijak untuk ini. Jika kau terus menghindari putrimu sendiri? Anna akan sedih. Kau berjanji untuk membuatnya bahagia, dan Alice adalah anugerah yang Anna berikan untukmu. Anna bertahan untuk anak ini, cintanya, cintamu." suara ibunya menjadi dengungan di rungu Jimin seolah menjadi tuntutan untuknya agar mengerti agar paham jika ada makhluk yang mesti dia jaga keberadaannya.

Ryu Alice, bayi yang ada di dalam gendong ibunya tengah nyaman dengan tepukan pelan. Wajah sang bayi yang cantik dan semuanya hampir semuanya persis seperti Anna. Putih kulitnya bahkan matanya yang indah ketika terbuka. Hazel.

Jimin menyukai mata itu, tapi ini mengingatkannya pada Anna, istrinya. Matanya yang merah dan bengkak itu kembali mengeluarkan air mata. Kesedihan kembali terasa dalam relung hatinya. Sakit sekali.

Dahye memaklumi itu untuk beberapa hari ini. Tapi jika seterusnya Jimin seperti ini dia juga sedih, Jimin bisa saja jatuh sakit karena menangis dan tidak mau makan. "Jimin kau boleh sedih. Tapi tolong jangan terus menerus, that's not good. Anna will be sad"

Bayi di gendongan itu tiba-tiba juga ikut menangis. Bahkan Di timang saja tidak mau mereda tangisannya, semakin keras. Dahye bingung, tidak atau harus bagaimana lagi menangani putranya ini. Jimin bukan anak kecil lagi yang di berikan es krim atau susu bisa langsung diam. Putranya ini sudah dewasa bahkan memiliki satu putri cantik.

Meninggalkan Jimin sendirian disana. Dahye membiarkan itu agar putranya dapat memahami keadaan ini.

Yoongi datang melonggarkan dasinya, sepupu Jimin masih saja datang kemari sekedar melihat keadaan Jimin sepulang bekerja. Yoongi masih menjadi direktur pengganti entah berapa lama. Seharusnya Jimin sudah bisa kembali masuk. "Apa Jimin masih sama bi?" tanyanya.

Dahye menangguk.

Tanpa berpikir panjang Yoongi beranjak untuk menaiki tangga, namun Dahye memintanya untuk tidak terlalu keras dengan Jimin. "Jangan membuatnya semakin stress Yoongi. Please"

"Not for the next auntie, Jimin should know himself."

Tidak ada ucapan apapun dari Dahye, setidaknya Yoongi benar Jimin tidak bisa terus menerus seperti ini. Bagaimana nasib Alice? Dahye juga tidak ingin putranya menjadi depresi berkepanjangan. Berharap dalam hati jika Yoongi bisa membuat Jimin mengerti meskipun dirinya tidak bisa melakukan itu. Dia sudah menganggap Yoongi seperti anak sendiri. Seorang anak laki-laki dari saudara perempuannya.

.

Di depan pintu kamar Yoongi berusaha untuk tetap bisa menahan gejolak emosinya. Sikap Jimin yang semakin hari tidak menunjukan perubahan signifikan atas kehilangan Anna. Sesedih itu memang boleh tapi setidaknya Jimin tahu semua tanggung jawabnya. Ini bukan karena perusahaan entertainment yang sekarang dia kelola namun entang keponakannya yang diacuhkan.

Jika pun Yoongi jadi Jimin pasti dia akan merasakan kehilangan yang sama. Sedih ditinggal belahan jiwa pergi jauh bahkan tidak kembali. "Jimin" panggilnya ketiga kali, tidak ada sahutan dari dalam.

Tidak ada pilihan lain untuk membukanya sedikit, Yoongi ingin mengintip apa benar jika Jimin memang mengacuhkannya atau sebaliknya. Namun mata Yoongi seakan melebar melihat bagiamana Jimin memegang gunting yang hendak di luncurkan dengan cepat di area pergelangan tangan.

It Is (not) a Fairy Tales✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang