( 10 Hari sebelum Pementasan)
Tidak ada yang berubah dari sosok Biru, selama dia berpijak pada tanah kelahirannya sedari 4 hari kemarin. Dia masih belum mau berlatih untuk pementasan yang katanya akan diadakan 10 hari lagi. Pementasan penting yang dihadiri para donatur-donatur sekolah, tidak menjadikan Biru terkekang dengan Latihan-latihan yang harus dijalani. Tidak, Biru tidak pernah bisa untuk diatur dengan hal-hal sepele seperti itu.
"Belum mau berangkat latihan Ru sama anak-anak?" tanya Mas Dewo di meja makan pagi itu.
"Belum mas, aku masih ingin menjelajah kota satu hari lagi. Besok baru mulai latihan." Jawab Biru membuat Mas Dewo tersenyum lega. Pasalnya memaksa Biru untuk berlatih sesuai jadwal juga kadang membuat Mas Dewo depresi sendiri. Sedari kecil bila Biru tidak ingin berlatih, dan dia dipaksa ikut. Justru akan semakin berulah aneh-aneh.
"Tenang aja mas, aku ini bukan Biru kecil lagi yang usil, besok aku akan ke sekolah. Tapi jangan biarkan anak-anak tidak berlatih meski tanpa aku ya mas,"
"Iya loh Wo, kamu ini. Frasa kan baru pulang. Biarkan dia berjalan-jalan dulu. Jangan diajak mikir keras-keras dulu," Mas Dewo hanya mendengkus mendengar pembelaan untuk Biru dari Ibunya- Budhe Weri.
"Santai aja mas, percaya sama aku. Pementasan kali ini akan menjadi pementasan yang berkesan bagi tamu penting kita."
Dewo percaya, sangat percaya jika adik sepupunya ini memang bisa diandalkan. Jadi alangkah lebih baiknya jika Dewo membiarkan Biru untuk saat ini.
"Ya sudah, kalau mau jalan-jalan pake motorku aja Ru. Biar enak, besok gak capek,"
"Iya mas, tenang aja"
**
Memang setiap udara di kota kelahiran akan selalu berbeda dengan udara-udara kota perantauan. Biru begitu merasakannya, apa karena Biru sudah lama tidak menginjakkan kakinya ke tanah kota ini? Entah, barangkali memang kota kelahiran mempunyai sihir yang dapat memikat para penduduk yang lama telah menghilang dari kotanya? Barangkali iya.
Biru mengendarai motornya dengan pelan, menikmati panorama kota yang sudah lama tak dia jumpa. Memandang gedung-gedung, perpustakaan kota yang sudah berbeda dari 5 tahun yang lalu. Pemuda itu menghentikan motornya saat menatap keramaian yang terjadi di depan jalannya. Biru segera turun dan menuju keramaian tersebut. Teriakan-teriakan dan juga umpatan terdengar jelas ketika Biru semakin mendekati keramaian tersebut.
"Makanya Pak kalau salah itu jangan ngeyel!" teriak gadis dengan raut kesal dan emosi, terlihat jelas dari wajahnya yang merah padam sampai telinganya.
"Mbak. Saya kan udah minta maaf, lagi pula kan gak ada yang lecet!" sahut lelaki yang nampaknya terlibat perdebatan dengan si gadis berambut panjang itu.
"iya mbak, masnya kan sudah minta maaf."
"Iya tuh, mbaknya ngeyel sih"
"mbok gak usah dipermasalahkan mba!"
Teriakan-teriakan orang sekitar membuat gadis berambut panjang itu tersudut, tetapi anehnya gadis itu semakin menatap nyalang orang-orang disekitarnya,
"Kalian kalau gak tau apa-apa kenapa sih! Pergi sana, ini bukan tontonan!!" ujar gadis itu sedikit teriak. Biru yang baru saja sampai dianatara kerumunan itu menatap beberapa orang yang terlihat semakin memojokan sang gadis, meski tidak yakin apakah ini memang salah sang gadis atau bukan, tetapi melihat satu orang ditudung banyak orang merupakan hal yang tidak baik.
"Maaf mas, mbak. Alangkah lebih baiknya untuk membiarkan yang berurusan menyelesaikan masalahnya, kendaraan dan keributan kalian justru membuat macet jalanan!"
Sorakan yang entah ditunjukan pada Biru atau sang gadis berambut panjang itu menggema beriringan dengan orang-orang yang mulai membubarkan diri. Kini tinggal Biru, sang gadis berambut panjang dan juga pria yang berdebat dengan sang gadis.
"Udah ya mbak, saya kan sudah meminta maaf, mbaknya tolong jangan diperpanjang lagi," ujar sang pria memohon melas pada sang gadis.
"Makanya mas kalau lagi bawa motor itu jangan sambil main hape! Bahaya tau gak!"
"Iya kan mbak juga salah karena ngalamun di jalan!"
"Loh kan? minta maaf apaan langsung nyolot lagi?!"
Perdebatan mereka seakan menjadi instrument Biru yang bak menonton teater jalanan. Biru terkekeh ketika melihat sang pria nampak tak bisa menyahuti ucapan san gadis. Loh kenapa Biru yang sekarang menonton?!
"Sudah mbak, biarkan masnya pergi barangkali ada urusan," sahut Biru yang menyadarkan kedua orang tesebut bahwa ada orang lain diantara perdebatan mereka.
"Iya bener, yaudah mas tolong ya dikondisikan ini mbaknya saya mau jalan lagi" ujar sang pemuda yang berbalik arah meninggalkan Biru dan juga sang gadis, tentu saja sang gadis masih belum menerima dan hampir saja menyusul sang pria kalau saja tidak langsung ditarik oleh Biru.
"Udah," kata Biru pelan.
Dua manusia itu terjebak pada tatapan netra yang bak membekukan waktu, membuat keduannya saling menatap dengan jeda panjang. Sebelum akhirnya Biru melepaskan tangan sang gadis dan membuat sang empunya sadar.
"Anda siapa? Kenapa seenaknya aja ikut campur urusan orang?!" kini jsutru Biru yang diajak berdebat, dengan langkah yang pelan Biru mendekat kearah sang gadis. Gadis berambut panjang dengan muka merah karena menahan marah.
"Kamu marah ke pria tadi bukan hanya karena dia menelfon saat mengendarai kan? kamu melampiaskan emosi lain disana," gumam Biru lirih sambil menatap netra sang gadis. Biru hanya tersenyum kecil sebelum akhirnya berjalan menuju motornya yang cukup jauh.
"Kalau emang aku lagi emosi kenapa?!"
Teriakan itu menghentikan Biru, pemuda yang kini memunggungi sang gadis hanya berdiam di tempat sambil mendengarkan teriakan-teriakan dari manusia di belakangnya.
"Aku gak bisa emosi!"
"Aku gak boleh marah?!"
"Aku harus diam aja gitu, gak boleh marah sama orang?!"
Teriakan yang pada akhirnya membuat Biru kembali, berjalan ke arah sang gadis yang sudah penuh dengan wajah merah dan juga air mata di wajahnya.
Tepat ketika Biru berhenti di depang sang gadis, Biru terdiam.
"Karena gak akan ada yang peduli kan kalau aku emosi, makanya buat emosi aja aku gak berhak?" tanya sang gadis lirih. Biru menatap prihatin gadis di depannya, sampai akhirnya dia melepaskan salah satu gelang di pergelangan kanannya dan memberikan kepada gadis itu.
"Dulu setiap saya nangis, Ibu selalu kasih saya gelang. Pakai aja ini, kalau mau marah lagi jangan sembarangan cari orang buat pelampiasan. Karena sekarang kamu sudah pakai gelang saya, maka cari saya. jika sedang marah silahkan cari saya, lampiaskan pada saya. Setidaknya kamu tidak akan dipojokan seperti tadi jika melampiaskannya pada saya," ujar Biru tenang sambil memberikan gelang hitam pudarnya.
Dengan perlahan gadis itu meraih gelang Biru, menahan gejolak untuk menatap pemuda di depannya lagi. Tetapi dia tak sanggup, gadis itu tak berhasil untuk tidak menatap Biru kembali. Kedua kalianya pandangan mereka beradu, hingga sang gadis berucap,
"G, nama saya Gavina. Anda sudah berjanji untuk menjadi pelampiasan bukan? Maka setiap nama Gavina memanggil anda, anda harus datang!" ujar G penuh penekanan. Lagi-lagi sang penyair hanya tersenyum kecil, mengangguk kemudia menjawab,
"Saya akan mengingat nama itu dengan baik," jawab Biru sebelum akhirnya benar-benar kembali menuju motor dan meninggalkan Gavina yang sedang memegang gelang pemberian Biru dengan erat.
**
[Hai... ada tokoh baru nih hemmm, Jana mana Jana.....]
KAMU SEDANG MEMBACA
AMEGA ANJANA (Kota & Rindu yang Didoakan)-Book 2 Biru
Romance(ON GOING) Biru Pram Frasa : Seorang penyair yang terjebak dalam bayangan kisah cinta bersama seorang gadis di masa lalunya. Perjalanan yang membawanya pergi dari satu kota ke kota lain justru tak pernah bisa membuatnya berhenti merindui Jana. Hing...