Bukan Lagi Ketenangan Biru

1.9K 149 23
                                    

Dihari ulang tahunnya yang ke-3 itu, justru menjadi hari ulang tahun yang membuatnya kehilangan seorang ayah dan ibu. Anak yang baru beberapa menit itu merasaka kehangatan keluarganya, justru kini kembali disergap sepi, disergap kehampaan udara yang begitu mencengangkan. Hingga sebuah teriakan dari seorang wanita yang lari tergopoh-gopoh mendekati mayat ayahnya, menyadarkannya sesuatu.

"Bram!! Bangun! Anakmu masih harus melihat ayahnya," katanya tersedu, bocah yang begitu lugu itu tidak paham. Apa yang dihadapkannya di depan matanya lagi kali ini.

"Suamiku..." gumaman wanita itu dengan murung.

Seketika bayangan akan kematian orang tuanya tidak lagi ada dalam benak sang bocah. Hanya ada dimana dia bawa oleh wanita yang mengakui ayahnya sebagai suaminya. Tapi apa peduli bocah berumur 3 tahun itu, daripada sebatang kara dalam gelap rumah sakit kala itu, dia pun pergi bersama sang wanita. Tak pernah bisa diingat masa itu oleh sang bocah, hingga tidak pernah dia terpikir bahwa kehidupan yang akan dia jalani kedepan justru akan semakin menariknya pada hampanya sebuah cerita dunia.

***

Ada alasan dari balik sikap acuh seseorang, pasti ada! Setidaknya begitulah yang dirasakan G. Gadis muda yang saat ini tengah memikirkan apa yang sebenarnya dia lakukan hingga setiap hari ibunya tidak pernah menyapanya meski sekadar menanyakan pertanyaan basa-basi untuk sang anak. Sudah 23 tahun lamanya, dia merasakan asing di dalam rumahnya sendiri. Untung saja, masih ada adiknya yang berumur 20 tahun itu. Adik kecil yang begitu menyayangi G dengan tulus.

Gavinda Setuharyana. Gadis yang akrab dipanggil G itu menghembuskan nafanya pelan sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Hari ini dia kembali harus dihadapakan dengan acara bisnis mamanya, meski dia memang tidak pernah suka dengan acara-acara seperti ini, selama itu perintah mamanya dia akan senang melakakukannya. Barangkali ketika dia kembali menuruti kemauan sang mama, Mamanya mau bertegur sapa dengannya.

"Kak G, gimana nih rambut J, pendek gini," sahut manusia lain di sampingnya.

"J, kamu tuh gak pernah berubah ya suka banget dari dulu motong pendek rambut gini. Gak usah dikucir gitu, mending kasih bando aja apa mahkota kecil tuh," ujar G pada sang adik.

"Tapi J harus tampil cantik hari ini kak,"

"Memangnya kenapa? Kamu kan udah cantik," J tersipu begitu saja.

"Kak, katanya nanti ada pementasan dari sekolahku kan?" kata J membelokan topik pembicaraan.

"Hem, katanya iya. Karena acara bisnis Mama kali ini ada hubungannya sama sekolah senimu," jawab G sambil menyanggul rambut panjangnya.

"Kenapa sih kakak cantik banget, jadi tambah yang sayang kan," kata J sambil mencubit pipi G.

Enggak pernah penting disayang banyak orang, kalau mama gak pernah anggap aku ada

G hanya tersenyum menanggapi, J. Nama lengkapnya Jashmita Setuharyana. Adiknya yang paling disayang. Termasuk oleh Mamanya.

**

(2 minggu sebelum Pementasaan dan Pertemuan Bisnis)

Pemuda yang baru saja turun dari bus itu menghirup udara terminal dengan panjang. Seakan-akan sedang menikmati wangi yang begitu dia rindui. Dengan langkah tegasnya, lelaki itu berjalan sambil membawa tas kecil di pundak kanan. Arah lelaki itu menuju keluar pintu terminal, hingga sebuah suara yang terdengar begitu jelas memanggilnya dan menghentikan langkah sang pemuda.

"Bang Ru!"

Pemuda yang disapa Ru itu menoleh dan mengangguk pelan, sampai kemudian beranjak menemui seseorang yang memanggilnya.

"Saya dari sekolah seni, saya diberi tugas untuk menjemput salah satu guru senior. Bang Ru kan?"

"Bagaimana bisa kamu mengerti bahwa saya orangnya?"

"Biru Pram Frasa, hanya dengan mendengar namamu saja aku sudah tahu bahwa manusia ini akan nampak berbeda. Sebanyak apapun manusia di terminal, tidak ada yang lebih pantas menyandang nama itu selain wajahmu,"

Biru tersenyum,

Lelaki itu mengangguk dan kemudian mereka menuju parkiran motor.

"Bang Bi.."

"Panggil saya Bang Ru saja, jangan panggil Biru," ujarnya memotong perkataan anak sekolah seni itu, yang baru saja dia ketahui namanya Kahi. Kahi pun mengangguk menandakan mengerti kemudian.

"Kahi, ada acara apa memang. Sampai saya dapat dilacak keberaadannya untuk menjumpai kalian?"

"Pementasan bang," sahutnya sambil mengeluarkan kunci motor dan menyerahkan helm pada Biru.

"Tapi bukankah kalian biasa mengadakan pementasan? Mengapa harus kalian undang saya? Bukankah kalian paham jika saya tidak ingin dikenal?"

"Bang, Kahi sebenarnya tidak tahu. Tapi pementasaan ini begitu penting karena dihadiri oleh para pembisnis besar, dan tentunya sebagai donator sekolah seni jalanan kami. Mana mungkin kami bisa tampil sempurna tanpa Bang Ru? Lagipula kami begitu penasaran dengan orang yang sering disebut-sebut sebagai sang penyair di sekolah."

"Pasti Mas Dewo yang menyarankan kan?" tanya Biru yang saat ini sudah membonceng, sebelum melaju Kahi masih menjawab.

"Siapa lagi yang tahu bahwa Bang Ru penyair luar biasa kecuali Mas Dewo?"

Ada, namanya Jana

Sahut hati pemuda itu. Tidak pernah terpikirkan bahwa kehilangan Jana bak kehilangan puisinya. Lelaki yang tidak pernah menunjukan kebolehannya dalam berpuisi itu nyatanya pernah mendeklarasikan diri sebagai penyair handal milik gadis berponi lucu.

Amega Anjana. Nama yang tidak pernah hilang sebagai udara dalam kehidupan Biru. Ketenangan Biru tidak lagi utuh, sudah separuh luruh sejak takdirnya menjauh. Takdir yang tidak mengizinkannya bersama Jana dalam nyata, maka di kota yang ia pijaki ini, dia berharapa dapat berpuisi kembali. Setidaknya, lewat tawa-tawa murid Sekolah Seni Jalanan yang lama dia tinggalkan, Biru dapat menghadirkan Jana sebagai udara dalam setiap pementasannya.

..

Halooo.... gimana nih kabar kalian? Uhuyy jangan lupa spam komen emot 💙 yaaa..
Selamat menikmati..

AMEGA ANJANA (Kota & Rindu yang Didoakan)-Book 2 BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang