Sekolah Seni Milik Biru

1.4K 116 10
                                    

( 2 Minggu menjelang pementasan)

Tidak ada yang berubah dari sekolah seni jalanan milik Biru, tidak ada. Tidak berubah yang Biru maksud adalah ketenangannya, udaranya, wanginya dan segala tanaman-tanaman hijau disana. Terlepas dari bangunan yang sudah bertambah lebih besar itu, tidak pernah bisa mengurangi betapa indahnya aroma sekolah seni itu, sama persis dengan aromah sekolah seni yang dibangun oleh orang tuanya.

"Selamat datang Bang Ru," ujar Kahi setelah mereka sampai di pelataran sekolah. Biru tersenyum sekilas kemudian menyerahkan helm dan menajamkan matanya untuk mengelilingi tempat sekitarnya, gerbang lusuh yang dengan papan nama 'Sekolah Seni Jalanan Frasa' membuat Biru diam-diam menyunggingkan senyum. Sekolah yang didirikan kedua orang tuanya itu kini telah menjadi milik banyak anak. Seperti keinginan almarhum orang tuanya, bahwa sekolah ini adalah milik Biru dan teman-temannya.

Biru melangkah terlebih dahulu, menyusuri jalan yang memiliki texture daun. Cukup kagum akan perubahan yang tidak dia sadari dari rumahnya ini, ada gazebo dengan penyangga berwarna putih di sebelah taman. Ada halaman luas dengan tratag di tengahnya, laki-laki itu terkekeh saat mengetahui bahwa itu adalah panggung pertamanya. Panggung dimana dia membacakan puisi untuk kedua orang tuanya.

"Bang, aku udah ngabarin Mas Dewo. Katanya langsung ke atas dulu aja," ujar Kahi yang ternyata mengikuti Biru berjalan.

"Ah baiklah, saya akan kesana. Kau bisa kembali ke tempat belajarmu. Terima kasih Kahi,"

"Iya, sama-sama. Aku senang dapat bertemu dengan guru senior yang sering dibicarakan murid disini," jawab Kahi sebelum berlalu meninggalkan Biru. Pemuda itu menatap punggung Kahi yang membawanya pada kenangan ketika dia masih begitu lugu dan juga tidak paham apa tujuan orang tuanya mendirikan sekolah ini bagi anak-anak yang hidup di jalanan.

"Akan ada masa dimana Sarjana begitu banyak Biru, akan ada masa dimana manusia-manusia intelektual akan begitu mudah dijumpai. Tapi akan ada masa juga dimana manusia akan kehilangan kebebasannya, kehilangan makna hidup mereka, mereka akan semakin menginginkan menjadi manusia-manusia yang luar biasa, dan dari sanalah akan timbul banyak masalah," ujar sang Ibu kala Biru baru saja membacakan puisinya di tengah-tengah anak-anak kecil yang berteman dengan Biru di jalanan.

"Sekolah seni tidak hanya mengajarkan tentang bagaimana seseorang belajar, berkarya, bersastra, sekolah seni ini adalah milik Biru dan teman-teman. Milik semua orang yang ingin menjadikan sekolah ini sebagai rumah. Biarkan mereka berkreasi selama itu tidak melanggar norma. Jadikan nama sekolah seni ini dikenal sebagai sekolah yang menciptakan manusia-manusia baik. Cukup seperti itu."

Biru tersenyum, lagi-lagi kenangan yang begitu dalam ada di kota ini. Kota yang sudah hampir 5 tahun tidak Biru kunjungi. Biru melangkah melewati lorong-lorong kelas. Ada 5 jurusan kelas di sana. Kelas lukis, kelas menulis, kelas teater, kelas pahat, dan kelas tari. Selain 5 jurusan, para siswa juga mendapatkan pembelajaran pengetahuan umum dan keagamaan. Tentu sekolah ini hanya bisa ditempati anak dengan minimal usia 18 tahun. Bagi mereka yang masih dibawah umur, Yayasan sekolah seni akan meminta bantuan sekolah terdekat untuk menerima anak jalanan tersebut. Tentu saja dengan bantuan donatur, sekolah seni mendapatkan dukungan penuh. Hingga sekolah seni kini menjadi salah satu sekolah swasta yang tidak hanya menampung anak jalanan, tetapi banyak pula anak-anak dari kalangan ternama yang mendaftar disana. Bisa dibilang Sekolah Seni Jalanan adalah sebuah Universitas yang cukup diketahui banyak kalangan di kota itu.

Brak!!

Biru terkejut ketika dia tidak sengaja menabrak seseorang. Sedang mata sang gadis yang jernih itu menatap terkejut sosok Biru yang ada di hadapannya. Baik Biru maupun si gadis yang menabraknya masih sama-sama terpaku hingga sebuah teriakan membuat sang gadis kembali berlari dan pergi dari hadapan Biru.

"Jasmita!! Awas kamu ya sampai lari lagi!" teriak seorang perempuan paruh baya yang sangat Biru kenal.

"Jasmit...a" teriakan sang Ibu mengantung ketika netranya berpapasan dengan sosok pemuda yang hampir 5 tahun tidak dia temui,

"Frasa,, Biru Pram Frasa, ealah nak..." ujarnya kemudian memeluk Biru, tentu saja langsung dibalas tak kalah erat dengan sosok Biru.

"Apa kabar Budhe Weri,"

Sepertinya kerinduan bukan hanya milik Biru, tetapi juga bagi mereka yang dia tinggalkan. Rasa hangat pelukan dari kakak ibunya itu membuat Biru sedikit bernapas lega, ternyata ada bagian semesta yang masih mau mengenalnya. Air mata yang turun dan terasa di baju Biru pun akhirnya menyadarkan sosoknya, bahwa masih ada kehidupan cinta lain yang harus dia jaga. Meski bukan tentang puisi atau gadisnya-Jana, ini bisa saja tentang cinta kota dan Sekolah Seni Jalanan Frasa.

**

"Sudah berkelana sampai mana sampai 5 tahun tidak pulang?" pertanyaan sinis yang terlempar seakan menyambut Biru. Pemuda pemakai gelang hitam pudar itu terkekeh, kemudian memeluk sepupunya yang sudah lama tak dia jumpai.

"Kau kelihatan lebih subur mas, " ujar Biru sambil tersenyum mengejek.

"Yo jelas, aku bahagia, memangnya kamu tuh kurus!"

Biru menanggapi dengan senyum kecil sambil beranjak duduk di ruangan Mas Dewo.

"Tumben mas, aku bisa dilacak!"

"Heh, asal kamu tahu ya, sejak kau tidak pulang dari 2 tahun lalu aku selalu berusaha mencari keberadaanmu. Butuh waktu yang gila aku bisa mengetahui dimana posisimu!" jawab Mas Dewo sambil memberikan soda kaleng yang baru saja diambil dari lemari es di pojok ruangannya.

"Aku mengalami kecelakaan hingga koma 9 bulan mas," ujar Biru tenang sambil menegak minumannya. Tentu saja beda hal dengan Mas Dewo yang nampak terkejut lalu membanting minuman sodanya yang belum sempai ia buka.

"Kamu kalau ngomong mbok yang serius Ru!" Mas Dewo seperti menuntut penjelasan akan kebenaran yang baru saja diucapkan adik sepupunya itu.

"Aku serius mas, kecelakaan bus yang membuatku koma,"

"Lalu biaya rumah sakitmu? Yang menjagamu siapa?" desak Mas Dewo seakan tidak percaya pada hal yang baru saja dia dengar.

"Aku memiliki banyak teman di dunia ini mas, dimanapun aku berpijak selalu ada manusia baik yang membantu. Kau tahu itu dari kita masih kecil kan?"

Mas Dewo nampak merenungi ucapan Biru. Memang sedari kecil Biru adalah anak yang mudah bergaul dan nampak menyenangkan diajak berteman. Tidak sedikit lelaki itu memikat banyak orang baik dari kalangan muda, dewasa, tua lewat guyon-guyon dan juga kebolehannya dalam berpuisi. Terlebih lagi, pemuda penyuka gelang hitam itu juga tidak pernah memilih-milih teman.

"Jangan tatap aku dengan tatapan kasihan mas, aku baik-baik saja. Itu sudah lama," kata Biru menenangkan.

"Kau ini punya rumah Ru, kau masih punya keluarga disini. Menetaplah!" ujar Mas Dewo tulus.

"Aku memang akan menetap mas, aku sudah tidak memiliki alasan untuk berkelana lebih jauh lagi. Kota ini sudah begitu lama kurindukan," jawab Biru yang sebenarnya berkata lain, bukan kerinduannya terhadap kota ini yang membuatnya pulang. Tetapi sebuah pelarian yang ingin dia bawa pada kota kelahirannya, sebuah pelarian tentang bayangan gadis berambut sebahu yang berhasil membuat Biru jatuh hati dari kata ketusnya di terminal. Amega Anjana.

"Bagus, kau bisa membantuku mengurus sekolahmu ini! Dasar! Bisa-bisanya kau tidak mau dikenal banyak orang?!" sewot Mas Dewo memecah suasan suram yang sempat ada diantara percakapan mereka barusan.

"Haha, sudah kubilang mas, aku malas jika harus berurusan dengan orang-orang pandai. Aku ini bodoh mas, kuliah aja gak selesai," guyonnya.

"Tapi untuk kali ini tidak bisa kau tolak Ru, almarhum ayah dan ibumu ingin kau juga mengurusnya bukan? Ini waktu yang tepat!" selak Mas Dewo dengan nada yang dalam. Biru hanya tersenyum kecil dan kemudian mengangguk. Memikirkan apa yang akan dia buat di sekolah seni ini, akan ada kisah apa yang terjadi kedepannya nanti.

Biru tidak sabar akan hal itu!

**

Guys gimana nih, Biru come back ... yey

AMEGA ANJANA (Kota & Rindu yang Didoakan)-Book 2 BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang