Mak Ros Penyapu Halaman Masjid

22 1 0
                                    

Sore itu mentari mulai mengemas sinar dan panasnya, mengucapkan salam perpisahan untuk bertemu lagi esok. Sisa-sisa sinarnya menerpa masjid Baeturrohman dari sebelah barat, hingga menimbulkan bayangan yang memanjang ke timur. Waktu inilah aku sering melihat mak Ros dari rumahku yang hanya bersebelahan dengan masjid, menyapu halaman masjid yang kotor karena debu yang tertiup angin sampah yang berserakan bekas jajan anak-anak ketika bermain di halaman.

Mak Ros menyapu masjid dengan telaten di usianya yang sudah uzur. Dia benar-benar menghibahkan dirinya ke masjid itu. Tak pernah ada yang menyuruhnya menyapu. Sepertinya hanya keikhlasan dan penghambaannya yang menggerakkan kakinya ringan melangkah ke masjid, tangannya cekatan mengayunkan sapu yang dia beli sendiri dan memodifikasinya agar seimbang dengan tubuhnya yang mulai membungkuk.

Mak ros tinggal sebatang kara di rumahnya. Hanya dinding ruangan tiga kali tiga yang menemaninya sepanjang malam. Namun, di usianya yang semakin senja itu, dia tak pernah mengeluh akan hidupnya yang sepi. Yang dia lakukan hanya mengabdikan diri untuk tuhannya yang mungkin sebentar lagi akan menjemputnya pulang.

Setiap hari Mak Ros bertemu dengan orang-orang. Mak ros menyalaminya, dan meminta maaf dengan wajah yang memelas. Air mata yang berusaha dibendungnya. Tangannya yang mulai keriput menyalami setiap orang yang ditemuinya. Pandangannya menatap dalam, seakan hendak dikenangnya orang yang disalaminya. Seakan itulah waktu terakhir yang tidak mau dia lewatkan untuk meminta maaf.

Seperti sore kemarin Mak Ros menyalamiku dan meminta maaf.

"Maafin emak yah Nak!, jangan kurang untuk mengampuni mak, mak doakan kamu sukses dunia akhirat banyak rezeki".

Namun di suatu sore, aku tidak melihat mak Ros menyapu halaman masjid. Sampah-sampah yang bertebaran seakan menunggu sapuannya. Hampir setiap jamaah yang akan menunaikan Shalat Maghrib bertanya-tanya "kemana Mak Ros?".

Esok harinya mak Ros belum nampak juga. Sampah-sampah semakin berserakan. Lantai depan masjid berwarna hijau itu nampak berdebu. Sudah lama Takmir masjid itu tidak terlihat, ketua DKM-nya sibuk dengan bisnisnya. Hanya mak Ros yang sangat perhatian pada kebersihan masjid ini.

Sore harinya aku penasaran dengan keadaan ini. Sangat tak biasa jika tidak melihat Mak Ros menyapu halaman masjid. Saat itu juga aku putuskan berkunjung ke rumahnya. Rumah kecil yang berbatasan dengan tanah pemakaman umum. Rumah yang seakan-akan mendekatkannya pada tuhan di usia senjanya. Kulangkahkan kakiku seraya kutenteng satu keranjang buah-buahan untuk sekedar ucapan terima kasihku atas jasanya membersihkan masjid.

Sesampainya kakiku di muka rumahnya, kulihat pintunya tertutup. Kuketuk dan ucapkan salam. Namun, tak ada yang menjawab. akhirnya kuberanikan diri untuk membuka pintunya. "Dikunci". Gumamku. Kemana mak Ros?

Tak lama aku berdiri di depan pintu rumah mak Ros, seorang tetangganya mengabarkan padaku bahwa mak Ros sedang dibawa ke Rumah sakit.

"Bersama siapa teh?" aku tanya.

"Bersama kang Boni" jawabnya singkat.

"Sejak kapan mak Ros sakit?"

"Sudah dua hari"

"Yah sudah nanti saya kembali teh". Aku pamit pulang

"Mangga-mangga".

Selepas shalat Isya aku langsung memejamkan mata karena kecapean.

Tengah malam aku terbangun karena suara yang cukup menggangguku. Srettt....srettt...srettt. suara ujung sapu menggores paving block halaman masjid. Aku coba tengok dari jendela kamarku, terlihat sosok di bawah terang sinar bulan purnama sedang menyapu halaman masjid. Siapa? tanyaku dalam hati. Apa mungkin itu mak Ros? Sudah sembuhkah dia?

Aku semakin penasaran karena tak biasanya ada orang menyapu halaman masjid tengah malam begini. Aku keluar rumah dan meyakinkan diri bahwa yang kulihat itu adalah sosok mak Ros. Tapi tadi sore masih di rumah sakit. Aku langkahkan kakiku keluar. Kubuka pintu rumahku. Desiran angin malam dingin menyapa tubuhku. Kurasakan anginnya menyentuh lembut tengkukku yang membuat rambut halusku berdiri.

"Mak....mak..." kupanggil dengan suara lembut. Namun, sosok itu tak menghiraukanku dan terus menyapu sampah-sampah yang berserakan dan sudah dikumpulkannya di sudut halaman masjid. Mungkin tak terdengar dari sini. Aku coba untuk mendekat.

"Mak....mak...." sosok itu menoleh ke arahku. Ternyata benar mak Ros. Namun ada yang aneh. Kulihat wajah mak Ros begitu bersih, tampak sinar bulan memantul dari wajahnya. Dia memberikan senyuman padaku dalam keheningan malam itu.

"Mak sudah malam, besok saja menyapu sampahnya" saranku agar mak Ros meneruskan kegiatan ini esok hari saja. Tak ada jawaban apapun yang diberikannya. hanya air matanya ku lihat menetes. Senyumannya hilang berganti sedih sembari telunjuknya menunjuk sampah yang berserakan.

"Iyah mak besok saja sekarang sudah malam, nanti mak sakit lagi, sekarang mendingan mak pulang saja, istirahat, mari saya antar"

Lagi-lagi tak ada jawaban lisan darinya. Hanya sebuah isyarat menggelengkan kepala, tanda mak Ros tak sepaham denganku.

"Besok saja mak, insya Allah saya bantu. Kebetulan besok saya libur". Kali ini mak Ros mengangguk tanda setuju. Namun, tetap tanpa kata-kata.

Sosoknya berjalan pulang membawa sapunya melewati gang sempit antara masjid dan rumah penduduk yang gelap karena cahaya bulan terhalang atap. Di ujung gang, sosok mak Ros sudah tak terlihat menghilang ditelan gelap.

*

"Pah....pah bangun!" suara istriku membangunkanku setengah memaksa. Badanku diguncangkannya keras.

"Iyah mah...." jawabku sambil menggeliatkan badanku, menghilangkan rasa kaku yang biasa terasa di pagi hari bangun tidur.

"Pah...Mak Ros pah...." istriku hendak menyampaikan sesuatu sambil terburu-buru.

"kenapa mak Ros mah....hhhhuaaaa" sambil menguap kucoba menanggapi.

"mak Ros meninggal pah....."

"inna lillahi wa inna ilaihi rojiun, baru saja tadi malam papah ketemu dia mah, di depan sedang menyapu"

"hah ngarang papah....papah bermimpi mungkin"

"serius mah, malah papah ngobrol"

"hihhh, pah jasadnya juga masih di rumah sakit belum di bawa ke sini"

Setengah tak percaya aku bangkit dari tempat tidurku, dan cepat-cepat berjalan ke luar rumah. Memastikan sapuan mak Ros semalam yang dikumpulkan di sudut halaman. Aku kaget melihat halaman masjid itu tampak bersih tak ada sampah yang berserakan atau terkumpul di sudut halaman.

Aku benar-benar heran dan bingung. Berbagai macam pertanyaan muncul di benakku. Siapa yang menyapu semalam? suaranya jelas, sosoknya jelas.

"mah demi Allah aku lihat mak Ros semalam, menyapu halaman, suara sapunya jelas terdengar mengganggu tidurku". Aku coba meyakinkan istriku. Istriku keheranan melihat suaminya layaknya orang gila yang sedang meracau tak karuan.

"sudah pah ambil wudhu, terus shalat subuh sana biar tenang"

Selepas shalat subuh, suara sirine Ambulance semakin dekat dan semakin keras terdengar. Ambulance itu berhenti di depan masjid. Keranda yang mengusung jenazah mak Ros diturunkan langsung ke masjid untuk dishalatkan.

Sementara aku masih belum percaya atas apa yang menimpaku tadi malam. Benar-benar di luar akal, bertemu sosok mak Ros yang bercahaya bersih. Sedih melihat sampah yang berserakan di halaman mesjid. Apa mungkin itu Arwah mak Ros? Menitipkan halaman masjid padaku.

Sejenak aku menyesali diri. Sehari-hari aku melihat sampah bertebaran di halaman masjid namun aku tak bergerak untuk membersihkannya. Aku beristigfar berkali-kali. Memohon ampun karena tak begitu peduli pada masjid di samping rumahku ini.

Lalu bagaimana sosok yang kulihat semalam? Siapa dia sebenarnya?

Gerimis di stasiun TuguWhere stories live. Discover now