Bukan Sebuah Keluarga

841 68 8
                                    



Udara kota Biru memang begitu menenangkan di malam hari, suara angin yang bergesekan dengan ranting selalu menjadi alunan nada pas ditambah dengan suara belalang yang saling bersahutan dari satu ke yang lain. Di teras rumah Budhe Weri, Mas Dewo dan Biru nampak tengah menikmati kopi hitam sambil menghisap rokok masing-masing.

"Kota masih sama ya mas, sepi dan menenangkan," kata Biru memulai pembicaraan.

"Ya, kota selalu seperti ini. Kau merindukannya?" jawab Mas Dewo sambil berusaha mencari keripik yang tidak terlalalu pedas di dalam toples.

"Jelas, mana mungkin tidak. Mas, jadi acara pementasan kemarin menjadi salah satu agenda galang dana? Apakah banyak donatur yang datang?"

"Iya, syukur sekali sekolah kita mengalami peningkatan besar,"

"Terpenting prioritaskan Pendidikan bagi anak jalanan bang, jangan sampai mereka berhenti berkarya."

Mas Dewo hanya mengangguk, sudah paham akan permintaan Biru yang selalu diulang-ulang. Terkadang lelaki itu juga heran, Biru nampaknya begitu menyukai jalanan. Baik tempatnya, orangnya dan segala pengalaman dari sana.

"Oh, iya. Kamu dapat salam dan Tante Irgy," ujar Mas Dewo disambut dengan anggukan kecil dari Biru.

"Dia adalah teman masa kecil ibumu, dia juga sebagai donatur utama sekolah seni. Pementasan kemarin membuatnya dan rekan bisnisnya katanya begitu terhibur. Dia ber terima kasih atas itu,"

Biru yang masih menggulum batang rokok di kursi sebelah hanya diam mendengarkan, sesekali mengangguk. Hingga sebuah pertanyaan agak menyentak Biru,

"Ru, aku aku menikah di usia 25 tahun. Kamu udah 26 belum mau menikah?" Ya, Mas Dewo memang sudah menikah 4 tahun yang lalu. Pemuda yang sudah memiliki anak satu itu cukup kahwatir melihat sepupunya yang terlalu bebas, Mas Dewo takut bila Biru tidak memikirkan hal yang cukup penting itu.

"Aku menyukai seseorang mas," kata Biru sambil mulai menyalakan sebatang rokok baru.

"Lalu? Kenapa tidak kau bawa ke sini?"

Ada helaan panjang disetiap pemuda itu menghembuskan rokoknya, seperti sebuah keluh yang begitu berat dipikulnya dia lepaskan lewat asap candunya malam itu.

"Tapi dia tidak mengenaliku,"

Mas Dewo tentu saja mengernyitkan alis menandakan tidak pahamapa yang dikatakan Biru.

"Dunia di masa lampau pernah mengutukku dengan begitu berat Mas, aku menemui gadis itu saat akhir tahun tepat 4 tahun yang lalu. Kami duduk di satu meja yang sama, dan aku benar-benar langsung tertarik pada sifat angkuh gadis itu. Kami pergi menggunakan bus yang sama kemudian bus itu mengalami kecelakaan,"

Siapapun tentunya akan kebingungan dengan kisah singkat Biru itu, begitupun dengan Mas Dewo yang semakin tidak paham arah cerita sepupunya itu kemana.

"Hanya seperti itu dan kau merasa sudah menyukainya?" tanya Mas Dewo agak gregetan dengan Biru.

"Masalahnya adalah saat aku mengalami koma, aku benar-benar seperti terlempar di dunia yang entah mengapa rasanya begitu indah. Di sana aku menemukannya, aku bertemu dengan gadis itu kembali, kami menjalin hubungan, menikmati kopi di balkon flat yang bersebelahan, dia menerima ciuman pertamaku, dan juga dia adalah gadisku. Tapi betapa terkejutnya aku ketika aku tersadar dan ternyata aku baru saja sadar koma?" ujar Biru menatap Mas Dewo yang masih terlihat bingung akan kisahnya.

"Ru, selain menjadi penyair apakah kamu sudah berpindah profesi menjadi seorang pengarang?"

Sudah Biru duga, bahwa ceritanya memang akan dianggap sia-sia oleh orang-orang. Tidak masalah, Biru tidak marah. Mana mungkin dia harus memaksakan orang untuk mempercayai kisah asmaranya. Dia tidak seegois itu untuk menjadi pengemis harap dari makhluk fana bernama manusia.

"Kamu ini ngawur aja! Toh juga kalau memang itu kenyataan, dan gadis itu memang ada disana. Dia mungkin sudah lupa denganmu? Kamu pikir dia juga koma dan akan mencintaimu seperti kamu mencintainya?"

Kali ini, baru kali ini Biru dipertemukan dengan pertanyaan tersebut. Apakah Jana juga mengalami koma? Apakah Jana juga menunggunya? Mencarinya? Banyak pertanyaan yang kemudia berterbangan di pikirannya. Penyair itu tidak sedih, dia kembali menatap sedu rokok yang sekarang sedang dihimpit di tangan kananya. Memikirkan mungkin memang hanya Biru yang merasakan kegilaan ini, bisa saja memang hanya Biru yang mengharapkan Jana bukan? Meski pemuda itu tidak tahu apa yang terjadi pada gadisnya, dia cukup sadar. Bila mencintai Jana akan terasa hina jika dia berhenti sebab keraguan dari pertanyaan asing.

Cintanya pada Jana tidak semudah itu untuk menghilang, tak akan ada pertanyaan jahat yang membuat Biru merasa malang, cintanya bukan sekadar balasan, dan hidup bersama. Tetapi bagi Biru, Jana lebih dari sekadar cinta yang ditunggu balasannya, atau yang diimpikan dapat hidup bersama. Jana sudah melebur ke dalam diri pemuda itu, selalu akan menjadi bagian dalam diri sang Penyair, tidak ada alasan yang lebih pantas dalam menghentikan cinta Biru pada Jana.

Kecuali, bila Biru memang bisa melakukannya,

Melupakan gadis berponi lucu dalam hidupnya,

**

"Ma, hari ini G dapet gaji pertama, penerbitan tempat G bekerja bilang kalau kerjaan G cukup baik untuk kelas editor baru, tapi sehabis pulang G mampir ke toko roti, Mama kan suka banget sama kue coklat. Jadi tadi G....."

"Saya sudah makan malam, lagipula makan makanan yang banyak gula tidak terlalu baik dikonsumsi oleh saya yang sudah tua."

Sebelum G melanjutkan perkataanya, Irgy sudah memotognya dengan kalimat datar. Memang tidak ada perkataan yang menyakitkan hanya saja rasanya begitu tidak enak dalam perasaan G ketika Mamanya tidak mau sekadar menyentuh bahkan menatap kue yang telah di beli G.

"Kalau begitu G taruh di kulkas yah Ma, bisa dimakan besok" tidak ada jawaban dari Irgy. Wanita yang tengah memainkan ponselnya itu justru tidak mengindahkan pernyataan dari anak sulungnya, sedangkan G yang sadar bila sudah tidak ada lagi tanggapan dari Irgy, dia membawa rotinya menuju dapur. Mengabaikan rasa sesak dna juga amarah yang ingin meledak saat itu juga.

Meski akhirnya dia mencoba, sekuat apapun dia berusaha ada di mata mamanya. Dia tidak pernah sanggup menjangkau kebahagiaan sederhana itu. Banyak yang berkecamuk dalam hati G, namun satu-satunya pertanyaan terbesarnya adalah Apa salahnya sampai Irgy tidak bisa memeperlakukan G sama dengan wnaita itu memperlakukan J?

Setelah meletakan kue kedalam kulkas, Gavina menuju ke kamarnya. Lagi-lagi ketika melewati ruang keluarga itu Gavina semakin merasakan sesak luar biasa, menatap bagaimana J dan Mamanya bisa dengan mudah tertawa, J yang dengan mudahnya bisa mengobrol santai bersama Irgy, dan tentunya adalah rangkulan hangat Irgy yang diberikan pada J. Gavina selalu mengatakan bahwa J memang butuh perhatian lebih, bahwa J masih nampak seperti anak-anak yang begitu polos, tidak sama sekali terlinta pikiran membenci J dalam kepala Gavina. Dia hanya merasa iri, merasa ingin juga merasakan bagaimana pelukan seorang Irgy ketika hari-harinya begitu berat. Dengan mencoba bertahan kembali, G lekas menuju kamar, meninggalkan suasana keluarga yang tidak pernah dia miliki, yang tidak pernah dia rasakan.

Sebab bagi G, rumah ini bukanlah sebuah keluarga.

Sesampainya di kamar, dia meletakan tasnya, mengunci pintu dan kemudian melepaskan ikatan rambutnya. Gadis berambut panjang itu melepaskan baju kerjanya, hingga menyikan tanktop kemudia menuju balkon, dia mengambil benda kecil yang selalu berada di kantong celananya untuk menggoreskan beberapa sayatan dalam lengan kirinya dan mulai merasakan ketenangan mengerikan yang menyergapnya dari setiap darah yang keluar.

Hari ini, G masih gagal menyayangi dirinya sendiri.

Dia melukai dirinya kembali. Sekali lagi.

AMEGA ANJANA (Kota & Rindu yang Didoakan)-Book 2 BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang