Begitu sampai di depan pintu, Dandi lekas membuka penutup mulut yang sudah sangat mengganggu pernapasan. "Assalamualaikum ...," ucapnya kemudian.
"Waalaikumsalam. Bentar!"
Sembari menunggu pintu terbuka, Dandi memilih duduk melepas ikatan sepatu. Di sela kegiatan, ia melirik beberapa bunga di sekitar teras yang tampak basah. Mungkin ibu baru saja menyiramnya. Padahal hari sudah siang.
Tak lama, pintu terbuka. Tepat setelah Dandi menaruh sepatu pada tempatnya. "Lama ya, A? Maaf tadi mamah teh lagi nyiram bunga di belakang."
Dandi mengambil tangan Kinara-sang Ibu, lalu menciumnya. "Nggak papa. Dira mana, Mah? Udah baikan dia?"
"Udah. Cuma sakit perut mau datang bulan, A. Dasar adik kamu aja yang berlebihan. Udah ayo masuk. Ganti baju abis itu makan. Mamah mau lanjut nyiram bunga." Kinara menarik tangan Dandi lalu menutup pintu.
"Mamah teh ngapain nyiram bunga siang-siang?" tanya Dandi tak habis pikir.
"Enggak apa-apa atuh. Lagi pengin. Lagian tadi pagi sibuk kerokin adik kamu, jadi bunganya pada kurang asupan."
Dandi hanya menanggapi dengan kekehan kecil. Mereka pun berpisah di penghujung anak tangga. Kaki jenjangnya menapak cukup pelan. Entah kenapa, sejak Chika mengembalikan barang pemberiannya tadi, suasana hatinya tak kunjung membaik.
Intinya, Dandi itu masih berharap. Walau kemarin dirinya lah yang meminta putus, tetap saja, ia ingin ada pembelaan dari Chika dan mereka kembali bersatu. Sialnya, Chika malah setuju dan memilih lanjut dengan selingkuhannya.
"Kamu kenapa jadi gini sih, Chi." Ada suara kasur menahan empasan tubuh. Dandi terpejam. Dahinya tampak melebar sebab beberapa rambut yang menutupi menyingkir ke bawah. Remaja tampan itu berusaha keras mengusir bayangan Chika dari pikirannya.
"Dasar sadboy."
Refleks Dandi melotot dan duduk. Matanya menelisik sumber suara. Ternyata itu Dira, sedang duduk di depan lemari bajunya. Pantas tadi ia tak melihat keberadaan gadis berambut pendek itu. Ternyata terhalang kasur.
"Ngapain kamu selonjoran di situ?" tanya Dandi dengan suara beratnya.
"Cari hoodie. Mau pinjem bentar."
"Mau ke mana?" Dandi bangkit. Meletakkan tas pada tempatnya lalu mengambil handuk yang tergantung di belakang pintu.
"Main sama Hengki."
Dandi langsung menatap Dira. "Pacaran terus kamu mah. Katanya sakit perut."
"Kan tadi pagi. Sekarang udah enggak," jawab gadis itu dengan santai. Sesaat kemudian ia berdiri dengan jaket dongker polos di tangan. "Aku cuma mau pinjam hoodie, bukan minta izin."
"Jangan terlalu bebas, Dir. Mau Aa aduin mamah?" Dandi berujar lembut sambil meneliti langkah kecil sang adik. Dira itu masih SMP, Dandi takut adiknya semakin tidak terpantau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dying Dream
Teen Fiction#Sicklit #Teenfiction #AriIrham (Full di KaryaKarsa) Dandi pernah berpikir sesuram apa hari-harinya tanpa melukis. Di saat waktu kelulusan hampir tiba, semesta seolah bercanda. Menghadapkannya pada pilihan sulit antara hobi dan keinginan orang tua...