Aku langsung mengingat dapur dan gosipnya. Aku ingin melihatnya, tapi bagaimana pun juga aku tidak tertarik untuk berbincang dengan Karina.
"Tidak. Aku tidak mau."
"Tidak apa-apa, kan? Datanglah. Pasti kuenya baru saja matang."
"Kau juga membuat kudapan?"
Rasa tersaingi sedikit muncul di dalam hatiku. Aku jadi ingin menunjukkan keahlianku memanggang kue.
"Iya. Pertemuan membaca tidak bisa dipisahkan dari makanan manis, kan? Selain itu, kalau ada acara, kami harus membuat banyak dan menjualnya untuk dijadikan biaya klub."
Dapur. Dapur yang membuat kue yang banyak.
"Anu... pakai gas? Listrik?"
"Apanya?"
"Oven."
Sekilas Karina melongo dan kemudian ia tertawa lebar.
"Gas. Kau ini aneh, ya. Baru kali ini ada yang bertanya seperti itu."
Kemudian aku mengikuti undangannya untuk pergi ke ruang sastra.
Yang ada di sana adalah dapur idaman. Luas dan bersih, konternya berbentuk L dan ada meja besar lagi di tengahnya. Tempat cuci piringnya ada tiga dengan keran shower. Kulkasnya seperti untuk restoran, besar dan berwarna perak. Mixer. Alat fermentasi untuk membuat roti. Mesin es krim....
"Indahnya...."
Aku menahan napas dan mengelus meja konternya yang dilap sampai mengilap. Marmer yang dingin. Kalau dengan ini, kulit pie pun bisa dengan mudah dibuat. Mencampur cokelat pun tidak akan susah. Mewahnya…
"Ini ovennya. Sesuai dengan harapanmu tidak, ya?"
Di ujung jari Karina berjajar tiga buah oven gas. Dengan salah satu oven saja aku pasti bisa membakar spiku bulat berukuran 21 cm, untuk dua atau tiga buah.
"Hebat."
Saat pintu di sebelah oven dibuka, aku bisa melihat adanya walk-in pantry. Tepung terigu, maizena, gula bubuk, argent, berbagai jenis kacang-kacangan, stik vanila, tepung kakao, manisan buah-buahan, selai, madu, rempah-rempah yang berwarna-warni... dengan ini berapa ya kira-kira makanan penutup yang bisa dibuat? Banyak bahan-bahan impor. Melihat bungkusnya yang cantik saja aku tidak bisa bosan.
Aku bahkan ingin duduk di sini dan memandang semuanya seharian penuh. Mangkuk dan sendok, sikat dan berbagai perlengkapan dapur juga berjajar dengan rapi.
Semuanya barang-barang kelas satu. Aku tahu karena aku juga sudah banyak melihat-lihat untuk restoran yang baru.
"Hebatnya. Lebih inovatif daripada restoran saya."
"Restoranmu? Ah... restoran keluargamu, ya?"
"Bukan. Saya berencana membuka restoran ala barat."
"Kau? Wah, hebatnya."
"Saya ingin membuat banyak makanan penutup untuk dijual. Dapur ini sempurna sekali. Izinkan saya menirunya."
Kemudian sambil menikmati kue yang dibuat Karina, kami berbicara tentang Tere Liye.
Kue yang dibuat Karina tidak terlalu buruk. Kalau boleh bilang, dengan dapur seperti ini, dengan bahan-bahan ini, dengan perlengkapan ini, siapa pun pasti akan bisa membuat kue yang enak.
Entah kenapa aku jadi gembira dan perbincangan kami jadi panjang.
"Waduh, sudah jam segini!" Karina terkejut saat melihat jam. Entah sejak kapan, jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih.
"Maaf sudah menahanmu sampai larut begini. Akan aku antarkan dengan mobil."
"Tidak usah. Saya bisa pulang dengan bus."
"Jangan. Sudah gelap. Lagi pula aku sudah tahu di mana kediaman Nakamura."
Kemudian aku pulang diantar oleh Karina menggunakan mobilnya. Sepanjang kami berada di dalam mobil pun, kami banyak berbincang. Saat itu, keteganganku sudah meleleh, dan aku sudah bisa berbicara dengan Karina yang mulanya aku benci itu. Karina sangat ceria dan jujur, pantas saja dia jadi terkenal.
Mobil itu melewati tempat ramai dan saat aku kira aku sudah bisa melihat restoran.....
Di depan, warna merah terlihat melambai-lambai di tengah langit malam. Ada sensasi aneh di punggungku. Terdengar sirene pemadam kebakaran. Penonton semakin berkumpul. Polisi memutar mobil.
"Ada apa ya?" sang sopir, membuka jendela dan bertanya pada polisi yang sedang mengatur jalan.
"Sebuah restoran sedang terbakar di depan sana...."
Sesaat setelah mendengarnya, aku melompat keluar dari mobil. Aku menerobos melalui orang-orang yang berkerumun dan akhirnya saat aku tiba...
Nakamura sudah diselimuti api besar.
Milik Ayah. Seluruh kehidupan Ayah terbakar tepat di depan mataku. Saat aku memandang berkeliling, aku mendapati Ayah dan Ibu yang hanya bisa termangu menatap api yang berkobar. Sosok Kakak juga ada. Di tengah warna merahnya bara api, kerut dan lipatan wajah Ayah terlihat jelas. Kantung matanya menghitam. Sosok Ayah tampak lemah menghadapi kobaran api yang melahap restoran itu bulat-bulat. Aku tidak bisa menyapanya. Aku hanya bisa berbaur dengan penonton dan memandangnya
dari jauh.Kobaran api terus berkobar beberapa jam kemudian, membakar habis semua milik Ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Main Character
Misterio / SuspensoGadis itu mati. Ketua Klub Sastra, Karina Cathabell, mati. Di tangannya ada setangkai bunga hortensia. Pembunuhan? Bunuh diri? Tidak ada yang tahu. Satu dari ke-lima gadis anggota Klub Sastra digosipkan sebagai pembunuh gadis cantik berkarisma itu. ...