Seorang Gadis yang Mengintip

1K 92 3
                                    

(8 Hari Menjelang Pementasan)

Pernah merasakan kehilangan yang begitu hebat, hingga manusia memilih jalan melupakan dengan melakukan berbagai macam kegiatan, untuk sekadar memberi ruang pada hatinya agar dapat melupakan kehilangan yang begitu menyesakkan itu. Namun bagi Biru, pementasan bukanlah sebuah pelarian dari rasa kehilangan, justru pemuda yang menyandang gelar sang penyair itu, tidak pernah berniat melupakan sebuah kehilangan yang pernah didapatkan. Kehilangan bagi Biru sama halnya dengan jatuh cinta, sama-sama menyenangkan dan memberi luka. Biru paham, begitu paham bila ketika dia menyodorkan tangannya untuk berkenalan hari itu, dia juga siap untuk melepaskan genggaman suatu saat nanti. Maka pementasan ini sekali lagi bukanlah bentuk pelarian, ini adalah paragraph baru bagi lelaki itu, baginya untuk mengingat kembali keeping-keping perasaanya pada Jana.

"Bang, jadi untuk scenario kelas pahat udah jadi?" Biru yang sedang membuat salah satu peraga dalam drama menatap seorang murid laki-laki yang kini berada di sebelah kanannya.

"Udah, tadi malem kelas menulis dan saya lembur sampai jam 3," jawab Biru yang membuat beberapa anak disana melebarkan matanya. Bagaimana tidak naskah untuk kelanjutan drama sudah selesai dalam waktu kurang dari 1 hari. Luar biasa!

"Kamu hubungi saja, kelas menulis, Bilang untuk disuruh meminta naskah oleh saya," lanjutnya tanpa memerhartikan ekspresi terkejut dari orang-orang sedari tadi.

"A-ah iya bang,"

Biru masih focus membuat peraga, lelaki yang hari itu menggunakan kaos hitam berlengan panjang terlihat lebih serius dengan alis tajam yang menukik.

"ISTIRAHAT DULU!" teriakan yang tiba-tiba menggemparkan aula membuat siswa-siswa langsung bersorak heboh dan mulai mendekati Mas Dewo dan petugas yang membawa makan siang.

"Ru, istirahat dulu lah, makan siang," ujar Mas Dewo mendekati Biru.

"Iya mas, aku minta air mineral aja. Aku mau pergi buat beli beberapa bahan nih," jawab Biru sambil berdiri.

"Loh? Gak mau makan siang dulu?"

"Nanti aja," Biru menerima uluran air mineral yang diberikan Mas Dewo lalu berjalan menuju pintu keluar. Saat lelaki itu keluar, justru dia menangkap seseorang yang berjalan mengendap menuju jendela aula. Gadis dengan rambut sebahu itu menarik netra Biru untuk memerhatikan apa yang sedang gadis itu lakukan dengan mengintip di jendela aula.

**

"J, kamu yakin gak mau ikut jadi 10 penari buat pementasan?" ujar Bela, yang merupakan teman sekolah J di kelas menari.

"Enggak Bel, aku gak pernah mau tampil di depan mama. Aku malu," tolak J dengan alasan yang sama.

"Oke, padahal ini kesempatan banget diajar sama guru senior sang penyair loh," jelas Bela membuat J agak mengernyit.

"Yang keluarganya pendiri sekolah seni ini?" tanya J memastikan.

"Iya, pemuda yang kemarin datang dan menghebohkan sekolah. Katanya umurnya baru 26 tahun loh J," kata Bela memulai gossip.

"Pantes kok, masih ganteng gitu," gumam gadis berambut sebahu itu tanpa sadar.

"lah? Kamu dah ketemu emang?"

J menoleh saat Bela menanyakan perjumpaanya dengan lelaki yang digelari sang penyair itu. Pikiran J menerawang beberapa hari yang lalu saat dia tak sengaja membuat marah Bunda Weri dan menabrak pemuda yang J pikir adalah sang penyair.

"Aku jadi penasaran, aku duluan Bela!" ujar J yang kemudia meninggalkan temannya di kantin sekolah siang itu.

Tujuan J adalah Aula utama tempat dimana anak-anak sedang berlatih pementasan. Gadis berambut pendek itu dengan perlahan melangkah mengendap-endap seakan-akan takut bila ketahuan bahwa J sedang mengintip aktivitas siswa di dalam aula. Matanya memandang ke dalam seakan mencari sosok yang memang membuatnya penasaran sejak dimana hari mereka bertemu. Gadis itu semakin memanjangkan lehernya dan memfokuskan matanya untuk menatap orang-orang di dalam aula.

Tetapi nihil!

Tidak ada sosok yang dia ingin lihat. Ketika J menggaruk tengkuknya dan bersiap berbalik, justru dia kembali terkejut saat sosok yang di acari berada di hadapannya. Menjulang tinggi dengan tangan kanan memegang air mineral. Mata hitam terang Biru, dan juga rambut panjangnya yang terkucir di belakang, membuat wajah dengan rahang tegas serta dagu belah itu nampak begitu jelas dalam pandangan J.

Sang Penyair memang begitu memikat!

J kembali terkejut ketika ada jentikan jari yang memecahkan lamunanya di hadapan Biru.

"Kau baik-baik saja? Siapa yang kau cari?" tanya Biru kemudia menegak air dalam botolnya. Semua gerakan sederhana itu justru begitu memikat dalam pandangan J. Setiap tegukan yang nampak dalam rahang Biru juga menjadi tegukan air ludah J sendiri.

Oh tidak! Pikiran kotor anak dewasa muda memang menggilakan!

"Halo, aku bertanya padamu!" Biru kembali bertanya. J berusaha menahan gugupnya sebab ketahuan mengintip. Apalagi langsung ketahuan oleh orang yang menjadi alasan J sebagai penguntit.

"S-saya, saya mencari teman saya," ujarnya gugup sambil mengulirkan bola matanya berusaha menjauhi tatapan Biru.

"Masuk saja jika ingin melihat, kau siswa sini kan?" tanya Biru yang agak heran terhadap sikap dari gadis pengintip itu.

"I-iya Kak,"

Biru terdiam sejenak sebelum menepuk pundak J dan mengatakan,

"Panggil saja saya Bang, kamu bisa masuk. Saya duluan," katanya sebelum beranjak pergi meninggalkan J yang sedang menahan diri dan meremas tangannya sendiri.

"Tunggu!" katakanlah bahwa J gila sebab telah menghentikan langkah sang penyair, merasa tidak ada orang selain dia di sekitarnya, Biru berbalik dan menatap J yang melangkah mendekati Biru.

"Ka-kau sang penyair?" tanya J agak ragu, sebenarnya pertanyaan yang begitu lucu jika ditanyakan oleh siswa sekolah seni. Mengingat bahwa semua orang pasti tahu jika Biru adalah orang yang menyandang gelar sang penyair di sana.

"Mungkin, kenapa?" jawab Biru dengan nada yang masih begitu tenang. Beda hal dengan J yang mulai kelabakan mencari kalimat lagi untuk menjawab pertanyaan Biru.

"A-ah, hari itu kita bertemu bukan? Maaf saya menabrakmu hari itu," katakanlah jika J beruntung sebab mengingat kejadian memalukan itu.

"Ya, saya ingat. Kau tidak perlu minta maaf,"

J mengangguk, bingung sebenarnya untuk merespon apa.

"Sudah? Saya akan pergi," lagi-lagi J hanya menjawab dengan anggukan. Biru tersenyum tipis lalu melanjutkan jalannya lagi, namun di langkah ke 5 dari posisi awalnya, Biru berhenti dan menengok ke belakang melihat J yang masih berada di tempat yang sama dengan menatapnya.

"Kau ada kelas jam-jam ini?"

"A-ah tidak" jawanya dengan gelengan yang begitu ketara kaku.

"Kalau kau mau, kau bisa ikut saya membeli perlengkapan," kata Biru sebelum kembali berjalan.

Sebelum J mengangguk, gadis itu membulatkan bola matanya dan kemudian melangkah dengan senyuman mengikuti Biru sambil menahan pekikan sebab rasa senang. Sedang sang penyair sedang mati-matian untuk tidak menatap rambut J yang begitu mengingatkannya dengan gadisnya di masa lampau, Jana.

______

Maaf banget baru bisa update

AMEGA ANJANA (Kota & Rindu yang Didoakan)-Book 2 BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang