"Sepuluh menit lagi, habis itu langsung masuk!"
Dandi menatap sosok wanita berperawakan tinggi yang berdiri sekitar lima meter di hadapan dengan mata menyipit. Keringat merembes, membasahi seragam bagian atasnya. Matahari pagi yang dianggap menyehatkan tulang malah terasa begitu menyiksa. Kadang ia bingung, apa tujuan para pengajar menghukum siswa dengan cara hormat bendera seperti ini.
Putaran waktu terasa begitu lambat. Satu hal yang terpikirkan oleh cowok itu adalah minum es di kantin dengan beberapa tusuk bakso bakar sebagai pelengkap. Sepotong roti dan beberapa teguk susu ternyata tak cukup menghasilkan banyak tenaga pagi ini.
"Chika jangan pake acara pingsan yak. Aing mana kuat gendong kamu."
Dandi menoleh saat Ubay bersuara. Menatap sosok cewek yang tengah mengibaskan kedua tangannya di depan wajah. Ada bulir keringat merembes membasahi bawah telinga hingga pipi putihnya. Sampai-sampai Dandi geram ingin menyingkap beberapa ujung rambut yang menempel di sana.
"Mata, Dan. Mata."
Tersadar dari lamunan, Dandi langsung kembali menatap lurus ke depan dengan mata sedikit menyipit. Sial, pipinya memerah. Padahal waktu berpisah sudah cukup lama, mengapa ia masih menyimpan rasa yang sama?
Melihat reaksi yang Dandi beri, Chika mengulum senyum. Ternyata, Dandi masih sama seperti Dandi yang dulu. Yang masih suka menatapnya diam-diam dari sudut tertentu, kemudian berakhir dengan salah tingkah.
Ubay menatap Chika tak suka. Walau masih berperilaku baik, bukan berarti Ubay mendukung Chika untuk kembali berhubungan dengan Dandi. Setelah apa yang telah cewek itu perbuat, Ubay cukup jera mengizinkan mereka kembali bersama. Kasihan Dandi.
"Geseran, Dan." Ubay yang awalnya berada di barisan paling kanan buru-buru pindah ke tengah, membatasi antara Dandi dan Chika. "Panas-panas gini enaknya dikelilingi oleh keamanan. Kalian kan nggak muhrim. Nanti mamah Kinara marah. Iya 'kan, Dan?"
Dandi melirik sedikit lalu bergumam kecil. Tak ingin mengeluarkan banyak tenaga untuk tingkah konyol Ubay.
"Dandi masih ngelukis?" Itu suara Chika. Mencoba memulai obrolan walau Ubay berada di tengah-tengah mereka.
"Masih, kenapa nanya-nanya?" sela Ubay sewot. Lama-lama berada dekat Chika membuat tensi cowok itu sedikit naik. Sungguh cewek caper, batinnya.
Dandi mengerti Ubay tidak suka jika Chika mencoba mendekatinya. Jadi lah ia hanya diam, membiarkan Ubay berbuat semaunya. Toh ini juga bagus, mengingat dirinya yang kadang belum berhasil menyembunyikan rasa di depan Chika.
"Kakak aku teh lagi butuh editor khusus sampul buku cetak buat penerbitnya. Kebetulan editor lama baru resign karena mau fokus kuliah. Kira-kira Dandi minat nggak? Lumayan sih, royalti dihitung dari jumlah pemesanan. Bukan perbulan."
Mendengar itu, Dandi pun menoleh, menatap Ubay dengan tatapan yang sulit di artikan. Jelas ini adalah berita baik, terkhusus untuknya yang sangat ingin memiliki usaha di bidang yang ia sukai, yaitu melukis. Namun, keluarganya?
"Mau, Dan?"
Dandi masih terdiam. Harusnya, tanpa bersuara pun Ubay sudah mengerti jawaban cowok itu. Namun, seakan ada penghalang yang membuat Dandi ragu untuk menjawab.
Tak lama, suara pergantian les pelajaran terdengar.
"Ah, udah masuk. Aku duluan ya, Dan. Kalau minat kabarin aku aja, kontak aku masih sama kaya yang lama kok."
Setelah mengatakan demikian, Chika pun beranjak pergi. Meninggalkan Ubay dan Dandi yang ikut berlari mencari tempat teduh.
"Gimana, Dan? Lumayan loh itu. Siapa tau hasilnya banyak, bisa dikasih ke Mamah sebagian, siapa tau pada luluh hatinya ngeliat potensi kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dying Dream
Teen Fiction#Sicklit #Teenfiction #AriIrham (Full di KaryaKarsa) Dandi pernah berpikir sesuram apa hari-harinya tanpa melukis. Di saat waktu kelulusan hampir tiba, semesta seolah bercanda. Menghadapkannya pada pilihan sulit antara hobi dan keinginan orang tua...