13. Geulis-nya Aa Dandi

2.2K 284 56
                                    

'Dir, nama instagram Aa kamu teh apa? Kok maneh nggak pernah cerita punya Aa kasep begitu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

'Dir, nama instagram Aa kamu teh apa? Kok maneh nggak pernah cerita punya Aa kasep begitu. Btw beruntung ya kamu, punya Aa kayak gitu. Dia keliatan khawatir banget tadi.'

Dira menatap layar gawai dengan lesu. Ini alasannya tidak mau dijemput Dandi kecuali karena memang benar-benar butuh. Setiap ada yang melihat pasti akan menanggapi dengan berlebihan. Padahal baginya Dandi itu biasa saja.

"Geulis, ngapain masih di situ? Tidur sana, udah malam."

Harum nasi yang dihaluskan menguar. Fokus Dira langsung tertuju pada Kinara yang masih mengaduk-aduk wadah di atas kompor. Gadis itu menyelipkan rambut di belakang telinga lalu berdiri. Suasana hatinya masih buruk.

"Mamah sendiri ngapain malam-malam masak bubur?" Dira memeluk Kinara dari belakang. Meletakkan dagu di pundak sang ibu sambil pasang raut cemberut.

"Ini mah bubur tadi siang, Mamah hangatin aja biar pas makan perut Aa jadi hangat juga," ujar Kinara. Setelah merasa cukup panas, wanita itu mematikan kompor lalu menuang satu centong cairan kental itu ke dalam mangkuk putih.

"Kenapa makan bubur? Sariawan dia?" Dira melepas pelukan. Baru menyadari kakak sulungnya tak ikut makan malam bersama tadi.

"Si Aa sakit dari siang. Pulang sekolah aja diantar Ubay. Tadi Mamah cek kok panasnya belum turun. Nggak mau makan juga. Pusing Mamah tuh kalau Aa yang sakit."

Satu mangkuk bubur yang masih mengepul sudah tersaji di atas nampan. Lengkap dengan segelas susu cokelat kesukaan Dandi. Kinara mengelap sisi kompor dan meja yang dirasa kotor lalu melepas celemek.

Dira terenyak. "Berarti, pas jemput Dira tadi, Aa lagi sakit?"

"Iya. Udah Mamah larang, tapi kan kamu tau sendiri dia kaya gimana." Kinara mencubit pipi gembil Dira sambil tersenyum. "Takut adeknya yang gemes ini kenapa-kenapa. Padahal kan cuma les sore ya, Dek."

Dira menanggapi dengan senyuman kecil. Padahal hatinya sedang terserang rasa bersalah. Belakangan ini ia juga sering terlibat perselisihan kata dengan Dandi. Sungguh, Dira benar-benar menyesal.

"Adek masih mau di sini? Mamah mau antar ini ke kamar Aa. Kalau nanti mau tidur jangan lupa matiin lampu, yah."

Dira menggeleng. Buru-buru menyimpan gawai di saku lalu mengambil alih nampan dari tangan Kinara. "Biar Dira aja. Mamah istirahat, ya. Selamat malam." Gadis itu tersenyum hangat. Membuat lesungnya tampak mempesona.

Seakan tertular, Kinara pun ikut tersenyum. Tangannya terangkat mengusap rambut Dira. "Iya, cantiknya Mamah. Selamat malam."

Setelah mengakhiri percakapan dengan kecupan di dahi, Kinara pun beranjak mematikan lampu. Dira langsung berjalan menaiki tangga. Dalam hati masih memikirkan kalimat apa yang pantas ia ucapkan nanti. Dira itu gengsi. Perlu di garis bawahi.

"Assalamu'alaikum."

Dandi menoleh kemudian menjawab salam. Ternyata cowok itu sedang membaca buku di kursi belajar. Ada setumpuk buku lain di hadapannya. Membuat Dira reflek mengeluarkan debas.

"Katanya sakit." Dira meletakkan nampan di sisi tumpukan buku lalu bersedekap dada.

"Enggak kok, udah enakan," jawab Dandi lembut dengan suara bass khasnya.

"Bohong." Dira menempelkan punggung tangannya ke dahi laki-laki itu. Wajahnya saja masih terlihat pucat. "Panas gini."

Dandi tersenyum lagi. Menutup buku lalu menghadap penuh pada Dira. Membiarkan tangan mungil anak itu menjelajahi lekuk wajahnya. Wajah khawatir Dira sedikit lucu.

"Makan tuh. Mamah udah repot-repot buat bubur. Awas kalau nggak di makan."

Dandi mengangguk. Jemarinya terangkat mengambil mangkuk lalu mengembus uap yang masih sedikit mengepul. Melihat wajah kuyu laki-laki itu, Dira langsung mengambil alih mangkuk. Entah kenapa jatuhnya jadi kasihan.

Dandi menaikkan sebelah alis saat melihat Dira melangkah kecil menuju kasur kemudian duduk di pinggirannya. Adiknya terlihat menggemaskan malam ini.

"Malah diem aja si belegug. Duduk sini cepet. Dira suapin." Nada suaranya terdengar sengaja di tinggikan. Namun, Dandi dapat menangkap aura peduli di sana.

Tanpa menunggu lama, cowok kurus itu langsung beranjak kemudian duduk manis menghadap Dira sambil tersenyum penuh arti. Sepertinya sifat manja Dira sudah kembali. Padahal ia sempat takut remaja kencur itu lekas dewasa dan mulai memberi jarak.

"Mangap ih." Dira menyodorkan sendok yang langsung disambar dengan semangat oleh Dandi.

"Geulis-nya Mamah Kina kesambet apa, hm? Tumben manis gini."

"Kesambet batu Malin Kundang," jawab Dira sekenanya.

Dandi terkekeh. Masih mengunyah sambil menikmati sesak yang mulai hadir. Udara Bandung sedikit ekstrim akhir-akhir ini. Membuatnya harus sedia inhaler ketika malam.

"Tadi Dira ke mana?" tanya Dandi lembut. Bermaksud membuat Dira terbuka padanya. Walau sejujurnya dia juga sudah tau apa yang hendak cewek itu katakan.

"Kan udh Dira bilang, les sore." Suapan kembali terangkat yang langsung dilahap oleh Dandi.

Ada jeda sejenak saat Dandi mengunyah suwiran ayam. Matanya meneliti mata Dira yang terlihat sedikit berkantung. Semenjak tahu asmara, anak itu semakin banyak berubah.

"Aa teh tau kamu bohong. Tapi kalau ndak mau cerita mah ndak papa. Aa cuma mau kamu tau kalau Aa selalu di sini buat jagain kamu. Dira teh adik Aa satu-satunya. Yang paling geulis karena nggak ada yang lain. Jadi maaf kalau sekiranya kadang Aa suka berlebihan larang-larang kamu. Itu karena Aa nggak mau adik Aa kenapa-kenapa. Ngerti, 'kan?"

Dira menatap wajah pucat Dandi dengan bibir mencebik. Matanya langsung berkaca-kaca mendengar penuturan yang terdengar luar biasa lembut itu. Tanpa berkata apapun, Dira langsung meletakkan mangkuk lalu menubruk Dandi dengan erat.

"A, maafin Dira." Dira menelusupkan wajah di ceruk leher Dandi.

Dandi yang paham akan sifat labil Dira hanya tersenyum manis. Mengelus rambut bagian belakang remaja itu lalu membalas pelukan.

"Selain nggak suka dakwah, Aa juga berat ninggalin kamu di sini. Nggak bisa pantau kegiatan kamu. Tapi ya gimana, emang kudu mondok kayanya mah."

"Nggak mau, Aa di sini aja." Dira masih menangis. Menikmati sensasi panas yang menguar dari tubuh Dandi. Membuat rasa bersalahnya kian meningkat.

"Maunya gitu, Dek. Aa juga pengen ambil jurusan sesuai passion Aa. Tapi ... nggak tau deng, haha."

Pelukan terlepas. Dapat Dira tangkap raut kecewa terlukis di wajah tampan Dandi. Walau terus tersenyum, Dira tahu betul apa yang tengah laki-laki itu rasakan.

"Aa mah lemah. Taunya iya-iya terus. Lawan atuh," ujar cewek itu seraya mengelap sisa air mata.

"Dosa atuh lawan orang tua. Takutnya kalau Aa maksa keinginan Aa tanpa rida Mamah Papah, jadinya malah nggak berkah." Dandi terbatuk kecil. Sepertinya ia butuh inhaler lagi.

"Ya lawan halus ih. Bilang maunya Aa gimana terus kasih alasan yang bisa buat Mamah Papah ngerti."

"Aa takut nyakitin hati mereka. Mamah pernah bilang, ini yang terbaik. Keputusan Mamah Papah nggak bakal buat Aa rugi, ceunah."

"Ya ud-" Dira refleks maju saat Dandi terbatuk cukup keras. "Aa kenapa? Dadanya Aa sesek?"

"Am- bilin inhaler dong, Dek. Di laci."

- Dying Dream -

Dying DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang