Sang Penyair yang Kehilangan

1.1K 119 4
                                    

(9 Hari menjelang pementasan)

Sekolah Seni Jalanan Frasa selalu ramai, selalu memiliki kegiatan yang dilaksanakan di luar kelas, entah anak seni rupa yang akan memamerkan lukisan dan keterampilannya di halaman utama, anak teater yang berlatih vocal, atau anak dari kelas pahat yang sedang menjemur patung-patung hasil belajar nya. Cuaca yang begitu cerah memang nampaknya berhasil dimanfaatkan oleh siswa-siswa SSJF dengan baik. Tetapi hari itu ada yang berbeda, ketika langkah seorang pemuda yang baru saja memasuki gerbang menjadi sorotan siswa-siswa yang berada di tengah halaman utama, di koridor kelas, di depan ruang penjemuran patung, atau bahkan guru-guru yang masih berada di depan ruang guru. Baik siswa laki-laki maupun perempuan, dan juga guru-guru yang ada disana, mereka seperti terhipnotis oleh sosok Biru yang memang tidak pernah terlihat sebelum-sebelumnya. Hingga satu orang yang berani menyapa Biru dan membuat heboh siswa-siswa di sana.

"Bang Ru!" Kahi berteriak dan melambaikan tangannya dari sisi kelas pahat. Biru hanya mengangguk dan mengangkat tangannya sebentar, dan hal itu berhasil membuat orang-orang di sekelilingnya tahu, bahwa lelaki itu adalah Biru. Sang penyair yang sering dibicarakan Mas Dewo selaku pimpinan SSJF.

Biru melangkah melewati depan koridor kelas kembali, sesekali ada beberapa murid yang ikut tersenyum atau paling tidak ikut-ikut memanggil Bang Ru, dan hanya dijawab anggukan lagi. Sampai di ruang guru, Biru memasuki ruang tersebut yang tentu saja mendapat respon hening seketika.

"Selamat pagi, saya mengganggu teman-teman semua?"

Hanya gelengan saja dan juga riuh kata tidak yang terdengar.

"Terima kasih sebelumnya karena telah mau ikut berkontribusi di sekolah seni ini, perkenalkan saya Biru, saya adik sepupunya Mas Dewo yang kebetulan akan ikut belajar bersama kalian di sekolah ini. Saya harap saya tidak menjadi beban kalian,"

Semua orang yang berada di ruang guru tersebut terdiam, cukup terkejut bila Biru memperkenalkan dirinya sebagai adik Mas Dewo, bukan sebagai anak pemilik sekolah.

Setelah acara perkenalan dirinya di ruang guru selesai, Biru segera keluar dan menuju ke arah lapangan utama. Sampainya di depan anak-anak yang berada di sana Biru tersenyum dan menyapa dengan tenang,

"Hai, anak-anak yang akan ikut pementasan untuk 9 hari yang akan datang dimana ya?" tanyanya,

"Kami yang akan ikut Mas Biru, kami dari kelas teater."

"Ah oke, panggil saya Bang Ru saja ya," ujarnya sambil tersenyum. Biru memberi instruksi kepada 15 anak yang sudah ada disana untuk duduk melingkar. Ada 7 anak laki-laki dan 8 perempuan.

"Jadi pementasan dengan tema apa kali ini?" tanya Biru sambil membaca skrip naskah pementasan.

"Tentang Layla Majnun, tetapi kisah disini bukan Qais yang menjelma menjadi majnun tetapi Layla," ujar salah satu anak mewakili.

"Naskah karya siapa?"

"A. Jana, salah satu seornag penulis novel dan juga naskah drama bang," desiran itu masih sama, masih begitu hangat ketika ada yang menyebut nama gadisnya. Biru tahu, bahkan dia sangat paham makna dari naskah drama yang sekarang ada di tangannya. Lelaki itu hanya memastikan apakah memang nama gadisnya itu masih memiliki efek yang begitu besar jika diterima oleh telinganya?

"Ah, Amega Anjana. Naskah yang begitu menarik, jadi yang akan menjelma sebagi Majnun adalah Layla bukan?" mereka mengangguk, membenarkan perkataan dari Biru.

Biru paham, kenyataan yang mereka hadapi juga sebenarnya adalah kisah Layla Majnun. Hanya saja, Biru tak cukup layak menjadi tokoh utama dalam cerita mereka, Biru hanya bisa menunggu tanpa tahu bahwa bayangannya membuat gila gadis yang dia cinta.

"Baiklah, apakah yang akan mengikuti hanya dari kelas teater? Bagaimana kelas lain?"

"Ini pementasan bang, rasanya agak sudah jika semua kelas harus mengikuti. Apalagi kelas menulis dan Pahat."

Biru terdiam sejenak, mata lelaki itu nampak focus pada gelangnya, sampai sebuah senyum terbit dari sudut bibirnya dan memberi perintah,

"Kita akan melakukan pementasan luar biasa, hubungi masing-masing kelas agar mereka mengajukan perwakilan kelas 10 orang. Setelah itu kalian kumpul di Aula utama" kata Biru sebelum berdiri dan meninggalkan tanda tanya besar bagi siswa-siswa yang ada di halaman utama.

"Bang Ru akan buat pementasan seperti apa?" pertanyaan sang ketua kelas yang hanya dibalas gelengan oleh teman-temannya yang lain.

**

"Kamu yakin Ru? Ini tinggal 9 hari lagi loh," ujar Mas Dewo agak terkejut ketika mendengar penuturan Biru mengenai penambahan tokoh dalam pementasan.

"Aku yakin mas, sangat malah. Ini pentas pertamaku sejak aku kembali kesini kan?"

"Lah, kamu berpikir apa yang akan dipentaskan kelas sastra dan kelas pahat?"

"Kelas menulis maksudmu mas?"

Mas Dewo hanya mengangguk, dia memang seirng menyebut kelas menulis sebagai kelas sastra, tentu saja Biru agak kebingungan dengan perkataanya.

"Mas, aku sudah memikirkan konsep ini. Anak Teater akan menampilkan Naskah Layla sang Majnun, sedangkan kelas menari akan menjadi tarian pembuka dan penutup pementasannya..."

"Lalu kelas menulis dan pahat?" serobot Mas Dewo yang dusah tidak sabaran.

"Sebentar mas, ini aku baru mau ngomong. Kisah Layla Sang Majnun ini memiliki akhir tidak bersama dalam naskahnya bukan? Maka akan ada pementasan dari kelas pahat agar membuat akhir kisah tokoh Layla dan Majnun di surga."

"Anak pahat tidak terlalu pandai beracting Ru!"

"Mas, mereka akan memperagakan dengan konsep patung mereka, seperti bagaimana sebuah patung bercerita. Mereka juga bisa bercerita lewat posisi mereka yang akan nanti kita ubah menjadi patung. Dengan gaya-gaya yang begitu sederhana, dan juga seperti kilasan foto. Mereka hanya bergerak ketika sang pembaca narasi menceritakan kisah Layla Majnun yang kembali bersama."

Mas Dewo agak tersentak ketika mendengar penjelasan Biru, tetapi dengan segera lelaki itu menguasainya dan mengajukan pertanyaan seola-olah belum puas akan pejelasan dari adik sepupunya.

"Lalu kelas menulis?"

"2 anak akan menjadi pembacaan narasi, 2 anak kusuruh membuat naskah lanjutan, dan 6 anak akan tetrikal puisi. Sedangkan kelas lukis akan kita buat galeri pamerannya di awal masuk gedung, tentu saja gadung itu akan kita sulap menjadi jalan yang menampilkan lukisan-lukisan dari kelas lukis Mas," jelanya pada Mas Dewo.

Mas Dewo menganggukan kepalanya ketika cukup puas dengan pemikiran Biru. Namun masalahnya adalah, apakah bisa mereka menampilkan pemenatsan yang begitu rumit itu dalam waktu 9 hari?

"Ru..."

"Mas, aku percaya dengan anak-anak. Aku yang akan melatihnya, percayakan!"

"Kau sendiri? Apa peranmu?"

Biru tersenyum lebar dan berdiri, sebelum pergi dari ruangan Mas Dewo dia sempat menagatakan.

"Aku? Aku akan selalu menjadi sang penyair mas," katanya sambil berlalu.

Biru menyusuri koridor kelas setelah dari ruangan Mas dewo, beberapa guru dan juga murid yang meihatnya selalu menyempatkan untuk menayapanya. Sampailah dia di Aula utama. Dengan perlahan membuka pintu hingga riuh suara yang mulanya datang dari siswa-siswa di dalam seketika berhenti. Ruangan itu begitu hening, hanya ketukan langkah Biru yang terdengar menggema dalam ruangan besar itu.

"Halo semuanya!! Kalian harus mempersiapkan diri untuk berlatih pementasan. Kosongkan jadwal kalian 9 hari ke depan, karena kalian akan latihan penuh sampai datangnya acara. Paham kan?" suara Biru tidak ada kesan mengintimidasi ataupun terkesan memerintah dengan kolot. Biru mengatakannya dengan raut tenang, begitu teriakan "paham" menggema, Biru memulai perannya, memulai kembali cerita-cerita yang berawal dari pementasan naskah milik gadisnya, Amega Anjana.



**

Maaf guys telat update, besok atau senin bakal update lagi deh. Janji!

jangan lupa buat vote n share cerita ini yaaa, 

salam hangat,

AMEGA ANJANA (Kota & Rindu yang Didoakan)-Book 2 BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang