Rosa mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi menembus malam yang sedang hujan deras. Pikirannya saat ini kacau semua orang kini menyalahkannya atas kematian kakaknya sendiri.
"Sejak kapan kau tau Rosita memakai obat penenang?" Wanita itu menaruh cangkirnya dengan tatapan penuh selidik.
Ucapan ibu tirinya itu terus terngiang di telinganya, membuat ia berkali-kali memukul keras setir itu hingga tangannya memerah, dan mengingat semua kejadian tadi pagi.
Flashback On
"Kak Sita pernah menanyakannya padaku waktu itu," jawabnya singkat.
"Lalu kau jadikan itu alat sebagai membunuhnya!" suara wanita itu semakin tinggi.
"Kau anak tidak diuntung sejak awal aku tak pernah mempercayaimu, kau ingat kau bisa disini dengan fasilitas yang ada karena Rosita tapi kau—"
"Aku tidak pernah menginginkannya, apa pernah kalian menganggapku ada sebagai anggota keluarga, tidak 'kan?"
"Kau tak pantas menyalahkan aku atas kematian putri kesayanganmu itu, kaulah penyebabnya," suara Rosa tak kalah tinggi.
"Apa maksudmu? tidak mungkin." Suara wanita itu mulai bergetar.
"Kau yang menuntut dan obsesi menjadikan putrimu primadona disanjung banyak orang memaksanya segera menikah hingga ia hidup dengan tekanan yang kau buat dan berlari ke obat itu," jelasnya.
"Tidak mungkin! aku mengenal anakku, aku tak pernah memaksanya untuk melakukannya," katanya kini sudah menangis.
Rosa hanya tersenyum sinis mendengar ucapan ibu tirinya itu. "Baiklah mungkin kau benar, tapi kesalahanmu juga menghidupkan jiwa monster pada orang lain." Rosa pergi meninggalkan meja makan.
"Apa maksudmu?".
Flasback off
Rosa menghentikan mobilnya di sebuah basemant memejamkan mata dan meremas rambutnya kasar, otaknya saat ini terasa akan pecah.
"Aku harus cepat menyelesaikannya, orangtua gila, polisi gilia," umpatnya.
"Mengapa aku ceroboh sekali," katanya menarik ponsel dari saku celananya.
Ia mengamati benda pipih itu, satu nama orang lain yang terus ia hubungi sejak tadi pagi tak kunjung dijawab.
"Ada apa kali ini? Kenapa ia tak menjawab telponku sama sekali," ucapnya kesal.
Ia kembali memukul setir, lalu membenamkan wajahnya disana lalu tertidur.
Flashback On
"Profesi ini membuatku tertekan aku butuh penenang bagaimana menurutmu?" suara wanita yang paling ia benci terdengar memelas di seberang telpon.
"Aku tak mengerti jangan ganggu, aku sedang kuliah," jawabnya singkat.
"Ada apa kau ini, kau ingat kau bisa berkuliah disana karena aku hahahaha jangan lupakan itu," ucapnya.
Tentu saja ucapan itu membuatnya tersinggung. "Kau tau aku tak pernah menginginkannya."
"Baiklah-baiklah tapi aku yang menyelamatkan mu dari pergaualan tidak baik disini no clubing 'kan disana," katanya.
"Tidak,".
"Baiklah aku percaya, untuk itu bantulah aku," katanya.
Wanita itu mengeram kesal pada wanita di sebrang telpon, ia sudah merasa tenang hidup sendiri seperti ini bukan sebagai bayangannya.
Ia lelah hidup tak dianggap sebagai keluarga selalu dibandingkan dengannya semua kegiatan harus melibatkannya, ini kehidupannya sendiri tapi semua keputusan hidupnya ada pada wanita itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/264627634-288-k317823.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
XReporter (SUDAH TERBIT DI IANA PUBLISHER)
Acción"Aku akan tetap di sini untuk mencarinya hingga bertemu karena dengan cara itu aku bisa memaafkan diriku karena kesalahanku di masa lalu." -Naya "Sejak dulu hingga sekarang aku tidak suka pada jurnalis dengan caranya menggiring opini yang memperumit...