Dua Puluh Tujuh

351 27 2
                                    

"I'm not your problem anymore, so who am I offending now?" — Taylor Swift, Exile


BIMO masih membenciku.

Dia nggak perlu repot-repot mengatakannya. Tingkah lakunya saja sudah cukup membuatku yakin bahwa dia nggak akan mau berteman denganku lagi. Aku mendesah berat sambil memandangi kursi sebelahku yang kosong. Biasanya Bimo duduk di kursi ini, di sampingku, bersamaku sampai bel pulang sekolah berbunyi. Tapi sejak tiga hari lalu dia tahu aku gay, dia memindahkan duduknya ke kursi depan dan meninggalkanku sendirian di belakang.

Lendra masih sakit, kalau kalian mau tahu, dan aku sekarang jadi pengecut yang benar-benar nggak tahu adab, karena sejak Egy dan Bimo membenciku, aku malah nggak berani jenguk Lendra sendirian. Aku bisa sih ngajak Dea atau temanku yang lain untuk menjenguk Lendra, tapi entahlah, aku cuma nggak berani kalau harus menghadapinya seorang diri. Terakhir kali aku bertemu Lendra, dia malah menangis kacau dan menyuruhku untuk pergi. Dia memang mencariku, tapi bukan berarti dia nggak membenciku, kan? Sekarang aku nggak tahu apakah dia membenciku atau malah masih mengharapkanku? Entahlah.

Bel tanda jam istirahat berbunyi, dan aku buru-buru keluar kelas. Farhan sudah menungguku di kantin. Sejak Egy dan Bimo nggak mau lagi bicara denganku, aku lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah bersama Farhan. Sekarang pacarku itu lagi duduk di salah satu kursi di warung favoritku.

"Bimo masih marah?" Ini yang pertama kali ditanyakan Farhan ketika aku duduk di hadapannya.

"Ya. Dia bakalan marah terus sama aku. Dia benci sama aku. Dia juga jijik sama aku. Dia bahkan nggak mau duduk di sebelahku lagi. Uuuh, aku bener-bener kesel, tapi juga nggak bisa dendam sama dia. Aku benci dia yang nggak mau dengerin penjelasanku."

"Dia nggak jijik sama kamu. Dia cuma butuh waktu buat mikirin semuanya."

"Yah, aku harap kamu bener. Mudah-mudahan dia mau maafin aku. Aku nggak betah dieman sama dia." Aku nggak peduli kalau Egy membenciku, itu bukan masalah yang terlalu besar buatku karena dia memang homophobia. Tapi aku benar-benar peduli kalau Bimo yang melakukannya. Karena kami sudah bersahabat sejak lama—sejak kelas satu SMP, malah—dan sangat nggak adil rasanya kalau persahabatan kami berakhir hanya karena aku gay.

"Kamu harus makan." Farhan menyodorkan daftar menu. "Biarin Bimo dan Egy mikirin semua perbuatan mereka. Aku yakin, cepat atau lambat mereka pasti bakalan sadar."

Aku mengangguk dan memesan makan.

"Apa kabar Lendra?"

Kuangkat bahu. "Nggak tahu. Dan aku nggak bisa nanya kabarnya ke Bimo."

"Kamu nggak jenguk dia?"

Aku menggeleng. "Aku takut. Malu. Lendra juga membenciku. Walaupun dia nyariin aku, tapi aku tahu dia benci sama aku."

"Mau aku temenin jenguk?" tanyanya lagi.

Aku menggeleng. "Farhan, pleaseee, terakhir kali aku bawa kamu ke sana, keadaan Lendra malah makin kacau."

Aku sudah menceritakan semuanya ke Farhan. Tentang bagaimana Lendra sakit dan cemburu terhadapnya. Aku juga menceritakan semua yang kubicarakan dengan Lendra di rumah sakit waktu terakhir kali aku menjenguknya. Farhan bisa mengerti itu. Mulai sekarang aku nggak akan merahasiakan apa pun lagi tentang Lendra darinya.

"Oke," ucapnya, bibirnya merengut. "Semoga Lendra bisa cepat sembuh."

Aku menanggapi kata-katanya dengan anggukan.

"Nanti siang aku ada latihan futsal. Kamu mau nemenin aku atau langsung pulang?" tanyanya begitu pesanan kami datang.

"Langsung pulang deh kayaknya. Mau tidur. Nggak apa-apa, kan?"

Kamu & Aku #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang