16. Keegoisan

1.5K 228 61
                                    

Pagi itu di Bandung, udara dingin terasa begitu menyengat kulit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi itu di Bandung, udara dingin terasa begitu menyengat kulit. Sensasi sejuknya bahkan mampu menyapa lubang pori-pori. Belum ada suara riuh interaksi antar murid atau gesekan sapu yang saling bersahutan di pagi hari seperti kegiatan sekolah pada umumnya. Hanya ada satpam paruh baya yang setia teronggok di pos dengan gawai di genggaman.

Dandi melangkah lumayan lambat. Memangkas jarak antara gerbang dan gedung dengan raut muram. Sempat memberikan seulas senyum tipis pada satpam sebelum kembali meniti langkah. Sebenarnya ada sendu yang berusaha ia tepis pagi ini. Namun, siapa peduli?

Tadi tepat pukul enam pagi setelah ibadah subuh, Dandi memutuskan berangkat lebih cepat dari biasanya. Tak ada sarapan, uang saku atau sekadar mendengar sapaan hangat Dira seperti pagi-pagi yang lalu. Hatinya masih diselimuti rasa kecewa tak terbantahkan. Harapan-harapan seolah pupus selaras dengan perintah mutlak yang ayahnya ucapkan kemarin malam.

Tak lama, pintu kelas mulai terjamah pandang. Dandi pun mempercepat langkah saat merasa napasnya sedikit memberat. Tak ada inhaler hari ini. Tadi malam semprotan kecil itu kehabisan isi sebab dipakai secara berlebihan.

Dingin permukaan kursi terasa menembus celana. Dandi lekas menaruh tas di atas meja lalu menjadikannya sebagai tumpuan kepala. Mata legam anak itu tampak tertutup. Menikmati hening yang tercipta. Rasanya berkali-kali lipat lebih tenang dari pada di rumah.

Karena merasa sedikit pusing, Dandi pun kembali membuka mata. Memaku pandang ke arah sapu di sudut pintu. Tatapannya terlihat tak berpenghuni. Kosong. Walau tampak tenang, percayalah, ada banyak masalah yang sedang bermain-main dalam kepala remaja itu. Menimbulkan sensasi pening yang sedikit demi sedikit mulai menggila.

Tak terasa, setetes air mata jatuh menyentuh permukaan kulit tangan yang ia jadikan tumpuan. Tiba-tiba hati anak itu terasa ngilu seperti ada yang mencubit dari dalam. Bayangan masa depan yang sudah rapi tersusun mulai berlari dari tempatnya. Kini pandangannya terhadap masa depan kembali abu. Hancur di luar ekspetasi.

Jika tidak boleh melukis, kenapa harus dakwah?

Jika keinginannya tidak disetujui, mengapa harus ikut keinginan mereka? Apa adil?

Bagi sebagian orang, masalah pengambilan keputusan saat hendak mengambil jenjang pendidikan seorang anak adalah pekara sepele. Menganggap semua bidang sama saja asal mampu tekun dalam mempelajarinya. Namun, pernah kah mereka bertanya apa yang anak itu rasakan? Tidak kah lebih baik mendengar apa yang mereka mau? Tidak kah mereka berpikir seberat apa beban yang dipikul jika harus memaksa menekuni sesuatu yang tidak diminati?

Tidak, kebanyakan orang tidak berpikir demikian. Mereka merasa keputusan mereka lah yang paling layak diikuti. Salah satunya, orang tua Dandi. Padahal, membiarkan anak memilih dalam mengambil keputusan adalah sebuah pelajaran penting untuk pola pikir si anak di masa yang akan datang. Jika semua serba dipilihkan dan diputuskan, lantas, apa kabar dengan pendiriannya kelak?

Lama bersenang-senang dengan rasa tak nyaman di hati, Dandi tak sadar jika kini ruang kelas sudah mulai ramai. Suara riuh aktivitas sekitar mampu membuat tenangnya terusik. Anak itu kembali terpejam lalu benar-benar menyembunyikan kepala di sela lipatan tangan. Demi Tuhan, Dandi ingin berdamai dengan hatinya.

"Hai, mapren! Kumaha damang? Kangen banget aing teh padahal cuma terpisah sore sama malam aja."

Benar, itu suara Ubay yang barusan menepuk pundak Dandi cukup kuat dengan ringisan khasnya.

Dandi pun menoleh lalu menegakkan tubuh. Tak berniat menjawab sapaan Ubay. Hanya menatap hampa sambil mengerjab kecil.

"Eh, maneh kenapa? Abis nangis?" tanya Ubay dengan logat sunda yang begitu kentara. Remaja itu cepat-cepat duduk menghadap sang sahabat dengan raut serius. Meneliti mata sembab Dandi yang dihiasi raut kacau.

"Nteu," jawab Dandi singkat dengan suara beratnya. Remaja itu terlihat memijit pelipis lalu kembali menelungkupkan kepala.

"Dan, weh. Kenapa, ish? Ditanya malah gitu, sini cerita." Ubay kembali menepuk pundak Dandi. Namun, kali ini beda, tak ada respon sama sekali.

"Dandi, maneh mau Ubay pukul dadanya sampe bunyi bugh gitu?" Tak jera, Ubay tetap memaksa Dandi untuk buka suara. "Kasep kang ghosting, hey."

"Diem atuh, Bay. Ngantuk."

"Kamu bohong, Roma."

Dandi kembali diam tak merespon, membuat Ubay geram sendiri.

"Harusnya jawab, tidak begitu Ani, gitu, belegug!"

Di dalam pekatnya gelap, setetes air mata jatuh. Dandi tak kuat, ini terlalu sakit. Dalam hati ia berbisik, 'Cape, Bay.'

*****

"Program hafiz itu cuma 10 bulan, Mah. Gratis. Cuma butuh biaya untuk sehari-hari aja. Semacam makan sama jajan."

"Iya, masalahnya anaknya mau apa engga. Orang disuruh mondok aja susah. Apalagi disuruh hafal Al-Qur'an."

Pandu Memijit pelipis sembari mengeluarkan debas. Ingin membenarkan ucapan sang istri tapi kemauan hati lebih tinggi. Entah kenapa, Pandu sangat ingin anak laki-laki semata wayangnya itu ahli dalam bidang ke agamaan.

"Mamah teh kadang pengen nyerah wae, Pah. Nggak kuat ngerasain Dandi ngebangkang terus. Padahal kan ahli agama nggak akan buat dia rugi," ujar Kinara. Tangannya terulur mengambil remote lalu mematikan televisi.

"Ya itu salah mamah juga selama ini terlalu nurutin kemauan dia. Kan dari dulu papah bilang, masukin pondok aja. Mamah bilang kasihan." Intonasi nada Pandu sedikit naik dengan raut masam.

"Dandi ada asma dari kecil loh, Pa. Kan kasihan kalau mondok belum bener-bener tau jaga diri."

"Tapi lihat, dia jadi anak nggak tau aturan. Susah dibimbing. Terlalu banyak bergaul sama anak luar sampai susah disuruh ikut kajian."

Sepasang suami istri itu pun saling tatap. Mencoba membenarkan pendapat masing-masing. Sampai suara motor berhenti menghentikan perdebatan keduanya. Menimbulkan suara debas kecil dari Pandu.

"Assalamualaikum ...."

"Waalaikumsalam."

Kinara pun beranjak membuka pintu. Matanya sedikit melebar saat melihat si sulung yang terlihat sedikit pucat. "Kamu kenapa? Sakit?"

Dandi menggeleng. Setelah mencium punggung tangan sang ibu, remaja itu langsung berlalu begitu saja. Sempat mencium tangan Pandu saat melewati ruang keluarga dan kembali beranjak.

"Badannya hangat, mungkin sakit. Jangan dikasih tau dulu soal program itu." Kinara tiba-tiba bersuara sebelum ikut berjalan menuju kamar Dandi.

Pandu menatap kepergian Kinara tanpa suara. Entah kenapa, belakangan ini suasana rumah tak lagi hangat seperti biasanya. Selalu saja ada argumen yang disanggah.

"Semoga aku tidak gagal dalam membina keluargaku ya Allah."

*****


Kangen? Pengen liat trailer? Ke IG aku sini. @Agustinradaa

Sampai ketemu next episode. 🤍

Dying DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang