Sajadah Hijau
Suara Adzan mengumandang di langit malam itu, suara Muadzin merdu mengalir merambat di udara dingin desa Sariwangi. Suaranya riuh saling bersahutan di langit malam itu.
Gemericik air wudhu mengalir di tempat wudu mushola Baeturrahman. Menjauhkan anggotanya dari segala kotoran. Layaknya barat terpisah jauh dengan timur, layaknya kotoran yang dibersihkan dari kain putih. Airnya menyejukkan setiap jiwa yang terkantuk. Aku dan jamaah lainnya tenggelam dalam khusu shalat, menjemput cinta ilahi.
Dalam barisan shaft shalat Isya aku lihat seorang pesepak bola dari desaku yang sekarang berkiprah di liga Nasional. Namanya Ramdan dia senang sekali bermain sepakbola semenjak kecil. Dia memang terlahir dari keluarga penggila permainan kaki ini. Ayahnya mantan pemain PS Desa kami. Kepiawaiannya dalam bermain sepak bola banyak diakui di desa kami. Banyak prestasi yang di raihnya dalam olah raga ini. Berbagai macam kompetisi dia ikuti sehingga membawanya ke level nasional, dari tingkat pelajar hingga professional. Sekarang dia dipanggil menjadi pemain senior timnas Indonesia dalam umur yang masih muda, 25 tahun. Karena penampilan yang apik, banyak klub di indonesia dan luar negeri berminat memakai jasanya. Namun, dia lebih memilih berkarir di dalam negeri. karena cintanya untuk negara ini adalah cinta mati. Yah dia sangat mencintai negara kesatuan Republik Indonesia.
Dia memiliki karakter yang unik sebagai pesepakbola. Dari sekian banyak pemain yang bertebaran di Indonesia, dia memiliki kepribadian yang saleh, taat beragama, dan santun, baik dalam lapangan atau di luar lapangan. Posisinya sebagai gelandang bertahan kadang membuatnya harus berhadapan dengan permainan keras. Namun, permainannya itu selalu santun. Sikap fairplay bisa dia tunjukan dengan baik kepada rekan satu timnya dan lawan bertandingnya. Di luar lapangan dia pribadi yang terbuka dan murah senyum. Tak jarang teman-teman media yang memburu beritanya merasa sudah akrab dengannya. Tak ada raut muka sombong dan ketus. Berbeda dengan pemain lain yang terkadang bersikap tidak ramah dengan media. Hal tersebut membuatku penasaran akan karakter uniknya.
Aku teman satu kelas kakaknya yang bernama Ujang di SMP hingga SMA. Ujang sering bercerita tentang Ramdan. Seperti malam ini selepas shalat Isya, Ujang berkunjung ke rumah. Banyak hal yang kami bicarakan, salah satunya membicarakan permainan sepak bola. Dalam kesempatan itu aku bertanya tentang Ramdan dan kepribadiannya yang unik. Awalnya kakaknya tidak mau banyak cerita. Namun, aku desak terus untuk bercerita. Dan akhirnya dia mulai membuka suara. Aku bersiap memasang telingaku mendengarkan Ujang bercerita.
Suara jangkrik riuh saling bersahutan seakan saling memanggil di halaman rumahku. Ujang menarik nafasnya panjang dan mulai bercerita.
"Mas! Sikap dia dulu tidak seperti sekarang. Dia mudah marah, emosinya selalu meledak-ledak. Aku yang selalu mengantarnya ke sekolah sepakbola, sering mendapatkan komplain dari orang tua siswa yang lain tentang sikap permainannya yang keras cendrung kasar. Dia selalu bersikap licik dalam bermain sepak bola. Di rumah, sikapnya pada orang tua bagai si Malin Kundang anak durhaka itu. Kekhawatiran bapak pada pergaulan anak muda sekarang, membuat bapak selalu menanamkan nilai-nilai keagamaan kepada anak-anaknya. Namun, Ramdan bukan anak yang penurut. Dia sering kabur jika disuruh solat, pertengkaran antara kami dengannya selalu pecah di pagi hari ketika membangunkannya untuk solat subuh" Ujang menhela nafas dan meminum kopi hidangan istriku.
"Serius? Kenapa sekarang bisa berubah?" Aku menyela cerita Ujang. Ujang melihatku kaget. Bibirnya mulai tersenyum dan bercerita lagi.
"Setelah Ramdan lulus SMP, bapak mengumpulkan kami sekeluarga. Dalam ruangan keluarga yang tidak begitu luas kami semua berkumpul termasuk Ramdan. Saat itu bapak mengabarkan hal yang tak pernah di duga. Bapak ingin memasukkan Ramdan ke pondok pesantren. Kami semua kaget. Pasalnya dari kelima orang anak bapak, tak ada yang pernah mencium pesantren. Ramdan si bungsu tentu kaget. Sikap pemberontaknya muncul dalam kumpulan itu. Ramdan menanyakan alasan bapak memasukkannya ke pesantren. Dia tak ingin masuk ke pesantren. Bapak mencoba berbagai macam alasan untuk merayunya. Namun, Kecintaannya pada sepakbola, menjadi tembok kokoh untuk menangkis semua rayuan bapak. Padahal bapak menawarkan pesantren yang modern untuknya. Namun, tetap saja dalam pikirannya pesantren akan menghambatnya masuk dalam dunia pesepak bola professional" Ujang berhenti sejenak, menyeruput kopinya dan melirik jam tangannya.

YOU ARE READING
Gerimis di stasiun Tugu
Historia CortaKumpulan Cerpen yang pernah ikut berjuang berlari dan mendaki terjalnya kompetisi. Mengalir seadanya tanpa sentuhan apapun. Banyak rasa yang bisa dirasakan, bahkan rasa yang tak pernah ada sekalipun. CInta, Kenangan, Rindu bahkan perisahan. selamat...