34. Responsibility

75 10 0
                                    

Tes.

Satu lagi tetesan liquid bening jatuh dari pelupuk mata seorang Jaehyun. Entah sudah keberapa kalinya ia menitikkan air matanya, matanya mulai memanas dan memerah. Meskipun begitu, dia tetap berusaha untuk membuka matanya lebar lebar untuk membaca coretan pada lembaran yang baru saja ia buka.

Sudah sepuluh menit lamanya Jaehyun membaca alfabet korea yang disusun sedemikian rupa oleh ibunya, buku yang terlihat usang tersebut berjudul 'Buku Harian Soojung'

Jaehyun selalu saja menangis kala membaca tinta yang ditorehkan oleh ibunya menceritakan tentang ayahnya yang selalu berbuat kasar kepadanya. Sampai sekarang, tiap bentakan dan kekerasan fisik yang dialami Jaehyun saat masih kecil pun masih membuat bekas luka yang tak dapat hilang di hatinya.

'14 Februari 2006
Hari ini uri Yoonoh berulang tahun, namun suamiku dan aku harus bekerja agar dia bisa hidup. Ya... Lagi lagi kami harus membunuh orang, korban selanjutnya atau korban ke-34 adalah gadis kecil pewaris KAI Group, Kim Jiyoon. Sejujurnya aku tak suka dengan pekerjaan ini, namun suamiku yang pemalas itu selalu saja mengancam Yoonoh akan mati jika aku tak menurutinya.

Pekerjaan kali ini mungkin akan lebih sulit dibandingkan sebelumnya. Seperti membalikkan sebuah koin, jika mendapat angka maka kami akan mendapat ratusan juta dan jika mendapat gambar maka kami yang akan mati.

Kalau saja pekerjaan ini gagal, aku benar benar minta maaf pada Yoonoh—andai saja dia bisa membaca ini kelak. Maafkan ibu dan ayah, nak. Kami sudah berbuat kasar padamu dan memukulmu. Maaf, karena kami telah gagal menjadi orang tua yang baik untukmu. Maaf—'

Tulisan terhenti, Jaehyun membalik halaman selanjutnya. Namun yang dia dapatkan hanyalah halaman kosong dan semenjak paragraf terakhir, tulisan ibunya menjadi lebih berantakan dari sebelumnya.

Oke, lagi lagi Jaehyun menitikkan air matanya. Dirinya menahan setengah mati agar tidak mengeluarkan tangisannya, dia tersedu sedu dengan pelan—tak ingin menjadi pusat perhatian.

"Ibu, maaf karena aku telah hadir di dunia. Kehadiranku saja sudah sebuah kesalahan, demi menghidupkanku kalian menjadi berdosa." Jari Jaehyun mengusap halaman terakhir yang berisi tulisan ibunya. Kemudian, ia beralih untuk menghapus air matanya.

"Aku ..." iris hitam kecoklatan itu lagi lagi memanas, tetapi terus saja menatap nanar ke arah gabungan dari beberapa lembaran itu. "... Harus bertanggung jawab, 'kan?"

Jaehyun mengangguk—sebagai balasan atas pertanyaannya sendiri.

Setelah membulatkan tekadnya, Jaehyun memasukkan buku beserta flashdisk tadi ke dalam box seperti semula. Setelah itu dia bangkit dari duduknya dan berjalan dengan penuh keyakinan.

Maafkan aku, Jiyoon-ah.

...

"

Bisakah aku meminjam teleponmu?"

Seokhoon menoleh ke arah Jiyoon yang sedang menghangatkan dirinya di depan alat pemanas. Kemudian, pria berawakan tinggi dan tegap itu mengangguk seraya memberikan ponsel pintar miliknya pada Jiyoon.

"Terimakasih," ujar Jiyoon merekahkan senyuman simpul, kemudian ia beranjak untuk pergi ke ruangan lain. Dirinya ingin sedikit privasi.

Setelah Jiyoon merasakan tak ada orang yang akan mendengarnya, gadis itu langsung menekan nomor satu demi satu di layar ponsel. Dia menelepon nomor telepon kedua yang ia hapal—setelah nomornya sendiri.

Jiyoon menggengam ponsel itu dengan erat, berharap agar sang pemilik nomor menerima panggilan tersebut. Tak selang beberapa detik setelah panggilan tersebut tersambung, Jiyoon akhirnya mendengar suara orang yang saat ini ia rindukan.

"Yo! Wassup!"

"Mark …" panggil Jiyoon dengan suara yang relatif pelan, bibirnya membentuk sebuah lengkungan ke atas.

"Yes. Apa kabar?" tanya Mark dengan vokal yang benar benar girang dari seberang sana, ia juga dapat mendengar suara musik yang berdentum dengan keras di tempat Mark berada.

"Kamu di bar, yaa?" tebaknya diikuti dengan dehaman, membuat sang adik terkekeh canggung.

"Aku belum minum alkohol, kok!"

Mendengar suara adiknya saja sudah menjadi penyemangat hari Jiyoon, suara Mark yang agak serak namun bahagia itu membuat hatinya hangat— seperti di siram hot chocolate di musim dingin.

Untuk beberapa saat, hening. Hanya ada suara musik berdentum dari tempat Mark yang sedikit terdengar melalui telepon mereka. "Ohya, Noona belum menjawab pertanyaanku. Apa kabar?"

"I'm not fine, kamu?"

"Absolutely fine! Eh—Noona tidak baik baik saja?! Apa ada masalah di sana?" kali ini suara Mark yang gembira di gantikan dengan suara Mark yang khawatir. Jiyoon terkekeh pelan, membayangkan wajah panik adik laki lakinya.

"Jaehyun kabur dan aku nyaris meninggal. Miris, ya?" Tanpa bertanya izin terlebih dahulu, air mata Jiyoon mencelos begitu saja.

"B-bagaimana bisa?! Sekarang Noona berada di mana?"

"Rumah teman, dia yang menyelamatkanku." Lagi lagi hening, Mark yang sibuk berfikir mencari solusi dan Jiyoon yang berusaha sekuat tenaga menahan suaranya agar tidak bergetar. Tapi gagal, bahkan Jiyoon pastikan Mark dapat mendengar tangisan pelannya.

"Mark ... Aku takut," ucap Jiyoon dengan suara bergetar.

"Aku pergi ke sana, sekarang juga. Jangan pergi ke mana mana, tetaplah di rumah teman Noona. Kirim lokasinya lewat SMS. Jangan menangis lagi, kumohon." pinta Mark.

Baru saja Jiyoon ingin menolak permintaan adiknya, namun sambungan telepon mereka berdua diputuskan sepihak oleh Mark. Membuat Jiyoon menenggelamkan kepalanya diantara kedua lututnya yang ia peluk.

Cukup beberapa menit untuk Jiyoon meredakan tangisannya, ia tak mau dianggap cengeng oleh Seokhoon dan Sena. Setelah Jiyoon memastikan wajahnya melalui cermin, ia melangkah keluar dari ruangan.

Rumah Seokhoon tidak terlalu besar, namun terlihat luas karena hanya ada sedikit perabotan. Hanya ada tiga kamar dan dua kamar mandi, serta dapur terhubung oleh ruang keluarga.

Terdapat Sena yang sedang menyajikan tiga gelas cokelat panas di atas meja yang berada di antara sofa dan televisi. Seokhoon yang sedang membaca buku pun menoleh ke arahnya bersamaan dengan Sena.

"Sudah selesai?" Jiyoon mengangguk sebagai tanggapan dari pertanyaan yang dilontarkan Seokhoon seraya mengembalikan ponsel pintar tadi kepada pemiliknya. "Duduklah bersama kamu, Sena Noona sedang berusaha mencari perhatian, lho. Tumben sekali ia membuat minuman seperti ini di musim dingin. Biasanya, dia malah membuatkanku es jeruk."

"Bae Seokhoon!" seru Sena tak terima.

"Wae? Bukankah sejak dulu Noona selalu menginginkan adik perempuan?? Sampai temanku pun, Noona ingin jadikan adik perempuan," goda Seokhoon lagi dan nyaris mendapat tinjuan kepalan tangan Sena kalau saja Seokhoon tak beranjak pergi dari tempat duduknya.

Jiyoon tersenyum simpul melihat kehangatan antara kedua saudara tersebut. Lagi lagi, ia merindukan adik kecilnya. Jiyoon pun mendudukkan tubuhnya tak jauh di samping Sena.

"Terimakasih," ujar Jiyoon saat menerima secangkir cokelat panas dari Sena.

—to be continue—

Jangan lupa streaming save yaaaaaa^^

Sequoia, Jaehyun ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang