"Dikit banget makannya, A." Kinara menyendok nasi lalu menumpuknya di atas piring Dandi. "Puas-puasin makan. Nanti di pondok belum tentu ada yang kaya begini loh."
Dandi tersenyum hambar. Mendengar kata mondok saja selera makannya langsung menghilang. Padahal menu di hadapan rata-rata adalah makanan kesukaannya.
"Persiapan ujian udah gimana, A?" tanya Bagus di sela kegiatan.
"Lancar kok, Pah," jawab Dandi lalu menyuap nasi dengan lesu. Entah kenapa ia ingin cepat-cepat masuk kamar. Malas mengikuti arah pembicaraan.
"Semua persiapan udah dibeli sama Mamah kemarin, termasuk kopiah sama jubah. Tinggal persiapan fisik sama mental kamu aja."
Refleks Dandi berhenti mengunyah. Memaksa isi dalam mulutnya masuk dengan meneguk air. Rasanya benar-benar tak nyaman. Mungkin sedikit membuka opini bisa meluaskan rasa sesak.
"Dandi teh mau ambil jurusan ngelukis aja, Pah."
Bagus menggeleng konstan. Seakan menolak mentah permintaan si sulung. "Keputusan Papah teh sudah bulat. Jangan ditawar lagi."
"Tapi 'kan yang ngejalanin aku." Dandi berusaha speak-up. Semoga saja berhasil. "Aku nggak suka ceramah."
"Nggak suka bukan berarti nggak bisa."
"Tap-"
"A, cepat makannya. Nanti keburu dingin." Kinara menengahi dengan cepat. Terlampau tahu bagaimana watak si kepala rumah tangga.
Dandi pun berdiri. Melirik Dira yang dari tadi diam dengan raut mengejek, kemudian berbalik menuju kamar. Menghiraukan panggilan-panggilan lantang sang ayah. Demi Tuhan, Dandi ini sekali berteriak mengeluarkan seluruh beban hati. Namun, kepribadian memaksanya untuk tetap bungkam.
Akhirnya, remaja mancung itu pun memilih menghabiskan malam dengan bermain gitar di balkon. Menjadikan musik sebagai pelarian paling sederhana. Persetan dengan asmanya. Dandi hanya butuh pengalih atas rasa yang mengganjal di hati.
***
"Bang, es teh manis dua, ya." Dandi menyebutkan minuman andalannya ketika dua sekawan tiba di tempat tujuan.
Sebuah angkringan sederhana yang terletak di tepi jalan raya menjadi destinasi keduanya setelah berhasil mendapat izin. Dandi mencari tempat duduk di bawah sebuah pohon yang sudah ada tikarnya. Cowok itu mengeluarkan ponsel dan mulai menggulir menu di dalamnya.
"Pabji, yuk, Bay," ajaknya pada Ubay yang sudah fokus pada gawainya.
Yang diajak bicara lantas menggeleng. "Aku ndak ada kuota, Dan. Ini aja baru mau ngemis ke Mamah, siapa tahu dikasih," balasnya sembari menunjukkan isi pesan yang ia tujukan kepada sang ibu.
Dandi mendengkus. "Makanya jadi anak jangan durkaha. Apa-apa dipersulit 'kan jadinya," timpalnya yang membuat Ubay melempar kerikil yang kebetulan ia pegang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dying Dream
Teen Fiction#Sicklit #Teenfiction #AriIrham (Full di KaryaKarsa) Dandi pernah berpikir sesuram apa hari-harinya tanpa melukis. Di saat waktu kelulusan hampir tiba, semesta seolah bercanda. Menghadapkannya pada pilihan sulit antara hobi dan keinginan orang tua...