Gadis di Bawah Remang Lampu Jalanan
( 4 Hari Menjelang Pementasan)
Jam sudah menundukan pukul 23.30, Biru dan masing-masing coordinator masih melakukan evaluasi guna membahas perkembangan kelas masih-masing. Sedangkan siswa lainnya sudah dibolehkan pulang dari pukul 22.00. inilah tanggung jawab seornag pemimpin, bukan hanya tenaga yang mereka kuras tetai juga pikiran yang harus selalu mereka kerahkan dengan maksimal.
"Kelas menari bagaimana? kostum sudah memberi tahu Budhe Weri?" tanya Biru pada Riza.
"Sudah bang, tinggal nanti kita mengabari salah satu teman kelas untuk make up."
"oke kira-kira berapa persen kesiapan kelasmu sampai hari ini?" tanya Biru sambil menyulut rokoknya.
"85% mantap!" jawab Riza tegas.
"Bagus! Kelas pahat, ada kesulitan untuk beracting?" tanya Biru beralih ke Kahi. Siswa pertama yang dekat dengan Biru itu meringis sebelum menjawab,
"Tentu bang, agak kesusahan kami membagi jadwal memahat dan juga berakting. Ya walaupun gerakannya sederhana tetapi butuh focus untuk mendengarkan narasi," jelas Kahi yang tentu saja direspon cekikikan oleh teman-temannya disana.
"Gakpapa, besok akan terbiasa. Untuk pameran patung dan pahat sudah sejauh mana?"
"Sudah selesai bang, besok tinggal rapat sama anak lukis untuk menentukan dekor serta tempat pameran dari kelas pahat. Kalau untuk acting masih sekita 60% bang, hehe"
"Bagus, besok maksimalkan di latihan acting saja, kelas lukis bagaimana?"
"Aman bang, kita juga udah survei tempat yang nanti buat pameran. Untuk karya sudah selesai semua, dan penataan tempat masih dalam tahap perencanaan." Kata sang koordiantor kelas lukis.
"Bagus, maksimalkan. Kalau bisa besok perencanaan sudah selesai. Tinggal sisa harinya kita pakai untuk menata ruangan."
Biru kembali melihat laporan dari 2 kelas terakhir.
"Kelas menulis sepertinya sudah selesai, atau kurang apa?"
"Tinggal memantapkan untuk tetrikal puisinya bang. Soalnya Bang Biru belum mau menunjukan puisinya seperti apa," jelasnya. Biru memang akan membacakan puisi nanti. Dan anggota kelas menulislah yang akan bertetrikal mengiringi puisi Biru. Mendengar keluhan dari kelas menulis justru membuat Biru tertawa ringan. Suara berat yang menggema di gazebo sekolah itu begitu terlihat lepas dan juga menawan. Bahkan bagi ke 5 siswa yang jelas belum pernah melihat tawa Biru itu nampak membulatkan matanya sebab terkejut begitu saja.
"Baik, akan aku kasih puisinya besok. Kita bisa berlatih. Di tempat tertutup ya," jawab Biru dengan senyuman lagi.
"Terakhir kelas teater, bagaimana?"
"Aman bang, beberapa kabel lagi dibenerin lagi sih, soalnya ada beberapa yang perlu di sambung ke lampunya."
"Oke, perbaiki cepat. Semua kekuarangan kalau bisa H-2 sudah terpenuhi ya. jadi nanti kita punya waktu satu hari untuk istirahat total. Sekarang kalian bisa pulang. Jangan lupa banyak-banyak minum air hangat dan vitamin yang tadi sudah dibagikan sama Budhe Weri. Sekian," setelah mengucapkan hal tersebut, Biru berdiri dan menyalami satu persatu 5 siswa tersebut. Meraih tas kecilnya dan kemudia berjalan keluar gerbang Sekolah.
**
Malam yang tidak begitu mencengkam, sebab ternag bulan yang menambha kesan malam menjadi cerah serta banyaknya lampu jalanan yang membuat trotar malam itu semakin nampak sepi menenangkan. Lelaki yang tenagberjalan sambil menggulum batang rokoknya itu tiba-tiba terkejut ketika padangannya tidak sengaja menangkan seorang gadis yang duduk di bawah lampu jalanan sebelum pertigaan menuju ke rumahnya. Biru tidak berpikir bahwa gadis itu hantu, sebab terlihat dari pakaian yang dikenakan adalah celana jeans dan juga kaos putih pendek. Pemuda yang penarasan itu melangkah kakinya menuju ke arah sang gadis, mungkin karena mendengar langkah yang mendekat sang gadis juga ikut menagngakt kepalanya sebab semula dia tetrtunduk. Dan tepat ketika netranya berpapasan dengan Biru, gadis itu membelalak kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMEGA ANJANA (Kota & Rindu yang Didoakan)-Book 2 Biru
Romance(ON GOING) Biru Pram Frasa : Seorang penyair yang terjebak dalam bayangan kisah cinta bersama seorang gadis di masa lalunya. Perjalanan yang membawanya pergi dari satu kota ke kota lain justru tak pernah bisa membuatnya berhenti merindui Jana. Hing...