Dandi mengerjab. Alis tebalnya tertaut cukup dalam hingga menimbulkan kerutan di area dahi. Sore ini matahari cukup terik. Biasan cahayanya mampu menembus kaca jendela hingga menerangi seisi kamar. Cerah, akan tetapi terasa hampa. Seperti dirinya yang tak tahu arah hendak melangkah kemana.
Beberapa jam yang lalu, setelah kembali berdebat dengan sang ibu, Dandi kembali merenung. Tak bergerak dari kasur barang selangkah pun. Tubuhnya seolah tak memiliki tenaga untuk melakukan aktivitas. Hidupnya seakan di program. Benar-benar diatur.
'Kapan sih kamu ngertiin Mamah? Mamah capek harus tengkar terus sama Papah cuma karna mikirin masa depan kamu. Sekarang Papah juga ngotot suruh kamu ikut program hafalan Al-Qur'an di daerah jawa timur. Udah atuh, Dan. Udahan bandelnya.'
Belum selesai perkara dakwah, timbul akar masalah baru. Lagi dan lagi mereka menyertakan kata 'harus' di sana. Kalau sudah begini, Dandi bisa apa?
Tak lama kemudian, terdengar suara ketokan pintu.
"Aa ... lagi apa? Bisa tolong masakin sesuatu? Dira laper. Mamah sama Papah lagi pergi ke kajian."
Suara rengekan yang begitu khas, membuat Dandi langsung menegakkan tubuh. Tak ada alasan baginya untuk menolak membantu sang adik. Sebab Dandi begitu menyayangi Dira.
Sebelum benar-benar meninggalkan kasur, Dandi sempat mengurut dada. Banyak berpikir membuat kinerja napasnya agak melambat. Sebenarnya masih nyaman berbaring. Namun, ia tak mungkin tega melihat Dira kelaparan.
"Aaa ... lagi sibuk yah?"
"Sebentar, Neng."
Pintu pun terbuka, menampilkan wajah imut Dira yang sedang tersenyum terlampau lebar ke arah Dandi. Gadis kecil itu terlihat manis dengan piyama kedodoran yang sedikit menenggelamkan tubuhnya.
"Aa mau masakin Dira, 'kan?"
Dandi refleks tersenyum. "Mau makan apa?"
"Mie boleh, telur mata sapi juga boleh, nasi goreng pun boleh, em ... senyamannya Aa aja. Dira mah manut."
Dandi mencebik lalu mengangguk kecil. Setelahnya ia pun beranjak yang kemudian langsung diikuti oleh sang adik.
"A, tau ndak? Tadi teh Dira iseng cek hape nya Aa Hengki kan, terus Dira nemu chat mesra gitu. Pas Dira tanya Aa Hengki bilang itu bestie nya dia. Bestie, ceunah. Ya masa bestie pake sayang-sayang segala," ujar Dira. Kaki kecilnya terlihat mengayun-ayun kecil di sela kaki kursi.
Dandi tak menjawab. Masih fokus mengupas bawang di tengah nyeri yang mulai berulah di kepala.
"Ya masa dia nggak mikirin perasaannya Dira. Dira aja kalo di chat cowo Dira kacangin karna takut dianya sakit hati."
Suara sendok yang sengaja diadu terdengar memenuhi dapur. Itu ulah Dira yang tengah misuh-misuh sambil memainkan sekumpulan sendok dalam wadah di atas meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dying Dream
Teen Fiction#Sicklit #Teenfiction #AriIrham (Full di KaryaKarsa) Dandi pernah berpikir sesuram apa hari-harinya tanpa melukis. Di saat waktu kelulusan hampir tiba, semesta seolah bercanda. Menghadapkannya pada pilihan sulit antara hobi dan keinginan orang tua...