Siang ini kota Bandung terasa sejuk. Semilir angin berembus santai. Daun-daun pepohonan sekitar taman tampak bergoyang indah. Memanjakan tiap-tiap mata yang memandang.
Dandi masih berusaha fokus. Sepasang bola mata legam miliknya memperhatikan setiap gerak ujung pensil. Sesekali remaja itu mendongak, memandang sang model yang ternyata masih anteng dalam pejamnya di atas rerumputan. Tak sadar, Dandi tersenyum gemas.
Gumpalan daging berselimut bulu itu benar-benar menggoda iman Dandi. Jika saja bukan karena titik tempat anabul itu tertidur lumayan bagus, mungkin sejak tadi Dandi sudah mengusik lelapnya.
Angin kembali berembus. Menggoyangkan beberapa helai rambut lebat Dandi. Remaja itu terus tersenyum dalam kegiatannya. Suasana siang ini benar-benar nyaman untuk dibawa bersantai. Pohon durian yang ia sandari pun masih tergolong pendek. Jadi daun tebalnya mampu menghalau panas.
Dandi terus melukis hingga tak sadar model yang ia jadikan bahan sudah hilang entah kemana. Remaja manis itu geleng kepala lalu menunduk melihat hasil lukisannya. Ia tersenyum kemudian menyematkan watermark di ujung kertas.
Dandi Al Ghibran.
"Lah, ngapa nggak ada buntutnya dah. Itu kucing apa kudanil?" celetuk seseorang yang entah sejak kapan sudah duduk selonjoran di samping Dandi. Namanya Ubay.
"Iya, baru mau buat bagian ekor eh si embulnya lari," jawab Dandi dengan suara berat yang khas sambil menutup buku. "Baksonya mana?"
"Halah, bakso mulu, Dan. Lambung itu pikirin. Udah, makan kerupuk ini aja biar pinter."
"Lah 'kan aku memang pinter. Bukannya yang goblok itu kamu?" Walau berbicara demikian, Dandi tetap mengambil sebungkus snack yang Ubay beri dan melahapnya.
"Sejak kapan aku goblok?"
"Kalau pinter mah bisa nyelesein tugas sendiri, Bay."
"Kenapa harus nyusahin diri sendiri kalau bisa nyusahin orang lain?"
Dandi berhenti mengunyah lalu menoleh. Matanya menyipit dengan bibir atas sedikit naik. "Nyusahin orang lain, ceunah. Kalau goblok ya ngaku aja goblok."
"Ah, akang kok kasar sih."
Keduanya pun larut dalam obrolan hangat. Ubay selaku oknum yang tak bisa diam kerap melontarkan candaan kecil. Membuat Dandi tak bisa berhenti tersenyum. Kadang bagi sebagian orang berteman harus memiliki kriteria. Namun, bagi Dandi Ubay sudah cukup sempurna dengan segala kegilaannya.
Ubay iseng mengambil buku tulis di pangkuan Dandi. Membuka setiap lembar dengan mulut tersumpal biskuit. Dalam hati berdecak kagum. Walau bukan lukisan di atas kanvas sungguhan, tapi setiap gambar yang Dandi lukis tampak begitu indah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dying Dream
Teen Fiction#Sicklit #Teenfiction #AriIrham (Full di KaryaKarsa) Dandi pernah berpikir sesuram apa hari-harinya tanpa melukis. Di saat waktu kelulusan hampir tiba, semesta seolah bercanda. Menghadapkannya pada pilihan sulit antara hobi dan keinginan orang tua...