Dua Puluh Tiga

453 36 1
                                    

"Ain't nobody make me feel the way you make me feel." — Ali Gatie, Moonlight


KOKOK ayam jantan membuatku terjaga dari lelap. Perlahan-lahan aku menggeliat dan membuka mata. Hal pertama yang kutangkap adalah wewangian dari taburan kelopak bunga mawar di kasur, dan samar-samar wangi aroma terapi dari sisa lilin semalam. Jadi paling nggak aku sadar bahwa apa yang terjadi semalam bukanlah mimpi. Itu kenyataan. Aku masih ada di sini. Di pulau romantis ini.

Kuraba bagian kasur sebelahku dan hanya mendapati seprai dingin. Farhan pasti sudah bangun. Ketika menajamkan penciuman, aku dapat menghidu aroma lezat bumbu, juga senandung pelan dari arah dapur. Itu pasti Farhan. Segera kupakai celana boxerku, dan dengan bertelanjang dada, aku ke dapur.

Farhan sedang memasak sesuatu. Dia memakai tanktop warna abu-abu dan celana boxer pendek sepaha. Dia lagi asik menggoreng sesuatu di atas wajan sambil bernyanyi kecil dan menggoyangkan pantatnya yang seksi dan kencang itu. Posisinya menghadap ke jendela yang memperlihatkan pantai pasir putih yang bersih sempurna. Farhan pasti nggak tahu aku ada di belakangnya, jadi dengan mengendap-endap, aku langsung memeluknya dari belakang.

"Kamu udah bangun," katanya, agak sedikit kaget.

"Ya. Lagi goreng apa?" Aku melihat ke wajan. Ternyata dia goreng cumi tepung.

"Cumi. Kamu nggak alergi makanan laut, kan?"

"Nggak, kok," jawabku, menciumi lehernya. "Harusnya aku yang masakin kamu. Kamu kan Seme, nggak cocok kalau kamu yang masak. Harusnya kamu bangunin aku."

Farhan menggeleng. "Aku tahu kamu pasti capek, jadi aku sengaja nggak bangunin kamu dan punya inisiatif sendiri buatin sarapan untuk kamu. Dan aku nggak peduli dengan role kita. Mau aku Seme kek, Uke kek, aku nggak peduli. Kita ini sama-sama laki, jadi untuk urusan kayak gini (dan cuma khusus untuk urusan kayak gini), siapa yang Seme dan siapa yang Uke nggak usah terlalu dijadiin masalah—kecuali kalau di kasur, udah pasti aku Seme sejati. Hehe."

"Terserah deh," kucium pipinya sambil putar bola mata. "Masih lama, ya? Aku laper."

"Sebentar." Farhan melepaskan diri dari pelukan. Dia mengambil penyaringan dan menyaring cumi gorengnya dari atas wajan. Setelah mentiriskannya, dia meletakkan cumi itu di piring saji. "Nah, silakan dimakan."

Kuciduk nasi, dan mengambil tiga potong cumi goreng tepung buatan Farhan. Langsung kulahap makananku, mengunyah pelan-pelan cumi gorengnya untuk menikmati rasanya. Ternyata masakan Farhan benar-benar enak. Rasanya pas, daging cuminya juga lembut, dan ada kriuk-kriuk dari tepung goreng yang membungkus daging cuminya. Ketika kutelan makananku, rasa nikmat menjalar di sepanjang kerongkonganku, membuatku ingin mengunyah daging cumi itu lagi dan lagi.

"Enak?" tanya Farhan, duduk di kursi sebelahku.

Aku mengangguk. "Sumpah, enak banget. Kamu ada bakat jadi chef kayaknya."

Farhan tertawa. "Aku chef eksklusif khusus untuk kamu."

"Jadi hari ini kamu mau ngajak aku jalan-jalan ke mana? Snorkling?"

Farhan mengangkat bahu. "Entah. Aku nggak tahu kita mau ke mana. Snorkling nggak bisa di sini karena kalau mau snorkling, kita harus ke Pulau Pahawang. Dan sayangnya aku nggak tahu gimana cara kita bisa ke sana karena nggak ada satu pun kapal di pulau ini."

"Jadi maksudnya kita kejebak di pulau ini selama tiga hari?"

Farhan mengangguk. "Penjaga pulau yang kemarin juga kapalnya nggak bisa dipakai nganter ke mana-mana."

Aku mendesah. "Ya udah nggak apa-apa, kita masih bisa berenang."

Selesai makan, kami langsung berlari pantai. Pasir pantainya putih bersih. Air lautnya biru kehijauan dan lagi pasang-naik sehingga menenggelamkan dermaga kayu kecil tempat kami turun dari kapal tadi malam. Ketika sudah berada di dekat garis air, Farhan menggendongku lagi seperti gendongan pengantin tadi malam. Bersama-sama, dengan aku yang berada di gendongannya, kami nyebur ke air. Kami tertawa dan kucipratkan air ke mukanya. Farhan membalas cipratanku.

Kamu & Aku #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang