Tiga Puluh Satu

357 31 0
                                    

"If this is my last night with you, hold me like I'm more that just a friend." — Adele, All I Ask


AKU tenggelam.

Aku nggak bisa bernapas.

Aku berada di dalam air yang dingin dan gelap, kehabisan napas dan terbatuk dengan keras. Setiap kali berusaha menjerit, air masuk ke dalam mulut, membakar kerongkonganku. Aku nggak bisa melihat apa pun kecuali kegelapan. Aku nggak bisa merasakan apa pun selain rasa sakit dan ketakutan.

Aku akan mati. Di dalam air.

Lalu sebuah tangan menarikku dari dalam air—menyelamatkanku dari rasa sakit dan ketakutan. Pelan-pelan tubuhku diangkat ke atas, dan ketika mencapai permukaan, aku terbatuk sampai sakit tenggorokanku. Aku hidup. Aku masih hidup. Kesulitan bernapas, tapi aku masih hidup.

Aku nggak tahu siapa pemilik tangan yang sudah menyelamatkanku. Aku menoleh ke sana kemari, tapi nggak ada seorang pun di sana. Nggak ada apa pun, kecuali kegelapan yang membutakan.

Tiba-tiba sepasang tangan pucat muncul dari dalam air. Tangan itu menggapai-gapai ke arahku, berusaha meraih kakiku. Tangan pucat itu berhasil memegang kakiku dan menyeretku masuk kembali ke air. Aku menjerit lagi, meminta tolong pada siapa pun yang telah menolongku tadi.

Tapi, terlambat. Aku jatuh lagi ke dalam air dan rasa sakit kembali menyesakkanku.

Aku menjerit. Kesakitan. Ketakutan. Dan tangan pucat itu menarikku semakin dalam, semakin dalam, semakin dalam. Aku membuka mata lebar-lebar untuk melihat siapa yang telah menenggelamkanku. Dan aku kaget melihat Lendra di bawah air, menarikku semakin dalam, membawaku ke dalam rasa sakit dan ketakutan yang lebih mengerikan. Muka Lendra pucat, mengerikan, dan matanya gelap kosong.

Lendra yang menarikku ke dalam air!

Aku berusaha menendang, mencoba berenang ke permukaan, tapi susah karena cengkeraman Lendra sangat kuat di kakiku.

Aku menjerit lagi. Aku menjerit sekuat-kuatnya karena aku ketakutan. Aku menjerit, menjerit, menjerit ....

Tubuhku terguncang dengan keras dan mataku terbuka lebar-lebar. Mulutku masih menjerit, menjerit, menjerit, menjerit ... sampai akhirnya aku sadar bahwa yang tadi itu hanyalah mimpi. Akhirnya aku menangis, karena mimpi itu membuatku takut dan kesakitan. Mimpi tenggelam—mimpi tenggelam dalam rasa bersalah.

Farhan, yang kebangun karena mendengar jeritanku, memelukku, menenangkanku, menjagaku dari mimpi buruk. Tapi aku sudah terlanjur ketakutan. Dan mau nggak mau aku menangis di pelukannya karena ini nggak akan hilang dari dalam kepalaku. Rasa bersalahku terhadap Lendra nggak akan bisa hilang.

"Itu cuma mimpi buruk, Dino," katanya, mengusap punggungku. "Cuma mimpi buruk."

Aku menggeleng keras-keras. "Nggak, Farhan. Ini lebih dari sekadar mimpi buruk."

Farhan melepas pelukan ketika Mama masuk ke kamar disusul Papa di belakangnya. Mereka pasti mendengar jeritanku dan langsung naik ke atas karena khawatir. Setelah melihatku baik-baik saja, raut tegang dan kekhawatiran di wajah mereka memudar.

"Nggak apa-apa," kataku, menghapus air mata. "Cuma mimpi buruk."

"Oh, Sayang," Mama menghampiri, memelukku. "Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik aja."

Aku benci kata-kata itu, jadi aku mengabaikannya.

Setelah memastikan sekali lagi bahwa aku baik-baik saja, Mama dan Papa turun ke bawah.

Farhan memelukku lagi. "Nggak apa-apa, Sayang. Kita bakal melewati semua ini bersama-sama."

♥︎♥︎♥︎

Kamu & Aku #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang