Puisi yang Masih Berpuan

1K 99 6
                                    

Puisi Yang Masih Berpuan

(7 Hari Menjelang Pementasan)

Biru selalu berangkat pukul 5 ke sekolah seni dan akan selalu pulang jam 1 malam, selama beberapa hari dimulainya latihan untuk pementasan, Biru memang tidak bisa untuk membuang waktu dan juga harus memadatkan jadwal latihan agar pementasan harus maksimal. Kali ini Biru disibukan dengan kelas lukis, beberapa anak yang sudah dipilih untuk mewakili kelasnya sedang mencoret-coret cat warna dalam kanvas mereka, Biru sesekali ikut memberi saran pada siswa yang menanyakan keseimbangan warna yang pas untuk digunakan. Lalu dirinya sendiri pun tengah melukis dikanvas besar yang ukurannya 5 kali lebih besar dari kanvas ukuran para siswa.

"Sola, aku akan melihat kelas teater dan menari. Jadi kamu koordinasi disini. Pastikan untuk lukisan selesai hari ini minimal 70% setelah itu kita bisa melanjutkan konsep dekor yang akan kita buat," ujarnya setelah selesai melukis gambar dari pagi jam 5 tadi, sekitar 4 jam dia sudah berkutat dengan alat lukisnya sebab sekarang pukul menunjukan 09.00.

"Baik bang, ini lukisannya sudah selesai?" tanya Sola menunjuk kanvas milik Biru.

Biru yang sedang membersihkan tangannya dengan minyak menatap Sola kemudia beralih melihat lukisannya.

"Lukisan itu tidak pernah selesai, tapi itu sudah bisa untuk dipamerkan nanti," jawab Biru sebelum berlalu.

Sola merasa heran dengan sosok sang penyair, pemuda yang berumur 19 tahun itu mendekati kanvas Biru, memperhatikan lukisan yang katanya tidak akan pernah selesai. Lukisan Biru nampak seperti panorama laut malam dengan terang bulan berwarna putih kebiru-biruan, ada seorang gadis yang duduk di batu karang dengan gaun putih panjang, lalu seorang pemuda yang berdiri di sampingnya tetapi menghadap arah yang berlawanan.

"Lukisannya menarik, sederhana tapi terlihat mencekam," ujar Sola lalu mengamankan lukisan Biru agar tidak kotor atau rusak.

**

Nampaknya memang anak seni akan lebih serius jika sudah berhubungan dengan bidang yang mereka geluti, Biru memicingkan matanya dan mengamati bagaimana para actor berlatih vocal dan pembacaan naskah, lalu beberapa anggota setting tempat mempersiapkan peraga yang dibutuhkan, dan juga jangan lupakan lampu serta produser yang nampak bolak-balik mengkoordinasi kelas teater tersebut.

Biru yang baru sampai di depan pintu menatap senang akan kegigihan siswanya dalam mengadakan pementasan. Ini adalah hal yang begitu Biru sukai selain Jana. Pementasan.

"Bang Ru!" teriak Faro yang menjadi coordinator kelas teater. Seketika semua kegiatan berhenti dan berporos pada Biru. Biru tersenyum lebar sambil memberi tepuk tangan seorang diri untuk siswa-siswanya,

"Kalian luar biasa, lanjutkan berlatih, aku hanya akan mengecek dan mengevaluasinya," ujar Biru yang disambut teriakan heboh dari anak-anak kelas teater.

"Ada yang kurang Faro?" tanya Biru ketika dia berhadapan dengan coordinator kelas teater.

"Tidak bang, semua perlengkapan sudah siap, Tinggal maksimalkan berlatih saja."

"Bagus, jika ada kendala segera beritahu saya,"

Faro tersenyum, cukup senang dapat bekerja bersama dengan Biru. Meski status Biru adalah guru senior tetapi tidak pernah Biru seakan-akan memaksa menggurui siswanya, Biru justru memperlakukan siswanya layaknya teman. Semuanya.

"Oh iya bang, kemarin Bang Ru beli tambahan kayu untuk seni pahat kan? tadi dicari sama koordinatornya," ujar Faro mengingat bahwa tadi sempat menemui Kahi sebagai coordinator pahat.

"Oh iya, kemarin saya sudah membelinya. Saya akan antar," jawab Biru sambil mengingat hari kemarin ketika dia dan salah satu siswa yang pernah menabraknya membeli peralatan pahat.

Flashback On

Biru berjalan dengan tenang menyusuri trotoar menuju ke toko pelatan seni yang tidak terlalu jauh jaraknya dari Sekolah Frasa. Langkah yang begitu tegas itu terlalu menonjol bila disandingkan dengan langkah-langkah mungil dari seorang gadis yang berjalan dibelakangnya. J masih diam menikmati pemandangan punggung tegap Biru yang dibalut dengan kaos hitam lengan panjang itu. Diam-diam gadis berumur 19 tahun itu tesenyum, entah mengapa terasa berbeda jika dia memandang Biru. Terasa ada sesuatu yang meledak di dalam perutnya.

J tidak sadar bila Biru telah berhenti berjalan untuk menyebrang, hingga berakhir dengan dia kembali menabrak punggung Biru. Baik J ataupun Biru sama-sama terkejut dengan inseden tersebut.

"Ma-maaf bang, a-aku tadi ..."

"Iya gakpapa, jalannya jangan sambil ngalamun makannya," J hanya mengangguk saja, sampai sebuah gerakan sederhana dari Biru lagi-lagi membuat J kembali merasakan ledakan luar biasa,

"Ayo menyebrang," katanya sambil menarik tangan mungil J. Gadis itu tidak sempat memberontak atau berteriak kegirangan. Dia hanya mengikuti langkah Biru dengan langkahnya yang semakin kaku. Meski tidak bisa dia elak, bahwa dirinya merasa berdebar berhadapan dengan sang penyair itu.

J cukup merasakan kehampaan ketika tangan Biru tidak lagi mengenggamnya, lelaki itu langsung saja masuk ke dalam toko. Sebab merasa kehilangan focus, J kembali berlari kecil meyusul Biru. Sesampainya mereka masuk lagi-lagi J dikagumkan dengan dekor di toko tersebut, banyak sekali ukiran dan juga lukisan yang terpampang, ada juga pahatan-pahatan dan karya seni rupa baik terapan atau murni disana. Gadis itu tidak percaya jika ini adalah sebuah toko, sebab lebih pantas jika ini disebut galeri pameran baginya.

"Biru? Kau Biru Pram Frasa?" suara pemilik toko menyadarkan kekaguman J. gadis itu membelalak kecil ketika pemilik toko yang merupakan pemuda dengan tubuh gempal memeluk Biru dengan erat.

"Halo Bang Seno. Lama sekali tidak bertemu," jawab Biru sambil membalas pelukan dari Bang Seno yang merupakan pemilik toko sekaligus teman ayahnya.

"Kamu ini! Bisa-bisanya menghilang seperti itu. Disini kami merindukan kamu Ru!" omelan Bang Seno membuat Biru lagi-lagi tersenyum, pemuda itu terlalu bingung menjelaskan atau sekadar mencari pembelaan.

"Aku akan menetap disini bang, ini kan tanah kelahiranku," ujarnya.

"Harus! Kasihan Dewo lah ngurus sekolah sendiri. Oh iya, bagaimana dengan buku-buku puisimu? Biasanya kau selalu membawanya jika kesini. Dan akan selalu menyuruhku untuk mendengarkannya bukan?"

"Hahah, itukan Biru kecil bang. Sekarang aku sudah dewasa."

"Bagiku kamu masih Biru yang suka membacakan puisi di setiap jalan, Ru" kerinduan Bang Seno sama seperti kerinduan Budhe Weri, yang selalu menatap iba Biru sebab setelah kematian orang tuannya lelaki itu lebih memilih hidup di jalanan atau merantau ke tempat-tempat yang jauh. Sebab Biru selalu paham akan tatapan-tatapan orang-orang di sekitarnya,

"Bang, lagipula puisiku sudah menemui rumahnya, jadi tidak perlu lagi aku membawa buku kesana-kemari," kata Biru berusaha mencairkan suasana sedih dari percakapannya dengan Bang Seno.

Lelaki bertumbuh gempal pun melebarkan matanya, tidak menyangka bila akhinya Biru menagtakan hal yang cukup mustahil.

"Jangan bilang kau jatuh cinta?" tebaknya Bang Seno yang hanya dijawab dengan senyuman kecil. Kemudia keduanya tertawa bebas, entah memikirkan apa. Yang jelas percakapan mereka juga tertangkap oleh gadis yang masih berada di belakang Biru.

"Oh jadi puisi itu sudah berpuan?" tanya Bang Seno lagi dengan lagak penyair.

"Haha, sudah, puisiku sudah berpuan,"

"Apakah itu gadisnya?" tanya Bang Seno yang menunjuk J. J yang tiba-tiba terseret pada percakapan mereka membuat tubuhnya semakin kaku. Apalagi Biru juga ikut memandang J yang saat ini sudah meremas tangannya sendiri dan menghindari tatapan kedua orang itu.

"Iya Biru dia orangnya?" tanya Bang Seno sekali lagi,

Tidak ada jawaban dari Biru hanya sebuah senyuman dan juga langkah kaki yang membawa Biru menuju ke tempat peralatan dimana dia membutuhkannya.

Bang Seno lagi-lagi menggeleng dan juga J yang semakin tersipu sebab Biru tidak mengelak pertanyaan dari Bang Seno.

Flashback Off



________

Jadi, gimana pendapat kalian guys? jangan lupa komen dan share yak!

AMEGA ANJANA (Kota & Rindu yang Didoakan)-Book 2 BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang