Kepada malam yang tak pernah menaruh dendam, Dira titipkan doa dalam gelap bertabur temaram. Teruntuk raga terkasih yang sedang berjuang di dalam, semoga sakitnya lekas teredam.
Untuk kesekian kalinya Dira melihat sang kakak terluka. Entah apa yang terjadi pada laki-laki itu. Setelah sang ibu berlari panik kepadanya sore tadi, tiba-tiba saja kabar buruk menyapa. Bahkan hingga saat ini pun, tidak ada yang boleh menemui cowok itu selain tim medis yang bertugas.
Dingin angin malam mulai memeluk dalam keheningan. Lorong yang tadinya dilintasi beberapa pasien dan suster pun perlahan sepi. Dira bersandar lemas di kursi tunggu depan ICU. Matanya tampak merah sembab, masih dengan baju rumahan motif kumamon yang tadi tak sempat diganti.
Pikirnya kacau memikirkan apa yang tengah terjadi saat ini. Potongan-potongan kejadian masa lampau mulai menjamahi ingatan. Tentang Dandi yang dulu sering ia sepelekan. Tentang Dandi yang dulu selalu ia kambing hitamkan agar bisa bebas di luar rumah. Tentang Dandi yang sering dimarah hanya karena menutupi kesalahan yang ia lakukan. Tentang Dandi yang kemarin dipukul karena ketahuan pacaran, sementara dirinya?
Bak tertimpa batu besar, dada Dira nyeri. Entah masih bisa dimaafkan atau tidak, kesalahan yang ia perbuat pada Dandi benar-benar keterlaluan. Sebab jika dipikir, marah dan sikap protect Dandi semata-mata untuk menjaga dirinya dari bahaya di luar. Dan sialnya Dira sadar hal itu setelah sang pacar berkhianat.
Kini harapnya hanya satu. Semoga Allah lekas memberi kesembuhan untuk Dandi agar cowok itu tetap menjadi tameng terkuatnya. Menjadi orang pertama yang marah saat Dira lalai dalam perintah Allah. Dira menyesal, sangat menyesal. Andai kemarin ia ikut larangan Dandi untuk tidak jalan dengan Hengki, pasti dirinya tidak akan sehancur ini.
Suara langkah kaki memecah lamunan. Dari perempatan lorong, muncul sepasang suami istri yang cukup familiar. Itu Kinara dan Bagus. Keduanya berjalan lunglai dengan Kinara yang ditopang agar tetap berjalan dengan seimbang.
Dira berdiri, mendekat dengan wajah penuh harap. "Aa baik-baik aja 'kan?"
Namun, melihat wajah kacau Kinara, binar di mata Dira meredup. Ia menggigit bibir dengan hati kelewat cemas. Kalut di hati semakin menjadi-jadi. Bayangan akan kehilangan langsung menjadi momok terbesar dalam pikiran.
"Ini salah mamah, kenapa nggak cepat ambil kunci motor Aa tadi, harusnya Aa nggak pergiii ...."
Kinara meraung. Menutup muka dengan telapak tangan guna meredam suara tangis. Bagus yang duduk di sebelah ikut kalut. Terlihat dari tangannya yang saling tertaut seraya meringkuk. Sama seperti Kinara, ia juga takut.
"Ini semua salah mamah sama papah!" pekik Dira tiba-tiba. Mendung yang Kinara dan Bagus bawa sukses membuat cemas di hati semakin menjadi-jadi. Bayangan Dandi yang selalu muram belakangan ini membuat sebuah argumen tercipta.
"Kalau aja mamah sama papah nggak egois, kalau aja mamah sama papah coba denger maunya Aa, kalau aja mamah sama papah gak suruh-suruh Aa ini itu dan bandingin Aa sama orang lain, kalau aja papah lebih sabar dan nggak kasar, mungkin Aa nggak akan senekat tadi buat keluar dan jadi kaya giniii!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dying Dream
Teen Fiction#Sicklit #Teenfiction #AriIrham (Full di KaryaKarsa) Dandi pernah berpikir sesuram apa hari-harinya tanpa melukis. Di saat waktu kelulusan hampir tiba, semesta seolah bercanda. Menghadapkannya pada pilihan sulit antara hobi dan keinginan orang tua...