Dua Puluh Satu

458 35 2
                                    

"And what about the feelings that we had? Throw them all away to the trash." — Keshi, Just Friends


LENDRA sakit dan Riko masih belum ada kabar.

Tadi malam Bimo memberi kabar buruk bahwa Lendra jatuh sakit dan sekarang diopname. Aku nggak tahu apa penyakit yang dideritanya karena Bimo juga masih belum tahu detail keadaannya. Dengan mengetahui bahwa Lendra sakit saja sudah membuatku berpikir yang macam-macam.

Apakah ini salahku yang menolak dan menyingkirkannya sehingga membuatnya kacau sampai jatuh sakit seperti itu? Oh, Lendra, maafkan aku, aku nggak pernah bermaksud membuatmu sakit hati.

Bimo mengajakku jenguk Lendra hari ini bareng Egy dan Ellen sekitar jam empat sore nanti. Aku menyetujui ajakannya.

Sekarang aku lagi tiduran di kasur sambil memandangi langit-langit kamar yang tinggi. Hari ini aku akan bertemu Lendra. Setelah sebulan lebih nggak bertemu dengannya, kira-kira apa yang nanti akan terjadi? Apakah dia masih marah padaku? Atau malah membenciku? Atau jangan-jangan dia sudah nggak mau bicara denganku lagi? Ah, aku takut sekali dengan apa yang akan terjadi. Sebenarnya yang paling membuatku khawatir adalah Lendra yang diopname. Selama mengenalnya aku hanya pernah melihatnya sekali diopname, yaitu saat dia mengalami vertigo parah sampai nyaris nggak sadarkan diri. Kalau sekarang dia dirawat di rumah sakit lagi, itu berarti sakitnya sudah lumayan parah, kan?

Tok, tok, tok. Tiga kali ketukan pintu dan seseorang membukanya. Dea. "Ada Kak Farhan di bawah," katanya.

Biasanya aku selalu gugup, senang, dan suka degg-deggan tiap kali akan bertemu Farhan. Tapi kali ini rasanya beda. Aku merasa biasa-biasa saja, dan sebenarnya berat untuk bertemu dengannya. Karena kalau ada Farhan, rasa bersalahku terhadap Lendra jadi tambah besar lagi. Oh Tuhan, tapi aku juga nggak bisa menolak bertemu Farhan karena jauh di dalam lubuk hatiku aku kangen banget sama dia.

"Suruh langsung naik ke atas," kataku, tenang.

Dea mengangguk dan kemudian pergi. Bahkan akhir-akhir ini pun aku jarang ngobrol sama Dea lagi. Entahlah, semenjak bersama Farhan aku nyaris melupakan mereka yang ada di sekelilingku.

Setelah kenalan dan sarapan bersama keluargaku beberapa hari lalu, sekarang Farhan sudah nggak takut lagi masuk ke rumah. Biasanya dia selalu nolak kalau kuajak masuk, karena dia takut dengan orangtuaku. Tapi setelah dia membuktikan sendiri bahwa orangtuaku nggak segalak yang dia pikirkan, akhirnya dia berani main ke rumah tanpa harus khawatir bakal dimarahi Papa.

Nggak lama setelah Dea pergi, Farhan masuk ke kamar. Dia menutup pintu kamar rapat-rapat, menguncinya, kemudian naik ke kasur. Dia merentangkan kedua tangannya untuk memelukku. Aku langsung memasukkan diri ke dalam pelukannya. Hangat, wangi, dan menenangkan. Kulingkarkan lenganku di pinggangnya, menempelkan hidungku di bahunya. Kuhirup aroma parfumnya yang menyenangkan. Pelukan ini yang selalu membuatku lupa akan segalanya.

"Kamu ngapain sih pagi-pagi begini ke rumah?" tanyaku langsung.

"Karena nggak ada kerjaan di rumah, jadi aku main aja ke sini. Sekalian mau ketemu pacarku yang ganteng ini," dia mengeratkan pelukannya. Dia juga mencium rambutku.

"Iya, libur sekolah ngebosenin. Aku juga nggak ada kerjaan di rumah selain makan-tidur makan-tidur," kataku, membuang napas. Sekolahku terpaksa diliburkan selama seminggu karena ada suatu masalah yang nggak bisa kuceritakan di sini.

"Gimana kalau hari ini kita nonton?" Dia menawarkan.

Aku mau banget! Sudah lama juga nggak nonton berdua Farhan. Sebenarnya, sudah lama banget kami nggak jalan berdua. Tapi kemudian aku ingat mau jenguk Lendra nanti sore. "Nggak bisa, aku mau jenguk Lendra."

Kamu & Aku #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang