vi. Lami Ariella

13 4 1
                                    































































Sampai sekarang pun aku sering mengenang pertemuanku dengan Karina Cathabell.




Aku tidak pernah bisa menikmati kehidupan sekolah ku. Hanya saja aku semakin lihai berpura-pura bahwa aku terbiasa dengan sekolah. Karena itu, aku sering ke rooftop yang ada di atap lantai tiga dan memandang lingkungan melalui pagar setiap jam istirahat.

Biasanya, di sini tidak ada orang dan selalu tenang. Dulu kabarnya tempat ini selalu ramai. Tapi sejak ruangan kaca di bangunan utama berdiri, murid-murid mulai berkumpul di sana. Tidak heran kalau ruangan itu menjadi terkenal karena siswi-siswi itu tidak perlu khawatir akan cuaca, juga tidak perlu khawatir terbakar sinar matahari karena kata-kata itu dilapisi oleh bahan untuk memantulkan sinar ultraviolet pada.

Yang sering aku pandangi adalah danau yang terletak di sudut taman sekolah. Entah kenapa setiap hari pergi ke danau itu hatiku terasa senang.

Sekolah Putri ini menyediakan pendidikan dari SD sampai universitas. Meskipun sudah dimakan usia, lingkungan sekolah yang ada di dalamnya dan, dibangun dengan sangat cantik, salah bukan berada di Indonesia.

Aku duduk langsung di lantai. Kadang-kadang sambil membaca puisi Ezra pound, aku memandangi danau. Itulah cara kesukaanku untuk menghabiskan jam istirahat.



"Kau selalu ada di sini, ya?"




Tiba-tiba ada yang menyapaku. Saat aku menaikkan wajahku, Karina Cathabell sudah melongokkan wajahnya.



"Kau suka buku? Kau sering membacanya, kan?"





"Eh... yah..."


Aku tidak menyangka akan disapa oleh Karina Cathabell!

Aku sudah tahu tentang gadis ini bahkan di hari-hari pertama aku masuk sekolah. Sekolah ini adalah sekolah Putri dengan tiga kelas di setiap tingkatnya dan jumlah murid yang sedikit di setiap kelas, selain itu, sebagai ciri khas sekolah Putri, senior yang cantik dan elegan akan menjadi sosok idola bagi junior. Apalagi, gadis ini adalah anak pengelola sekolah. Kekayaannya sangat menonjol di antara gadis-gadis kaya. Ayahnya adalah pencetus dan pendiri beasiswaku, berkat ayahnya la aku bisa bersekolah disini.

Tapi, tidak ada hubungannya dengan aku anak penerima maupun bukan. Tidak ada orang yang bersekolah di sini yang tidak tahu siapa Karina Cathabell. Semua murid, mulai dari SD, SMP, sampai SMA, di sekolah ini mengagumi kecantikannya yang tidak umum. Dia bisa menarik perhatian orang-orang dan orang-orang tersebut menjadikannya panutan untuk melangsungkan keseharian mereka di sekolah.

Aku memandang takjub karena saat pertama kali melihatnya. Karina melanjutkan.

"Aku memimpin klub sastra di SMA kalau kau bersedia, maukah kau bergabung?"

Tentu saja aku juga tahu tentang klub sastra. Siapa pun ingin menjadi anggotanya. Ruang khususnya didirikan di tempat terpisah dari bangunan sekolah. Semakin aku mendengar gosipnya, semakin aku yakin disana ada barang-barang yang menjadi impian para gadis. Satu kali pun tidak apa-apa, setiap gadis di sekolah ini memimpikan untuk meminum teh di sana.

Walaupun namanya klub sastra, tidak semua orang yang yang suka sastra bisa masuk ke club tersebut. Kalau tidak menerima undangan dari Karina Cathabell, tidak akan ada yang bisa bergabung. Dengan kata lain, meskipun tidak tertarik dengan sastra, tidak bisa menulis novel, tidak bisa memberikan kritik, dan tidak suka membaca novel pun kalau sudah disukai oleh Karina Cathabell pun bisa ikut bergabung. Karena itu, lima orang anggota yang sekarang ada adalah orang-orang spesial yang dipilih oleh Karina Cathabell. Kelimanya adalah sosok yang diidolakan: artinya, klub ini seperti sebuah klub sosial. Siapa pun yang bisa memasuki statusnya akan terangkat.

"Bolehkah orang seperti saya mengganggu?" Aku bertanya dengan takut-takut.


"Tentu saja! Kenapa?"

"Karena..." aku berhenti sesaat. "Aku pernah mendengar hanya orang terpilih saja yang bisa masuk ke sana. "

Karina tertawa dengan lebar. Dia sangat terbuka dan bersahabat. Sungguh berbeda dengan citra dirinya, dalam arti yang baik.

"Wah, siapapun bisa bergabung kok. Gosip saja yang berkeliaran sampai tidak ada yang berani mengetuk pintu. Ayo kita kesana."


"Ah, tidak. Saya..."

"Jangan sungkan-sungkan. Kau, Lami Ariella, kan?"



Aku terkejut dan memandang wajah Karina. Meskipun aku tahu dia siapa, aku tidak pernah berpikir dia akan tahu tentang diriku yang adalah juniornya. Apalagi aku ini biasa dan tidak menonjol. Karina tertawa lagi saat melihat keterkejutan ku.

"Kau penerima beasiswa tahun ini, kan? Kau itu sasaran perhatian orang."


Begitu, ya.

Rasanya seperti ada orang yang mengorek keadaan keluargaku kalau ada yang tahu bahwa aku anak penerima beasiswa. Membuatku menjadi malu. Aku sendiri tidak pernah memberitahukannya pada siapapun. Aku juga tidak pernah mendengar ada guru yang mengatakannya pada  murid yang lain. Tapi, kelihatannya gosip seperti itu mudah tersebar di sekolah putri yang kecil ini. Seketika aku merasa malu dengan diriku yang mencoba merenggangkan tubuh untuk berdiri sejajar dengan murid yang lain.


"Eh, datanglah ke ruangan klub sastra. Masalah bergabung atau tidaknya bisa dipikirkan nanti. Ada koleksi buku-buku yang kami banggakan loh."

"Apa saja yang ada di sana?"Perhatianku mulai tersedot.


"Hmmm... Kalau sesuatu yang mungkin kau suka... Ada Thomas Steams Elliot dan juga Yeats. Tentu saja Ezra Pounds juga ada."


Aku ingin membacanya. Semua buku-buku tadi hard covernya berharga mahal, tidak mungkin aku bisa membelinya.

Begitulah akhirnya, aku mengikuti undangan tersebut dan mengunjungi ruangan klub sastra.













______________



hai haiii selamat malam~

gimana chapter kali ini? maaf banget udah lama ga update. mungkin ga ada yang nungguin sih tapi gapapa.

Semoga hari kalian menyenangkan! Terimakasih sudah membaca cerita ini, buat yang vote dan comment juga terimakasih!

The Main CharacterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang