Tidak ada dingin yang bisa mengalahkan dinginnya pagi ini di Lembang, suasananya benar-benar sepi, tidak seperti pagi biasanya. Suasana dan cuaca pagi ini benar-benar membuat badanku menggigil, padahal tidak ada angin besar menerpa, hanya butiran lembut air hujan yang turun melayang dari langit. Aku memandang nanar hujan yang turun pagi ini. Dan memaksaku untuk sedikit berhati-hati menembus jalanan licin. Suasana ini benar-benar menerbangkanku ke masa lalu.
Kala itu, aku tidak pernah memikirkan jalan hidupku akan menjadi seperti ini. Berjuang dalam kesendirian, menelusuri jalan pengharapan yang panjang. Namun, penuh dengan rintangan. Mendayung bahtera di tengah badai yang berkecamuk. Tapi, aku memiliki keyakinan bahwa Allah selalu ada untukku.
Namaku Alika. Seorang penjahit. Aku bukan santri atau paham ilmu agama. Aku hanya seorang yang menginginkan keselamatan di akhirat kelak. Lima tahun lalu aku menikah dengan Bagaskoro. Lelaki yang berhasil membuatku percaya untuk bersandar di pelabuhan hatinya. Aku berharap dia bisa menjadi penyelamatku di kehidupan akhirat. Namun sayang, kami memiliki tujuan dan cara yang berbeda untuk bahagia. Dia memaksakan tujuannya kepadaku. Dan aku tidak bisa menerimanya. Tabu. Kisah kami memang Tabu, kami berbeda keyakinan. Aku seorang Muslim sedangkan Bagas seorang Nasrani.
Bagas bersiasat untuk meyakinkan aku dan keluarga besarku. Bagas mengucapkan kalimat Syahadatain. Dan kami pun bisa bersatu. Satu tahun dua tahun kami hidup dalam kedamaian, rukun dan tidak ada suatupun bisa mengganggu. Sayang, Bagas tidak pernah menjadi Imam dalam shalatku. Munfarid, lagi, aku munfarid. Setiap waktu shalat. Dan akhirnya semuanya terkuak. Bagas tak sepenuhnya menjadi Muslim. Hidayah tidak pernah datang kepadanya.
Satu kali dua kali, aku coba bertahan. Berdoa meminta hidayah untuknya. Namun, Allah belum mengirimkan hidayahnya. Sehingga aku putuskan, aku tidak bisa bersama dengannya. Kami memang saling bersandar, bahkan Bagas sering meyakinkanku bahwa hanya aku perempuan satu-satunya dalam hatinya. Tidak ada yang lain. Tapi sayang, kita menuju arah yang berbeda.
"Aku tahu kamu sangat mencintaiku Gas, dan tidak pernah kuragukan itu, tapi maaf aku tidak bisa bersama denganmu"
"Kenapa? Karena aku tidak pernah shalat?, aku sangat mencintaimu Alika. Tidak ada yang lain. hanya kamu yang aku cintai. Tolonglah bertahan denganku."
"Maaf Gas, aku harus pergi. Kita tidak bisa bersama dengan ikatan ini. Nyatanya, kita tidak ada dalam ikatan yang sama"
"Apa yang harus aku lakukan?"
"Jangan pernah bertanya itu lagi, sudah berapa kali kamu mengingkari jawabanmu"
"Alika, aku tidak bisa membantah ibuku"
"Selamat tinggal Gas, kamu bukan surgaku. Kita tidak pernah sama Gas, kamu menanti malam sedangkan aku menanti fajar. Aku harus berbenah lagi Gas, kapal pesiar kita sudah hancur, aku kehilangan nahkoda bahkan sejak pertama kita mulai berlayar, aku tidak pernah dipandu mengarungi ganasnya terjangan badai"
"Tapi, tapi, aku penuhi kebutuhanmu"
"Iya, kebutuhan dunia, bukan kebutuhan Akhirat. Aku butuh itu Gas, dan kamu tidak pernah memberikannya untukku"
"Kenapa? Aku tidak pernah melakukan dosa besar"
"Karena arah kita berbeda Gas" Tidak pernah sama, arah kami tidak pernah sama. Berbeda.
"Izinkan aku pergi dulu Gas, tidak ada yang berubah denganku. Hanya, aku tidak ingin lagi dimilikimu"
"Apa salahku? Apa kau sudah tidak mencintaiku"
"Jangan tanya tentang cinta padaku, kamu tahu sendiri_"
"Yah kamu masih mencintaiku. Aku bisa merasakannya. Tapi mengapa kau ingin pergi?"
"Karena kita tidak searah Gas"
Perdebatan itu pun menguras air mataku. Masya Allah. Aku benar-benar belum ikhlas melepasnya. Jujur, aku masih sangat mencintainya. Mencintai Bagas. Tapi untuk apa? Untuk apa bersama dalam perbedaan. Tujuan kami tidak akan pernah tercapai. Kami mengayuh ke arah yang berbeda. Semakin kami kuat mengayuh semakin jauh kami berpisah. Bahtera semakin rawan untuk karam. Lebih baik aku pergi. Mencari sekoci dan mendayung. SENDIRI. Walaupun aku bingung kemana harus berlabuh.
"Bagaskoro, aku tahu kau sangat mencintaiku. Tapi, jangan paksakan genggamanmu. Tolong izinkan aku untuk pergi dulu. Tidak ada yang berubah dariku. Aku masih teman baikmu, kamu masih bisa melihatku. Tapi, aku bukan lagi milikmu"
Tidak ada jawaban dari Bagas. Dia tenggelam dalam gemiricik gerimis kala itu. Dinginnya benar-benar sudah tidak dirasakan. Diujung daun pintu dia menahanku, memelukku. Tak kubiarkan dia. Meronta sekuat tenaga. "Maaf Gas, tolong ikhlaskan aku, cari wanita yang searah denganmu. Aku tidak bisa mengikutimu, aku tidak bisa meninggalkan tuhanku demi kamu Gas, tolong pahami aku"
Sejak saat itu, tidak ada Bagaskoro dalam kehidupanku sehari-hari. Fix. Aku berlayar sendiri. Mengarungi samudera dengan segala keganasan dan mara bahayanya.
Kini sebuah outlet baju sederhana sudah aku miliki. Sedikit keahlianku tentang dunia menjahit dan mendesain menjadi modalku berjuang dalam kesendirian. Sayang. Di tengah kesuksesan itu tidak ada sosok Bagaskoro. Jujur, aku masih merindukan sosoknya. Tapi sayang, tidak ada kabar darinya. Dia hilang bagai ditelan bumi.
Bismillah aku ucapkan, kubuka toko hari ini. Mudah-mudahan berkah. Segalanya kutata dengan baik. "Allohumma inni asaluka ilman nafian wa rizqon toyyiban wa amalan mutaqobalan". Suara khas Rolling door menggulung terdengar jelas bertanda toko sudah mulai dibuka.
"Assalamulaikum Alika..." suara khas itu memanggil sesaat setelah toko terbuka. Tapi, siapa? Berjanggut lebat dan wajahnya bercahaya "Apa kabar?" Masya Allah. Dia. Yah lelaki yang selalu kurindukan.
"Bagas!.....Alhamdulillah"
_______________________________________________________________________________
terinspirasi dari Lagu Pamit yang dipopulerkan oleh Tulus.
Cerpen selanjutnya: Mobil baru Pak Haji
Berkisah tentang adat sakral di suatu daerah yang coba didobrak pake akal sehat. Ence dengan nyelenehnya mendobrak kebiasaan Riya Pamannya yang selalu dikaitkan dengan adat syariat beragama. Baca Selengkapnya >>>>>

YOU ARE READING
Gerimis di stasiun Tugu
Short StoryKumpulan Cerpen yang pernah ikut berjuang berlari dan mendaki terjalnya kompetisi. Mengalir seadanya tanpa sentuhan apapun. Banyak rasa yang bisa dirasakan, bahkan rasa yang tak pernah ada sekalipun. CInta, Kenangan, Rindu bahkan perisahan. selamat...