14. Frustrasi

2.1K 240 39
                                    

Bandung, siapa yang tidak kenal dengan kota indah ini? Letaknya yang dikelilingi oleh pegunungan membuat kota yang kerap dijuluki sebagai kota kembang itu seolah diselimuti oleh udara dingin nan sejuk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bandung, siapa yang tidak kenal dengan kota indah ini? Letaknya yang dikelilingi oleh pegunungan membuat kota yang kerap dijuluki sebagai kota kembang itu seolah diselimuti oleh udara dingin nan sejuk.

Di salah satu sudut kota Bandung, terdapat dua remaja yang tengah menikmati waktu sore bersama. Mereka Dandi dan Ubay. Berteman sepuluh tusuk bakso bakar dan dua gelas kopi hangat, keduanya tampak nyaman duduk di tempat yang telah disediakan pedagang.

Tak berlebihan, tapi cukup nikmat untuk ukuran remaja berkantong tipis seperti mereka. Terlebih Dandi. Remaja itu butuh banyak upaya untuk bisa bersantai di tempat ini. Peraturan kecil yang Kinara terapkan mulai membuat pergerakannya serba terbatas.

Pejalan kaki, angin sepoi-sepoi, suara kendaraan lewat dan hiruk pikuk kegiatan di hadapan membuat Dandi sadar, meluapkan masalah tak melulu harus dengan bercerita. Cukup dengan bersyukur dan lebih menikmati hidup.

"Dan, maneh kenapa diem wae?" Ubay menyeruput kopi. Walau kegiatan sekitar ramai, remaja petakilan itu merasa ada hening yang menyelimuti mereka.

"Enggak, lagi nggak tau mau ngomong apa."

Dapat Ubay lihat, Dandi merunduk. Seakan mengerti, remaja itu langsung menyambar gitar yang sengaja mereka bawa lalu meletakkannya di pangkuan Dandi.

"Mending maneh main gitar, aing yang nyanyi. Siapa tau ada yang nyawer, lumayan buat beli bakso lagi, tah?" ujarnya.

Seulas senyum tercipta. Dandi pun menyamankan pegangan lalu mulai memetik senar, menimbulkan nada-nada sumbang penyejuk jiwa.

Ubay menatap sendu atensi Dandi yang mulai sibuk dengan kegiatannya. Remaja itu tahu betul apa yang tengah Dandi rasakan. Asmara, pendidikan, keluarga, semua konflik datang bersama. Membuatnya selaku sahabat juga bingung harus berbuat apa.

Jika boleh memilih, Ubay akan tetap mendukung Dandi untuk menekuni bidang melukis. Skill seni hasil tangan Dandi itu terlalu bagus untuk dibiarkan begitu saja.

"Dan, kunaon?" Ubay iseng bertanya. Berharap jawaban yang terlontar akan berbeda dari ekspetasi.

"Kunaon?"

"Itu, jurusanmu? Si Mamah udah kasih keputusan fix belum?"

"Udah kok." Dandi bersenandung kecil mengiring petikan gitar yang mengalun. Sambil menikmati semilir angin, remaja itu sampai terpejam saking nikmatnya.

"Yang jelas atuh, Belegug!"

Dandi mengeluarkan debas pasrah. Sebenarnya malas harus membahas ini. Namun, bukan salah Ubay juga 'kan? Dia hanya bertanya.

"Udah fix dakwah, nggak ada tawaran lagi, Bay," ucap Dandi rendah. Ada nada penuh rasa kecewa terselip di celah ucapannya. Jika boleh jujur, Dandi masih berharap ada kesempatan baginya untuk memilih apa yang ia mau.

"Terus, sia manut, gitu?" Ubay geram sendiri. Membuang tusukan ke samping kursi lalu menghadap penuh pada Dandi.

"Terus, mau gimana?" Dandi mengangkat alis. Masih memetik senar dengan asal sebagai pelarian rasa di hati.

"Kasih pendapat, Bay. Coba lagi. Buat mereka paham maunya kamu gimana. Sumpah, kalau gini terus mah kamu bakal bener-bener kehilangan impian kamu."

Beberapa pejalan kaki sesekali menancapkan pandang pada keduanya. Kadang memperhatikan gaya bicara Ubay yang kurang santai dan agak berintonasi tinggi. Wajar sih, Ubay memang hyperaktif.

"Aku malas buat masalah baru, Bay. Kaya ... udah lah. Memaksa juga nggak baik. Mending ngikut arus aja, siapa tau emang ini yang terbaik 'kan?" Dandi tersenyum cukup lebar.

Tak sadar, Ubay mendecih. "Tapi kamu nggak nyaman, 'kan?"

"Aku udah mencoba nyaman kok."

"Mencoba nggak melulu bakal berhasil. Selagi ada waktu, coba atuh buka suara. Aing tau maneh lagi stres sama keadaan maneh sekarang. Aing tau, Dan. Cuma sebagai sahabat, aing mah bantu dukung doang. Nggak bisa paksa kamu ini-itu, apalagi nyuruh kamu ambil keputusan yang kamu nggak mau lakuin."

Ada sesak tiba-tiba datang bertamu di dada. Dandi terenyak sampai menghentikan petikannya. Kenapa Ubay bisa mengerti sementara orang tuanya tidak? Benar kata pepatah. Sepele menurut kita, belum tentu sepele menurut orang lain. Mungkin bagi orang tua Dandi, melukis adalah suatu hobi yang bisa dengan gampang dilupakan. Namun, tidak menurut Dandi. Menurutnya, hobi itu sudah menjadi bagian dari passion.

"Dan, jangan diem wae. Gimana? Maneh mau denger kata-kata aing?" Kali ini, Ubay benar-benar menunjukkan aura serius. Alisnya tertaut tajam. Menatap Dandi penuh harap.

"Nggak segampang itu, Dan. Watak si Papah teh keras. Aing nggak bisa asal menentang tanpa alasan yang jelas."

"Aih sia mah. Beda menentang, beda menolak. Kalau menentang, kamu menolak mentah tanpa dengerin pendapat mereka. Kalau menolak, kamu sudah menerima pendapat mereka, tapi kamu punya pendapat sendiri yang bisa kamu jadiin pondasi. Paham ndak sih, Sia. Ih." Ubay menggaruk leher saking gemasnya.

"Terus gimana? Aku bingung. Nggak tau mau ngapain. Sumpah." Kali ini Dandi ikut gemas. Ia meletakkan gitar kembali ke tempatnya lalu mengacak rambut dengan gusar. Sumpah, Dandi frustrasi.

"Aing tau maneh pusing, tau. Maneh tuh berubah banget sejak aing suruh maneh konsul jurusan ke orang tua. Jangan dibawa gini terus. Aing takut maneh stres, serius."

Dandi terkekeh dalam suasana kacaunya. Apa iya rasa tertekan ini bisa berkamuflase jadi sebuah penyakit jiwa? Yang benar saja.

"Dan ...."

"Kasih aing solusi, Bay. Aing bingung mau gimana. Kalau boleh jujur, aing nggak suka sama cara mereka. Cuma kan ... ah, ndak tau. Pusing."

Ubay menjitak kepala Dandi, membuat si empunya menoleh.

"Ngomong, goblok. Aih sia, Boy. Geregetan aing."

Belum saja Dandi menjawab, sebuah pesan masuk. Membuatnya kembali menghela napas. Tanpa dibuka pun, Dandi tahu siapa gerangan si pengirim dan apa isi pesan tersebut.

'A, kok belum pulang? Kita mau maghrib barengan loh. Jangan keasikan juga, ingat kemaren baru kambuh pas sama Dira. Cepat pulang yah, Mamah tunggu.'

- Dying Dream -


Part lengkap ada di KaryaKarsa.

Dying DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang