Di hari terakhir, sebenarnya kami akan mengantar mereka ke museum kesenian. Tapi karena acara sekolah kami bergeser, saya dan Hera tidak bisa mengantar mereka.
“Jangan dipikirkan. Akan aku coba pergi berdua dengan Ningning,” kata Karina. Tapi dalam hati saya berteriak: Jangan!
Di depan saya dan Hera saja dia sudah bertindak kejam, apalagi kalau tidak ada orang yang mengawasi, pasti dia bertindak lebih kejam. Saya meminta Pak Dante untuk membatalkan forum dan mengantar mereka berdua.
Di hari itu, setelah acara sekolah selesai, saya dan Hera buru-buru pulang ke rumah. Setelah mendapati Karina pulang dengan selamat, barulah kami merasa lega.
“Bagaimana museum keseniannya? Bisa sampai di sana dengan selamat? Kau senang di sana? Ningning tidak berbuat sesuatu, kan?”
Karina tertawa saat aku bertanya bertubi-tubi saat dia baru masuk dari pintu depan.
“Wah, jangan bertanya sekaligus seperti itu dong. Emm… aku jawab satu per satu, ya. Pertama, kami berhasil sampai di museum kesenian. Ini karena kau menyampaikan rute bus pada Pak Dante dengan detail. Kemudian, museum kesenian sangat menyenangkan. Terus, Ningning tidak berbuat apa-apa kok. Lagian, dia tidak ikut.”
“Tidak ikut?”
“Iya. Katanya dia sedang tidak enak badan.”
“Begitu. Syukurlah.”
“Eh?”
“Tidak. Tidak apa-apa. Yang penting Karina tidak mengalami sesuatu yang buruk. Itu sudah cukup.”
Ningning tidak ikut. Dengan itu saja, hati saya sudah lebih ringan. Tidak enak badan di hari terakhir… pasti dia mendapat karmanya.
Malam itu, sama seperti tahun lalu, kami mengadakan pesta perpisahan di rumah kami. Karina mengenakan kebayanya lagi dan memberikan pemandangan indah bagi kami orang-orang Bulgaria. Ningning yang kondisinya tidak baik, tentu saja tidak datang.
Di tengah-tengah pesta, saya jadi sedih. Meskipun dia bilang bahwa dia akan datang lagi sebelum ujian masuk universitas, tetap saja kami tidak bisa bertemu lagi selama setahun. Saya mencoba untuk tersenyum agar Karina tidak khawatir, tapi saya tidak sanggup menahannya. Jadi air mata mengalir.
“Herin, jangan menangis. Aku punya hadiah untukmu.”
Karina mendudukkan saya di sofa. Kapan pun, dia selalu menjaga agar kaki saya tidak terbebani.
“Ini. Semoga kau suka.”
Sebuah kotak dibungkus dengan kertas berwarna biru. Setelah saya coba buka, sesosok boneka yang imut tersimpan di dalamnya dengan rapi.
“Wah!”
“Aku menemukannya di pasar hari ini. Tidakkah kau pikir dia mirip denganku?”
“Mirip! Sangat mirip!”
“Iya kan? Aku juga terkejut tadi.”
“Senangnya. Akan aku jaga baik-baik. Terima kasih.”
Saya mengeluarkan boneka itu dari kotak dan memeluknya erat-erat. Tingginya sekitar 30 senti. Mungkin terbuat dari plastik. Dia mengenakan gaun berwarna biru lembut yang anggun. Rambutnya cokelat gelap dan iris matanya yang terbuat dari kaca hitam legam.
Bibirnya sedikit berwarna merah muda, menyunggingkan senyum seperti sedang memikirkan sesuatu. Semakin saya lihat, semakin mirip dengan Karina. Saya memutuskan untuk menamai boneka ini ‘Karina’.
Mungkin karena boneka itu, perpisahan di hari berikutnya di bandara tidak terlalu menyedihkan.
“Hera, Herin, terima kasih atas segalanya,” ujar Pak Dante. Sedangkan Ningning, sama seperti saat ia datang, hanya mengatakan “Trims,” dan masuk ke gerbang sendirian dengan cepat.
“Tahun depan kita bisa bertemu lagi, kan?”
“Iya, Herin.”
“Suatu saat kami ingin berkunjung ke Indonesia,” ujar Hera.
“Benar! Aku ingin kalian ke Indonesia,” timpal Karina sambil tersenyum.
Setelah selesai mengantar mereka, saya langsung masuk ke kamar. Di atas kasur, Karina sang boneka sudah menunggu.
“Aku pulang, Karina.”
Saya menggendong boneka itu mendekati wajah saya dan berbicara dengannnya.
…sudah pulang ya, Herin. Hari ini mohon bantuannya, ya.
Saya sempat mengira boneka itu berkata demikian. Saya jadi senang dan mulai mengelus wajah Karina. Dari saat itu sampai sekarang, saya menjaga boneka itu, tidak melepaskannya dari tangan saya. Karena umur saya, saya malu membawa boneka. Karena itu, saya membungkusnya dengan kain dan membawanya ke mana saja.
Boneka itu, saat saya sedih dia mendengarkan saya. Saat saya gembira, dia bergembira bersama dengan saya. Bahkan saya merasa kalau saya berada bersama dengannya, saya bisa menghadapi kesulitan apapun juga.
___________________________
Selamat membaca, semoga suka 💗
KAMU SEDANG MEMBACA
The Main Character
Mystery / ThrillerGadis itu mati. Ketua Klub Sastra, Karina Cathabell, mati. Di tangannya ada setangkai bunga hortensia. Pembunuhan? Bunuh diri? Tidak ada yang tahu. Satu dari ke-lima gadis anggota Klub Sastra digosipkan sebagai pembunuh gadis cantik berkarisma itu. ...