Seperti sesuatu yang Menggilakan

1K 97 5
                                    

Seperti Sesuatu yang Menggilakan

( 2 Hari sebelum Pementasan )

Biru sedang menaiki panggung kecil yang sudah dikelilingi oleh siswa-siswa yang esok hari akan melakukan pementasan ada sekitar 40 siswa campuran di tambah dengan 1 kelas penuh dari jurusan teater. Lelaki yang hari itu tengah mengenakan banda hitam agar mengamankan rambut panjangnya, nampak begitu ketara lelah dari kantung mata yang menghitam. Anehnya, kantung mata itu bukan masalah bagi wajah Biru. Lelaki yang hobi memakai kaos hitam berlengan panjang itu, masih memiliki aura gagah dari sayu matanya sebab kurang tidur.

"Kita selesai hari ini, segala hal nanti akan saya kabarkan lewat ketua kelas masing-masing. Jangan lupa jaga Kesehatan dan makan vitamin. Untuk hari besok kita libur mengistirahatkan badan. Pementasan ini jangan dibawa beban, pementasan ini adalah kegilaan yang menyenangkan. Percaya saja. Jangan terlalu dipikir, karena kita sudah berlatih dan berproses dengan baik," kalimat ter panjang dari Biru dihadiahi tepuk riuh dari siswa-siswa di sekelilingnya. Sebelum turun dari panggung kecil itu, Biru menyempatkan foto bersama anak didiknya.

"Andaikan ada Nona disini," ada gumaman kecil ketika Biru menatap kamera. Bayangan gadisnya disana tidak pernah lepas dari ingatan pemuda itu. Tapi sekarang dia hanya bisa menjadi perindu, dia tak mampu menjangkau lagi kisah bernama Jana. Namun meski begitu, Biru agak tersentak ketika seorang gadis berjalan di koridor kelas menari, rambut itu benar-benar mengingatkannya pada Jana. Hanya saja, rambut Jana lebih berwarna coklat dan bergelombang. Dan Biru masih mengamati gadis itu.

Mungkin setiap orang yang sedang diperhatikan akan sadar, begitupun dengan J yang sepertinya sudah ditakdirkan untuk menatap ke arah lapangan teater. Disana J menemukan pemuda yang beberapa hari ini singgah dipikirannya, dan sialnya Biru juga sedang menatap J.

"Jadi dia gadisnya?"

Tiba-tiba bayangan percakapan Biru dan penjaga tokoh terputar kembali dalam pikiran J. meski gadis itu nempak memutuskan pandangannya, tak bisa dipungkiri jika dia terpesona dengan bukti pipinya yang merah merona.

**

Di kota Biru, ada sebuah danau yang selalu menjadi tempat kesukaanya ketika pemuda itu masih kecil. Dana yang berwana biru kehijauan itu selalu nampak lebih indah dengan pancaran surya yang hampir tenggelam. Biru duduk di tepian danau, begitu jauh dari pusat kota membuat tempat ini begitu jarang dikunjungi oleh orang-orang. Dan Biru selalu menyukai jika tempat ini masih menjadi tempat sunyi paling menenangkan.

"Ck, bisa-bisanya ketemu lagi?!" sebuah suara terdengar dari belakang Biru. Pemuda itu mengernyitka alisnya ketika dia menyadari bahwa Gavina ada disana.

"Bagaimana kamu tahu saya disini?"

"Hahaha, ini tempat umum kan? lagipula mana tahu kamu disini," ujar Gavina yang mengambil duduk di sebelah Biru.

"Tempat umum yang sunyi," jawab Biru tenang sambil melempar kerikil ke danau. Cipratan air sebab lemparan itu menjadi focus Gavina. Gadis yang memiliki rambut panjang itu, mencari sebuah akar disekitar tempat duduknya, ketika ia mendapatkan sebuah akar kecil yang cukup kuat, dia berusaha mengucir rambutnya menjadi satu. Pergerakan itu membuat Biru terdiam sebelum akhirnya mengambil alih akar itu dan berpindah tempat ke belakang Gavina untuk mengucir rambut gadis itu.

"Eh,"

"Saya bantu," katanya singkat. Cukup lama Biru merapikan kuciran Gavina, setelah selesai Biru kembali duduk di samping gadis itu.

"Kamu mudah membuat gadis terpikat ya?" ujar Gavina sambil menyadarkan tangannya sebagai tumpuan dan merebahkan badannya agar condong ke belakang.

"Tidak, saya hanya berusaha membantu saja,"

"Oh ya? manusia yang baik," Gavina tersenyum. Gadis yang masih menggunakan pakaian formalnya itu berhasil menghentikan kegiatan Biru yang melempar batu ke danau.

"Semua manusia baik, kau baru saja pulang bekerja?"

"Ya,"

Dua manusia itu terjebak sunyi kembali, hanya suara-suara angin sore dan juga kilau bara sang surya yang hampir tiada. Semburat warna apik langit menerpa sisi depan wajah dua manusia itu.

"Kau punya rokok?"

Tidak ada sahutan dari Biru atas pertanyaan Gavina. Biru hanya menatap Gavina sejenak, lalu memberikan bungkus rokok ke depan Gavina. Wanita itu nampak terkejut, sambil tersenyum dia mengambil alih bungkus rokok dari Biru. Dengan cepat dia mengambil satu batang rokok dan mengapitnya dengan bibir merahnya itu. Gavina kembali menyodorkan tangannya, bermaksud meminta korek dari pemuda itu.

"Saya tidak memiliki korek," jawab Biru tenang.

Gavina heran, dengan cepat dia melepaskan rokok dari mulutnya dan menatap Biru seakan meminta penjelasan.

"Saya serius, saya tidak memiliki korek, Tertinggal di Sekolah,"

"Lalu untuk apa kau memberikan ku rokok, jika tahu tidak ada yang bisa digunakan untuk menyalakannya?"

Senyum miring terbit dari wajah Biru.

"Mungkin karena takdir sudah mengingatkanmu untuk melampiaskannya pada saya, bukan pada rokok,"

"Aku sedang tidak marah, aku mencari ketenangan dari rokok."

Lagi-lagi jawaban dari Gavina membuat Biru tesenyum, dia merentangkan tangannya,

"Ini menenangkan , bagian sang Surya yang tenggelam. Kamu tidak butuh rokok atau alcohol untuk hal itu. Ini cukup untuk membuatmu tenang, kan?" gumamnya yang masih bisa didengan oleh Gavina, ucapan pemuda itu membuat rokok yang berada di tangan Gavina jatuh begitu saja. Seolah-olah dia baru saja disihir dengan kalimat Biru yang begitu memikatnya. Sebab tanpa sadar, dia pun ikut menjadi penikmat kegelapan yang hampir muncul sebab surya tenggelam.

"Ya, aku pikir aku baru merasakan ketenangan ini sepanjang hidup."

"saya baru merasakannya dua kali," sahut Biru dengan tetap menutu matanya, ada yang tidak bisa dilihat oleh Gavina. Siapa sangka, bila dalam pejaman mata pemuda itu dia sedang berusaha menyatukan kembali kenangannya bersama Jana. Siapa yang tahu bila semua hal yang masih digelutinya saat ini selalu menjadi alat agar Jana seolah dapat dia rasakan kehadirannya. Begitupun dengan sang surya.

"Dia begitu cantik kan?" gumam Biru setelah membuka mata dan menatap Gavina yang ternnyata tengah menatapnya pula,

"Ya, dia begitu cantik."

Gavina tidak pernah merasakan sensasi gila seperti ini ketika dihadapkan dengan seorang pemuda. Jujur saja, kebanyakan jawaban penolakan yang diterima sebab gadis itu merokok membuatnya kesal. Tapi hari ini berbeda, penolakan sebab rokok itu bukan menjadi hal yang harus dia sesali. Sebab dia telah menemukan candu baru untuk kekesalan harinya,

Langit yang menghitam, dan senyum Biru yang menawan.

Ya, dua hal itu nampak seperti sesuatu yang menggilakan baginya.

AMEGA ANJANA (Kota & Rindu yang Didoakan)-Book 2 BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang