"Vitaminnya udah diminum, A?" tanya Kinara pada Dandi, tapi remaja beraura masam itu hanya menjawab dengan anggukan kecil. Tangannya sibuk membuka lembaran baru buku di pegangan. Di meja masih ada sekitar lima buku lagi dengan warna berbeda-beda.
Dandi tak mengerti dengan pemikiran ibunya. Wanita itu bahkan tahu kalau ia tak suka berinteraksi terlalu lama dengan orang asing. Apalagi ceramah yang notabenya akan melibatkan banyak orang. Sejak kapan? Sejak kapan mereka merencanakan semua ini untuk dirinya? Dandi benar-benar tak habis pikir.
Niat ingin membuka suara guna meluapkan gondok di hati, tapi urung sebab Dandi tahu bagaimana ujung dari perdebatan nanti. Dandi itu tipikal anak yang malas terlalu lama beradu argumen. Jika diam bisa menyelesaikan masalah, pasti dia akan memilih opsi itu. Namun, jika posisinya begini, diam malah akan menjadi tekanan untuk dirinya sendiri, 'kan?
Lagi pula ujian akhir masih sekitar dua bulan lagi. Bisa-bisanya pergerakannya sudah mulai dibatasi dari sekarang. Ah, memikirkan segala hal, mendadak kepala remaja itu terserang migrain.
"Mamah, Dira teh pamit keluar sama Bella, yah. Mau jenguk guru sakit." Gadis berperawakan mungil muncul dari ujung anak tangga. Berada dalam lingkup keluarga agamais membuat pakaian serba panjang menutup seluruh auratnya. Namun, tetap saja terlihat kekinian.
Kinara mengusap puncak kepala Dira saat remaja cantik itu mencium punggung tangannya. "Iya. Dijemput atau mau diantar Aa?"
Dandi melotot. Dengan gampang sang ibu mengizinkan Dira pergi bersama alibinya. Rasanya bibir Dandi gatal ingin memberi tahu kelakuan belegug anak SMP itu.
"Diantar Aa, boleh?"
"Aku capek, mau istirahat." Menutup buku cukup keras lalu meletakkannya ke meja, Dandi lantas beranjak menuju kamar di lantai atas. Katakanlah dirinya kekanakan, tapi sungguh, Dandi iri dengan Dira yang bisa memilih selaras dengan apa yang ia suka. Tak seperti dirinya.
Atau ini memang tuntutannya sebagai anak sulung?
Kinara geleng kepala. Baginya, Dandi terlalu kekanakan. Salahkan ia yang selama ini kurang membatasi aktivitas anak itu. "Adek pesan gojek aja, yah. Kayanya si Aa lagi nggak enak badan."
"Dia mah gitu. Giliran main sama Ubay aja sampe ke pelosok-pelosok." Dira mencebik. Kesal karena rencana awal sudah keluar dari target. Padahal sang kekasih sudah menunggu di persimpangan depan komplek.
"Mau mamah aja yang ngantar?"
Dira gelagapan. "Eh, nggak usah, Mah. Dira pesan gojek aja."
"Ya udah, hati-hati ya, Geulis."
"Pasti, Mamah."
Meninggalkan kecupan hangat di pipi sang Ibu, remaji manis itu pun berlalu. Senyum rekahnya lantas hilang, berganti dengan gerutuan kecil.
"Kenapa abdi teh kudu punya abang kaya si belegug itu. Udah suka ngelarang, ember, nggak bisa diandelin." Dira meremat tas selempang mungilnya penuh emosi. "Sebel ihhh. Capek 'kan harus jalan ke simpang."
***
Ada suara petikan senar gitar berbentuk nada menenangkan sore itu, di balkon kamar. Jemari lentik Dandi terus beraksi, menimbulkan beberapa irama penyejuk pikirannya yang sempat berantakan. Dua hari belakangan ini, hatinya tak bisa tenang. Entahlah.
Entah itu pasal asmara atau keluarga. Keduanya sama-sama buruk. Keluarganya memang tampak baik dan harmonis, tapi bagi Dandi, ini terlalu mengekang. Harusnya orang tuanya bisa mengerti bahwa menjadi pendakwah bukan lah passion-nya. Dandi ingin jadi pelukis. Seperti kata Ubay, tangan kotornya ini berbakat.
"Karena, kau ... paling tau. Cara lemahkan hatiku."
Sebait lirik ia lantunkan putus-putus. Masih menyesuaikan antara suara dengan nada gitar. Pandangnya menatap terik yang menyorot pepohonan seberang jalan. Berada di balkon dengan gitar di pangkuan memang sangat menenangkan. Dandi berpikir ia pasti akan merindukan suasana ini ketika mondok nanti.
"Walau tak ada yang pasti. Yang kau beri hanya mimpi ...."
Suara Dandi itu memiliki ciri khas. Berat dengan bass rendah. Ia ingat, Chika kerap memuji suaranya. Kata gadis itu, suaranya seksi. Bisa menjadi obat saat hati sedang kacau. Makanya, sewaktu masih pacaran, setiap malam mereka selalu calling.
"Lantas mengapa ku masih, menaruh hati."
Sial. Gundahnya pasal jurusan belum sepenuhnya hilang, malah ditambah dengan bayangan senyum manis Chika. Dandi jadi rindu. Tak sadar, remaja mancung itu tersenyum malu. Membuat kedua pipinya sedikit memerah. Entah kenapa, kenangan bersama Chika tak mau hilang dari pikiran.
"Padahal kutahu kau 'tlah, terikat janji."
Walau satu fakta selalu menamparnya. Chika mendua. Itu berarti, dirinya bukanlah orang spesial di mata gadis itu. Kembali, hatinya berdenyut. Meski begitu, ia terus bernyanyi. Menikmati rasa yang mengganjal di hati sambil menghirup sejuknya udara sore.
Derit pintu tiba-tiba terdengar. Lalu dari baliknya muncul Kinara dengan beberapa buku di dekapan. Dandi menoleh sebentar lalu kembali menatap depan. Kakinya yang bersila ia ubah sedikit karena kesemutan. Tak perlu bertanya, Dandi sudah kelewat paham maksud kedatangan wanita itu.
"Ngapain sih, A. Gitaran terus. Berisik."
Lembut sih, tapi entah kenapa Dandi tersinggung. Kendati begitu, remaja itu tetap tersenyum. Menyandarkan gitar ke besi pembatas balkon lalu menunggu Kinara siap dengan kegiatannya.
"Gitaran terus, main game, nyanyi nggak jelas, ngelukis, emang dapat apa sih, A?" Masih lembut, tapi sukses menghilangkan senyum di bibir Dandi. Cowok itu menggigit bibir lalu menunduk. Kapan orang tuanya bisa menghargai apa yang ia suka?
"Mending Aa baca buku ini. Calon ustadz itu harus kaya ilmu, A. Udahan main-mainnya ya, Kasep. Akhirat lebih penting. Keputusan mamah sama si papah teh nggak bakal ngerugiin kamu."
Dandi mengangkat wajah lalu memaksa senyum. Ternyata memang tak ada harapan baginya untuk jadi pelukis besar. "Iya, Mah," jawabnya rendah.
"Kamu jangan iya-iya aja." Kinara beringsut, meletakkan sebuah buku dengan sampul tulisan arab ke pangkuan Dandi. "Belajar pelan-pelan. Nggak suka bukan berarti nggak bisa, 'kan?"
Dandi merunduk. Menatap sayu buku abu-abu di pangkuan. Demi Allah, dia bukan tidak mau memperdalam kaidah agamanya. Hanya saja, jika harus mengorbankan impian, rasanya sedikit ... tidak adil.
"Kamu tau si Ido? Itu anak Bu Fitriyah, tetangga samping rumah si Ubay. Hebat loh dia. Baru tahun kemarin tamat pesantren, udah sering jadi khatib salat jum'at. Nggak sia-sia mondok dari SMP 'kan," ujar Kinara dengan menggebu. "Kapan yah si kasep mamah bisa kaya gitu."
Jika boleh jujur, percakapan semacam ini lah yang tidak Dandi sukai dari ibunya. Apa memberi wejangan memang diharuskan dengan membandingkan? Ingin rasanya Dandi berkata, Ido begitu karena itu memang passion-nya. Bukan seperti dia yang dari kecil sudah berkutat dengan kanvas dan kuas warna-warni.
Akan tetapi, Dandi tetap diam. Remaja itu akan mencoba mengikuti arus. Semoga saja ini memang yang terbaik. Walaupun ... ada impian yang harus ia lepas.
"Iya, Mah."
- Dying Dream -
KAMU SEDANG MEMBACA
Dying Dream
Teen Fiction#Sicklit #Teenfiction #AriIrham (Full di KaryaKarsa) Dandi pernah berpikir sesuram apa hari-harinya tanpa melukis. Di saat waktu kelulusan hampir tiba, semesta seolah bercanda. Menghadapkannya pada pilihan sulit antara hobi dan keinginan orang tua...