"Pihak rumah sakit teh sudah usaha buka sandi hape nya biar bisa kasih kabar ke keluarga dan kerabat, tapi Ndak bisa kebuka, Bu. Jadi karena saya kebetulan kenal Dandi langsung ajak polisi yang ikut evakuasi ke sini buat ngabarin dan kasih barang bukti."
Bak tersambar petir, sendi-sendi Kinara langsung melemas. Ponsel hitam yang begitu familiar ia gapai dengan tangan bergetar. Sambil menggigit bibir, air mata pun jatuh begitu derasnya.
"Benar ini gawai anak Ibu?" tanya seorang polisi paruh baya berbadan kekar. Membuat Kinara menggeleng keras seraya terisak.
Dira ikut menangis. Sempat syok dengan kedatangan dua orang asing ditambah kabar buruk yang mereka bawa. Entah bagaimana takdir menyusun skenario hidup keluarganya. Semua terasa begitu tiba-tiba. Padahal baru tadi pagi mereka sarapan bersama.
"Ya Allah, astaghfirullah, astaghfirullah, Dandiii ...."
Pak Didi, selaku teman pengajian Bagus sekaligus saksi mata terdiam melihat istri kerabatnya jatuh terduduk pilu. Merasa iba tapi tak bisa berbuat apa-apa. Sebab, ini lah takdir. Jodoh, maut, semua sudah di atur oleh sang maha kuasa.
"Dek, papa nya ada?"
Polisi bernama Imam itu berjongkok, menepuk-nepuk pundak Kinara sambil melayangkan beberapa pertanyaan pada Dira. Anak itu terlihat menenangkan sang ibu dengan wajah sembab.
"Papah k-kerja," jawabnya tersedu-sedu.
"Bisa minta nomor beliau? Ingin memberitahukan kalau motor yang korban pakai hampir 40% hancur, terutama bagian depan. Juga untuk mengurus segala keperluan yang menyangkut korban."
Dira semakin kalut dengan pernyataan mengerikan yang polisi tersebut katakan. Seolah mendukung, langit yang awalnya cerah pun mulai redup. Memperlihatkan segerombolan awan hitam pekat, menimbulkan udara dingin mencekam. Benar-benar proses hidup terburuk yang pernah ada.
Melihat respon yang Dira beri, polisi itu mencoba mengerti untuk berhenti bertanya. Membawa Kinara untuk duduk di kursi teras lalu menyuruh Dira untuk tenang dan mengambil segelas air.
"Ibu yang tenang yah, kita sama-sama berdoa semoga anak ibu lekas membaik. Sekarang sedang ditangani oleh pihak rumah sakit. Jangan khawatir. Habis ini kita sama-sama ke sana untuk mengecek, ya?"
Seolah tuli, tak ada respon yang Kinara beri kecuali Isak tangis memilukan. Bayangan akan kepergian Dandi siang tadi dengan wajah muram membuat berbagai pertanyaan menggerogoti pikiran. Kalau saja ia lebih cepat dan tegas melarang, pasti saat ini Dandi masih baik-baik saja di kamarnya.
"P-pak, ini papah ...."
Dira masih terisak saat menyodorkan gawai pada pria berseragam yang duduk di samping ibunya.
"Halo, selamat sore, Pak. Dengan bapak Bagus, benar?"
***
Berteman alat-alat asing di tubuh, Dandi mengerang kesakitan. Tak ada suara jerit pilu, hanya desisan tertahan diikuti kerutan dahi. Padahal cup oksigen sudah tertempel apik di sebagian wajah untuk membantunya bernapas, tapi ia masih merasa begitu sesak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dying Dream
Teen Fiction#Sicklit #Teenfiction #AriIrham (Full di KaryaKarsa) Dandi pernah berpikir sesuram apa hari-harinya tanpa melukis. Di saat waktu kelulusan hampir tiba, semesta seolah bercanda. Menghadapkannya pada pilihan sulit antara hobi dan keinginan orang tua...