Setelah mendapatkan kepastian untuk bisa mengajak Kia jalan, Gue jemput dia di Kafe Halil sesuai kesepakatan kemarin, jam 15.30.
Datang sedikit terlambat, gue segera untuk memastikan Kia tak lama menunggu di sana. Benar. ternyata Kia sudah menunggu di Kafe itu.
"Hai. sudah lama menunggu?"
"tidak kok, cuma lima menitan"
"Jalan sekarang?"
"oke, Yuk"
Kami pun segera beranjak dari Kafe Halil menuju bagian lebih Utara di Daerah Dago. Dengan mobil jeep yang gue pinjam dari teman kostan gue, kami menuju menyusuri perkampungan dan hutan lindung yang ada di daerah Bandung Utara. Gue senang, pada akhirnya Gue bisa jalan bareng sama Kia yang selama ini gue kenal sebagai seorang Barista.
"Kia, kamu senang aku ajak jalan bareng kayak gini" lho kok jadi aku sih?
"tumben pake dhamir aku " Dia nanya keheranan sambil mengernyitkan dahi.
"Domir? apaan tuh?" aku justru yang balik nanya bloon apa itu Dhamir.
"kata ganti bahasa Arab. tumben kamu panggil diri kamu sendiri dengan kata kamu. biasanya juga gue"
"oh itu, anu, euh, ga tahu juga sih tiba-tiba aja. rasanya kalo pake kata gue berasa ga dekat aja, jauh gitu"
"emang jarak kita sekarang jauh gitu mas?" Waduh. maksudnya apa lagi dia. sedikit kikuk menjurus bingung. "Kita itu semobil mas, duduk berdampingan, walaupun ada jarak, ga seberapa jauh kok" Aduh Kia. Bukan itu maksud gue. begitulah percakapan sepanjang perjalanan, kami banyak bercakap yang kadang dihinggapi kebingungan dan kesalahpahaman. menyenangkan.
****
"Nah Kia, sudah sampai kita. kita parkir di sini kemudian kita jalan kaki ke atas sekitar 1 KM. Ready?"
"What? 1 kilo?, Salah Dresscode aku dong"
"Oke. naik ojek aja" segera aku menghampiri tukang ojek yang mangkal di sekitar lokasi parkiran. Setelah sepakat dengan ongkos. dua ojek pun menjemput kami dan membawa kami ke puncak.
"nah ini dia kia tempatnya" gue tunjukkan salah satu surga Bandung.
"wah mas Adam, ini kan tebing Raja Khayangan itu kan" dia terlihat antusias "aku dari dulu pengen ke sini"
"nah, senengkan. gue sering ke sini kalo lagi stuck. Gue berdiri di ujung tebing sambil mereum dan gue bayangkan beban-beban hidup yang hinggap di pundak gue terbang melayang keluar dari tubuh gue, Coba deh Kia" Gue persilahkan Kia untuk berdiri di ujung terbing Raja dan mengikuti apa yang gue bicarakan. dia pun mengikuti. "Gimana Kia? perasaan kamu gimana sekarang?"
"Lega mas Adam. perasaanku lega"
"coba buka mata kamu" Kia pun mengikuti
"Apa yang kamu lihat"
"wah. aku lihat beban-beban hidupku pergi melayang"
"Say Bye-bye dong!" dia mengikuti apa yang aku instruksikan
Beberapa kali kami ulangi aktifitas itu, Berswa foto dengan latar jurang yang sangat dalam dan matahari senja yang kian lama kian tenggelam. siluet perbukitan daerah Bandung Utara sudah terlihat di daerah barat. Sebuah tanda kami harus segera kembali. kami berjalan beriringan dengan jarak sebelum kemudian Kia menghentikan langkahnya dan bertanya "Seberapa bahagia Mas Adam menikmati kopi?" aku pun ikut berhenti
"Seluas samudera, selebat hutan, setinggi langit. apa lagi yang buatnya kamu. Maka nikmat kopi yang ku minum tak akan pernah terukur"
"Masa? Lebay ah Mas Adam" sambil menahan senyum dia berlari kecil menyusul geu
****
1 bulan kemudian
Akhirnya, skripsi gue diterima dan lanjut ke sidang. Gue ingin mengabarkan kabar ini ke Kia. Gue bergegas pergi menuju ke Halil Kafe. Sampai di sana gue tidak menemukan Kia. Gue hanya menjumpai Fika yang sedang sibuk mengelap meja Barista yang kotor setelah melayani pelanggan.
"Kia mana Fik?"
"lho kamu tidak tahu?"
"tidak"
"Dia pindah ke Surabaya. karena ada tawaran kerja jadi Barista di salah satu kafe terkenal di sana"
Kok Kia ga bilang dia mau pindah yah. sayang, padahal gue mau mengundang dia untuk hadir di sidang Skripsi besok lusa.
"Oh iya Dam. Kia nitipin ini tadi sebelum berangkat" Jelas Fika sambil memberikan goody bag yang berisi satu kantong kopi yang katanya dari Kia. aku ambil Goody Bag itu. di dalamnya kulihat ada satu botol kopi dan satu lembar catatan. aku kemudian mencari tempat duduk untuk membaca catatan pesan dari Kia itu.
untuk mas Adam.
sorry Mas Adam, saat Mas Adam membaca catatan ini, aku sudah berada jauh di kota lain untuk melanjutkan hidupku. aku sempat berpikir bahwa mas Adam adalah tempat yang nyaman untuk menyandarkan kepala yang tak bertuan ini. namun, ternyata hidup bukan hanya tentang siapa milik siapa? tapi juga tentang kepasrahan kepada dzat yang memiliki hidup.
semua akan kembali pada adat sunnatullah yang berlaku mas. setiap pertemuan pasti berjalan menuju perpisahan. saat itu Kia senang sekali bertemu mas Adam dan membuatkan kopi untuk mas Adam. Sebelum Kia benar-benar pamit, Kia sengaja membuatkan Mas Adam Kopi, untuk menemani pekerjaan mas Adam kelak. Kia harap mas Adam bisa sedikit demi sedikit mengikhlaskan Kia seiring surutnya kopi di dalam botol itu.
Semoga kita kelak bisa bertemu kembali yah Mas, dalam keadaan apapun. terima kasih. beban-beban pikiranku tak pernah ikut lagi sejak Mas Adam mengajarkan cara melepaskannya di Tebing Raja dulu.
Bandung, saat musim hujan
Kia Dewantoro Salsabilah
Gue tertegun sejenak membaca catatan dari Kia. Gue tahu dan faham, bagaimana perasaan kia saat itu. "Amiiin" terakhir, gue aminkan harapan Kia.
YOU ARE READING
Gerimis di stasiun Tugu
Short StoryKumpulan Cerpen yang pernah ikut berjuang berlari dan mendaki terjalnya kompetisi. Mengalir seadanya tanpa sentuhan apapun. Banyak rasa yang bisa dirasakan, bahkan rasa yang tak pernah ada sekalipun. CInta, Kenangan, Rindu bahkan perisahan. selamat...