Bagian Awal

1K 143 59
                                    

Faza segera turun dari angkot, begitu angkutan umun tersebut berhenti tepat didepan ruko yang beberapanya masih tutup, karena kebanyakan ruko disini buka pada sore hari dan tutup menjelang tengah malam.
lalu lalang kendaraan yang masih cukup lancar membuat perjalanan kali ini tidak terlalu lama dan gadis berjilbab biru itu sangat  mensyukurinya.

Begitu selesai menurunkan beberapa kardus dan beberapa kantong kresek yang ia bawa dari kampung halamannya, ia segera menyerahkan uang pecahan lima ribu kepada supir angkot tersebut.

"Matur suwun pak, kembaliannya buat bapak saja" ucapnya sembari menyerahkan uang tersebut.

Angin sepoi-sepoi yang sedari tadi memainkan ujung jibabnya semakin mejadikan aura kecantikan santriwati itu terpancar sempurna, meski tanpa polesan bedak atau lipstik sekalipun.

Sang supir tersenyum dan menggangguk" sami-sami nduk ,atos-atos njeh!".

Setelah angkot tersebut pergi, Faza kembali menenteng beberapa kardus dan kantong kresek tadi, kemudian matanya menatap lekat plang bertuliskan Pondok pesantren putra-putri AN NAWA yang berdiri kokoh tepat disamping tempat ia berdiri, ia menghela napas sejenak sebelum lanjut memasuki komplek pesantren AN NAWA.

Ia tidak menyangka waktu berjalan begitu cepat, seingatnya baru kemarin ia menjadi santri baru di Pesantren ini, namun sekarang ia sudah lulus Aliyah dan telah berada dinaungan pesantren ini selama kurang lebih enam tahunan, ternyata waktu sesingkat itu.

ia menyusuri gang menuju komplek AN NAWA  sembari menginggat kembali momen beberapa minggu yang lalu, saat dimana ia saling berpelukkan dan menangisi kebersamaan mereka yang teramat singkat itu.
beberapa temannya memutuskan untuk boyong dan melanjutkan pendidikan dipesantren yang lain, ada juga beberapa dari mereka yang memilih membantu perekonomian keluarga mereka dikampung halaman, mereka telah siap terjun dimasyarakat setelah bertahun-tahun mentalnya ditempa disini, matanya sedikit berair sekarang.

Awalnya gadis itu berencana untuk boyong juga, karena kondisi perekonomian keluarganya yang sedang tidak stabil, orang tuanya hanya seorang petani biasa. lahan pertanian yang diolah keluarga Faza juga tidaklah banyak, beberapanya hanya titipan pakdenya yang meminta ayahnya untuk ditanami palawija, dengan syarat pengasilan dari bertani tersebut dibagi dua.

Faza hanya tidak ingin membebani keluarganya dengan biaya pendidikannya, sudah cukup ia selesaikan pendidikannya sampai bangku Aliyah, meski dalam hati kecilnya ia sangat ingin meneruskan pendidikannya hingga bangku kuliah.
Namun gadis itu paham betul bahwa keinginan tersebut hanyalah mimpi semata, ia tidak akan sangup meminta bapaknya untuk membiayai kuliahnya, sementara perekonomian keluarganya yang sangat pas-pasan.

Awalnya memang ia berencana seperti itu, namun jika tuhan berkendak lain ia bisa apa, tepat disaat hari kelulusannya diumumkan ia dan beberapa temannya dipanggil menghadap ke ndalem, ia masih sangat menginggat hari itu, dan permintaan bu nyainya itu.

Mbak Faza, Aida,Ima, Dewi, Anjani, sampun paham to?, kenapa umi panggil sampean kabeh ten mriki?.

Saat itu mereka berlima tidak bisa menjawab apapun, mereka tau sepenuhnya jika tanggung jawab yang besar tengah menanti mereka.

Umi, tidak pernah asal memilih, sampean kabeh sudah umi anggap anak sendiri, sejak sampean dititipkan orang tua kalian disini, umi dan Abah sudah mendiskusikan ini dan kami percaya kalian sanggup mengemban amanah ini dan akan menjadikan pesantren ini lebih baik dari sebelumnya. Dan umi juga tau sampean kabeh sudah paham dengan maksud umi.

Rindu Yang TertundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang