Tiga Puluh Tiga

345 28 0
                                    

"... there's nothing left to say, but good bye." — Air Supply, Goodbye


DEGG. Degg. Degg. Degg. Degg ....

Farhan tahu. Farhan menyadarinya. Sejak kapan dia mulai sadar bahwa aku sudah nggak bisa mencintainya lagi? Sejak kapan Farhan bisa membaca isi hatiku?

"Aku berusaha membuatmu cinta sama aku lagi, tapi aku nggak bisa. Aku gagal, Dino. Cintamu ke aku udah nggak akan bisa kayak dulu lagi." Dia menangis lebih menyayat sekarang.

Aku juga ikutan menangis. Mendengar tangis Farhan yang pilu membuat hatiku sakit dan sedih.

"Hati kamu udah hancur karena kematian Lendra, dan ini semua salahku karena nggak ada di samping kamu saat Lendra meninggal," lanjutnya. "Seharusnya aku ada di samping kamu, nemenin kamu, jagain kamu—sesuai dengan janjiku yang akan selalu ada di sampingmu saat kamu membutuhkanku. Tapi yang aku lakukan malah diemin kamu, menghindar dari kamu, dan membiarkanmu menghadapi kematian Lendra sendirian. Aku salah karena mengabaikanmu waktu itu, Dino."

Bahkan Farhan menyalahkan dirinya sendiri karena nggak ada di sampingku. Secara garis besar, akulah yang salah karena mengecewakannya dengan membiarkan Riko memelukku waktu itu, dan dia berhak marah padaku. Tapi kenapa justru dia yang merasa bersalah karena nggak bisa menemaniku saat Lendra meninggal?

"Hatimu sudah hancur malam itu, dan aku nggak ada di sana untuk memperbaiki segalanya. Seandainya aku nggak diemin kamu, mungkin keadaannya nggak akan kayak gini. Mungkin kita masih baik-baik aja—kamu masih bisa mencintaiku, sebesar kamu mencintaiku dulu."

Aku diam nggak tahu harus merespons bagaimana. Karena Farhan benar. Hatiku sudah hancur sejak Lendra memintaku untuk memeluknya. Hatiku yang awalnya retak karena Farhan meninggalkanku gara-gara aku membohonginya, kemudian hancur berkeping-keping karena permintaan terakhir Lendra yang menyedihkan. Hatiku hancur, dan Farhan nggak ada di sana untuk memperbaikinya.

"Farhan, sekarang aku nggak tahu lagi apa yang aku rasain ke kamu," kataku, akhirnya buka suara. Antara mencintainya, juga merasa bersalah terhadap Lendra karena aku mencintainya.

"Setiap bersamaku, kamu selalu merasa bersalah terhadap Lendra, kan?" Farhan menatapku. Bagaimana dia bisa tahu? "Kamu cinta sama Lendra, kan? Kamu mencintai Lendra, dan aku tahu itu."

Aku nggak menggeleng. Tapi juga nggak mengangguk. Aku cuma menangis dan sama sekali nggak merespons ucapannya. Kenyataannya, aku memang mencintai Lendra. Aku mencintainya seperti aku mencintai Dea, seperti aku mencintai Bimo, seperti aku mencintai Farhan. Peran Lendra di hatiku jauh lebih besar daripada yang pernah kuperkirakan. Bahwa dia sudah kuanggap seperti adikku sendiri, sahabat terbaik yang selalu ingin kulindungi. Tapi di balik itu semua, aku mencintainya seperti aku mencintai Farhan—seperti aku mencintai seorang kekasih.

"Aku tahu ini semua berat untuk kamu, tapi ini juga nggak mudah buatku, Dino. Karena semakin hari, kamu makin mendorongku menjauh dari hidupmu hanya karena kamu selalu merasa bersalah tiap kali ada di sampingku."

Kenapa Farhan bisa tahu semuanya? Apakah dia bisa merasakannya? Apakah saking besar cintanya untukku sampai-sampai dia bisa merasakan apa yang berusaha aku sembunyikan dalam hati?

"Tapi aku nggak mau kehilangan kamu, Farhan."

"Kalau kamu memang benar-benar nggak mau kehilanganku, kenapa kamu malah menyingkirkanku dari hidupmu? Kenapa kamu malah mendorongku menjauh? Menolak pelukanku, menghindari sentuhanku, dan kamu bahkan nggak mau lagi merasakan cinta yang kuberikan untuk kamu," katanya. Tangisnya sudah berhenti, tapi matanya masih basah. "Dan aku yakin, itu semua karena kamu sayang dan cinta sama Lendra, tapi kamu terlalu bingung dan menolak menyadari perasaanmu sendiri."

Kamu & Aku #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang