Dua Puluh

555 39 3
                                    

"We're far from the shallow now." — Lady Gaga, Shallow


SAAT terbangun, aku merasakan kebahagiaan nikmat yang susah dijelaskan dengan kata-kata. Karena saat membuka mata, hal pertama yang kulihat adalah Farhan tertidur pulas di sampingku. Posisinya bergelung ke arahku, kepalanya terletak di bahu kananku. Hangat napasnya yang teratur menyapu kulit bahuku.

Kuperhatikan bulu matanya yang tampak lebih lebat saat kedua matanya tertutup. Hidung mancungnya terlihat kuat dan mantap. Bibirnya agak terbuka sedikit, mengeluarkan dengkuran halus yang terdengar seperti geraman anak kucing.

Aku nggak bisa menahan diriku lagi. Aku mengangkat kepala, menyandarkannya di dada Farhan yang telanjang. Kupeluk dia erat-erat, kunikmati degup jantungnya yang menenangkan. Aku merasa nyaman berada dalam pelukannya, apalagi posisi kami sekarang lagi nggak pakai baju, dan suasana di kamar ini juga jadi tambah dingin, jadi kurapatkan tubuhku ke tubuh Farhan, memeluknya lebih erat lagi. Sedetik kemudian, kucium bibirnya.

Farhan terbangun dan membuka mata. Awalnya dia kaget, tapi nggak berusaha menjauh dariku. Setelah cukup sadar, Farhan tersenyum, kemudian membalas ciumanku. Ciuman pagi. Rasanya lembut, basah, agak lengket, dan menggairahkan. Setelah apa yang kami lakukan tadi malam, ciuman pagi ini terasa sama nikmatnya dengan yang itu. Nggak lama kemudian, Farhan melepas bibirnya.

"Kok dilepas?" tanyaku, cemberut. "Aku mau lagi kayak yang semalem."

"Nakal kamu, ya!" Dia mencubit hidungku. Aku makin cemberut.

"Maaf deh kalau aku nakal." Aku pura-pura ngambek, tapi nggak menjauhkan kepalaku dari dadanya. Aku suka mendengar detak jantungnya. "Maaf kalau aku udah nyesatin kamu."

Farhan mencium keningku. "Nggak apa-apa, Dino. Kamu hebat. Aku sampai gila karena goyangan pantat kamu yang montok ini." Dia menepuk pantatku, dan mengusapnya dengan gerakan sensual.

Aku nyengir. "Kemarin-kemarin kamu sok nolak waktu aku ajakin."

Farhan mengusap rambutku dengan sayang. "Karena aku masih takut. Aku belum pernah ngewe."

"Aku juga belum pernah, tapi aku penasaran banget pingin melakukannya sama kamu. Selama ini aku cuma bisa membayangkan ngewe sama kamu, jilat puting kamu, ngulum titit kamu, dan hal-hal erotis lainnya."

"Yeah," ujarnya, tersenyum simpul. "Sekarang bukan cuma ngebayangin, tapi udah ngelakuin."

Kupeluk dia lebih erat. "Makasih, ya," kataku. "Tadi malam adalah seks pertama paling enak dan paling hebat dalam hidupku." Farhan mengangguk, mencium keningku. "Tapi aku pingin kamu menghargai seks itu sebagai kepatuhan, dan bukan cuma kepuasan semata."

"Itu lirik lagu Anggun, kan?" Dia bertanya setelah menyadarinya.

Aku mengangguk. "Yah, tiba-tiba keingetan lagu itu."

Farhan tertawa kecil, lalu mencium pipiku berkali-kali. "Sebenarnya aku nggak mau melakukan seks itu karena dua alasan: 1) karena aku nggak mau nyakitin kamu; 2) karena aku takut bakal jadi maniak seks yang ketagihan dan kepingin melakukannya terus-terusan."

"Kamu nggak nyakitin aku, kok," kataku, mengusap dadanya. "Dan kalau kamu mau ngewe lagi denganku, aku juga mau, kok."

Farhan membuang napas. "Dino, please, aku tahu pasti sakit banget waktu aku masukin kamu." Dia memberi penekanan pada kata 'masukin'.

"Yeah, awalnya memang sakit, tapi lama-lama jadi enak, kok." Aku tersenyum jail, menggodanya. Diam-diam jari tanganku usil mencubit putingnya yang mengacung. "Genjotan kamu tadi malam benar-benar mantap. Kamu seksi kalau lagi horny begitu—bikin aku jadi tambah nafsu. Bau keringatmu juga enak, maskulin dan menggairahkan. Kamu bilang kamu nggak punya pengalaman seks, tapi gerakan kamu sangat natural dan kayak yang udah terlatih. Kamu bahkan buas banget waktu mainin aku."

Kamu & Aku #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang