Dua Puluh Dua

501 41 2
                                    

"I'm wanting all your love ... your love, your love." — Jakob Ogawa, All Your Love


SETELAH pulang dari rumah sakit tiga hari lalu, aku menyuruh Farhan untuk langsung pulang dan mengatakan aku butuh waktu untuk sendirian. Farhan mengangguk mengerti. Jadi, selama tiga hari ini aku nggak ketemu dia. Kangen sih, tapi rasa kangen itu tertutup oleh perasaan-perasaan lain yang berkecamuk dalam hatiku.

Setiap hari Farhan selalu ngirim pesan WhatsApp ke aku, mengingatkanku untuk makan, mandi, dan mengatakan kapan pun aku siap untuk menceritakan segalanya, dia akan mendengarkan. Entahlah, kurasa bertemu Farhan hanya akan mengganggu kesedihanku terhadap Lendra. Aku ingin berduka untuk Lendra, ingin menangisinya, ingin menyesali perbuatanku sendiri ... tapi aku nggak bisa melakukannya karena ada Farhan.

Tiga hari ini nggak sekalipun kurespons WhatsApp dan telepon darinya. Dan sikapku yang menjauhinya ini seolah-olah aku menyalahkannya atas apa yang terjadi pada Lendra. Padahal sesungguhnya yang terjadi pada Lendra bukanlah kesalahan Farhan. Itu kesalahanku. Kesalahanku yang menolak dan membohongi Lendra demi Farhan hingga membuatnya jadi kacau dan sakit seperti itu. Kesalahanku yang bersikap egois dan mementingkan perasaanku sendiri hingga membuatku lupa bahwa di sana ada orang yang menyayangiku lebih dari segalanya.

Aku ingin menjerit. Kenapa ini terjadi padaku? Kenapa aku nggak bisa sekali saja menikmati masa hidup tenang bersama Farhan?

Kutekan call di kontak nomor Farhan. Aku nggak boleh terus-terusan ngediemin dia. Biar bagaimana pun, dia itu pacarku. Pacar kesayanganku. Dan lagi pula, sudah sepantasnya aku membutuhkan kehadirannya di saat-saat lagi banyak pikiran seperti sekarang ini.

"Halo? Dino?" sapa Farhan setelah dia menjawab panggilanku. Oh, bahkan hanya mendengar suaranya pun masih bisa membuat jantungku berdebar kuat.

"Hai ..."

"Kamu baik-baik aja?" Suaranya terdengar sangat khawatir.

"Ya. Kamu di mana? Bisa ke rumah sekarang?"

"Bisa," jawabnya—seperti tanpa pikir panjang lagi. "Aku siap-siap dulu."

"Oke, aku tunggu."

"Love you, Din," ucapnya sebelum menutup telepon.

Aku harus mengambil napas panjang sebelum membalas, "Love you too ..." Bahkan sekarang rasanya berat untuk mengucapkan ini. Setiap satu kata Love you too yang kuucapkan ke Farhan, berarti sejuta rasa sakit yang kukirimkan untuk Lendra. Ya, begitulah. Semakin besar aku mencintai Farhan, maka semakin besar aku menyakiti Lendra. Dan semakin besar aku menyakiti Lendra, semakin besar juga rasa bersalah membebani hatiku ini.

Jadi, apa yang harus kulakukan? Di lain sisi, aku nggak mau selalu merasa bersalah terhadap Lendra. Tapi di sisi lain, aku benar-benar mencintai Farhan dan nggak mau siapa pun menghalangi cinta kami—bahkan Lendra sekalipun. Tapi sekarang tetap saja ada Lendra, kan? Selalu ada Lendra. Akan terus ada Lendra. Selamanya hubungan kami akan selalu dihantui Lendra.

Aaaaaargh. Apakah semua hubungan gay selalu seperti ini? Dihantui bayang-bayang ketakutan akan ketidakpastian yang menyesakkan dada? Entahlah. Belum lagi selesai memikirkan masa depan hubungan kami yang harus dipisahkan demi keluarga kami, sekarang aku harus memikirkan hubungan kami yang akan selalu berakibat buruk terhadap Lendra. Aku pusing. Aku galau. Aku nggak tahu apa yang harus kulakukan.

Dua puluh lima menit kemudian, Farhan datang. Dia menerobos masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu lebih dulu. Begitu melihatku, dia langsung menyambar dan memelukku erat-erat. Aku balas memeluknya. Hangat, wangi dan menenangkan. Pikiranku tiba-tiba rileks. Semua ketakutanku memudar dan yang ada sekarang adalah cinta yang semakin besar kepadanya.

Kamu & Aku #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang