ternyata itu dia

312 92 5
                                    

Para santri baru selesai melaksanakan jamaah magrib, yang kemudian dilanjutkan dengan wiridan rutin yang sudah menjadi agenda wajib bagi santri, mereka semua tampak khusuk melafadkan kalimat tasbih dan tahmid dari bibir mereka, meski masih ada satu dua dari mereka yang justru bercanda dan saling melempar guyon satu sama lain, namun begitu pandangan Anjani beralih kemereka suasana menjadi kembali khusuk, entah apa yang menjadikan mereka seperti itu, apakah sesangar itu seorang Anjani dimata santri yang lain.

Sementara Faza, gadis itu juga khusyuk mengikuti wiridan, namun kali ini pikirannya sedikit terpecah, apalagi mendengar kenyataan yang ia dengar perihal penyusup dikelasnya tadi sore yang ternyata tidak lain adalah gusnya sendiri.

Faza terus menerus merutuki dirinya sendiri, bagaimana mungkin ia tidak mengenali putra kiainya sendiri, padahal ia juga seorang ndalem, dan kenapa juga ia baru mengingat jika baru pagi tadi ia menanyakan perihal itu kepada mbk Ima, mengapa juga ia seceroboh itu melupakan hal sepenting ini.

Bukankah itu sudah termasuk kewajibanya untuk mengenal siapa- siapa saja keluarga ndalem dan memuliakan beliau sepertihalnya ia memuliakan kiainya sendiri.

Namun apa yang ia lakukan tadi, bagaimana mungkin ia bertindak tidak sopan terhadap gusnya sendiri, dan apa yang akan gusnya pikirkan perihal dirinya yang kurang ajar tersebut, padahal ia sudah nyantri cukup lama disini, harusnya ia sudah lebih paham perihal adab seorang murid terhadap gurunya ,ditambah lagi ia juga seorang ndalem dan pengurus santri putri.

Apa yang harus ia lakukan sekarang, haruskah ia menghadap gusnya dan meminta maaf perihal kejadian sore tadi, tapi apakah ia sanggup menampakan wajahnya sekarang, ia sudah seperti tidak punya muka lagi jika didepan gusnya tersebut, namun jika ia ingin menghindar apakah ia juga bisa, sementara setiap hari ia selalu keluar masuk ndalem.

Pikiran gadis itu sedang kalut sekarang, ia bahkan tidak bisa lagi fokus pada bacaan wiridnya.

"Za!, dipanggil umi ke ndalem sekarang." Ucap mbk Ima yang tiba- tiba berbisik ditelinga gadis tersebut.

Tentu saja hal itu menjadi tanda tanya besar bagi Faza, tidak biasanya umi memanggil dirinya dijam- jam seperti ini, hatinya sudah berdetak tak menentu, pikiranya kalut kesana kemari, Faza terus menurus menduga- duga, apakah ini berhubungan dengan kejadian sore tadi, jikapun tidak bagaimana jika nanti ia bertemu dengan gusnya tersebut, apakah ia sudah siap, jujur saja nyalinya telah menciut saat itu, namun tetap saja ia tidak bisa mengabaikan panggilan uminya tersebut.

Faza segera bergegas ke ndalem namun kali ini ternyata ia tidak dipanggil seorang diri, mbak Ima juga sama, saat itu mereka masih mengunakan mukena karena umi memangil mereka  agar segera meghadap jadi tidak ada waktu bagi mereka untuk berganti pakaian karena itu pasti akan memakan waktu yang cukup lama.

Setelah menguluk salam mereka segera menemuai bu nyainya, Faza beruntung karena saat itu ndalem masih sepi dan kelihatanya Abah dan gusnya masih jamaah dimushola putra.

"Mbak, tolong belikan ayam penyet yang ada didepan pasar itu loh mbak, nanti sampaen naik motor aja mbk biar cepet tapi ati- ati ya mbak " titah umi kemudian, beliau  segera menyerahkan uang pecahan limapuluh ribuan dan sebuah kunci motor.

" njeh umi" mbak ima  segera menerimanya dan  mereka segera bergegas untuk pamit karena tak ingin membuat uminya menunggu lama, sesesaat setelah mereka berdua keluar dari ndalem ternyata gus Asyhif  baru saja masuk dari pintu depan dan melihat sekilas sosok mereka sebelum keduanya menghilang dari pandangan.

"Assalamualaikun umi" ucap gus Asyhif menguluk salam.

"Waalaikumsalam, eh putra umi udah pulang, kok cepet banget, kan wiridnya belum selesai, abah aja biasanya langsung sambung jamaah isya'." Jawab umi sembari mengulurkan tangannya untuk menyalimi putranya.

"Iya umi, kangen sama umi hehe" balas gus Asyhif sembari mengecup lembut tangan uminya tersebut.

"Alesan kamu le, orang kamu aja betah banget dikairo dan ngga ada rencana pulang kalo Abahmu ngga maksa kamu buat pulang, padalah umimu ini udah kangen banget sama kamu".

"Owh iya itu tadi yang baru keluar siapa umi.?" Jawab gus Ashyif mengalihkan pembicaraan.

"Owalah le,pinter banget si kalo nylimurin pertanyaan umi, itu Faza sama Ima baru tak suruh beliin penyetan didepan pasar, yang kesukasn kamu itu toh" jawab umi sambil tersenyum ramah.

"tau aja umi kalo Asyhif lagi laper banget" balas gus Asyhif yang langsung mengandeng lengan uminya tersebut.

Umi hanya tersenyum melihat kelakuaan putranya tersebut.

Sementara faza dan mbak ima segera berganti baju dan bergegas menaiki motor membelah jalanan mranggen yang tentunya selalu padat dengan lalu lalang kendaraan menuju tempat yang ia tuju.

Jarang- jarang mereka berdua keluar malam apalagi sambil naik motor begini, mereka berdua menikmati pemandangan malam jalanan mranggen, mengamati ruko dan kedai- kedai yang biasanya tutup pada siang hari, tak jarang juga mereka melihat kang- kang santri dari pondok lain yang tengah nongkrong di angringan pinggir jalan.

Kebetulan tempat yang mereka tuju tidak terlalu jauh, jadi hanya butuh waktu sekitar lima menitan untuk sampai kesana, mereka segera memarkirkan motor didepan warung dan segera masuk dan memesan pesanan umi tadi.

Suasana warung ini cukup ramai oleh pembeli, baik dari kalangan santri atau warga setempat. Tak jarang beberapa dari mereka memperhatikan kedua gadis ber jas almamater tersebut.

"Oawalah nduk, anak.e sopo kok ayune koyo wedokdari!".guman laki-lai paruh baya yang sedari tadi memandangi mbak ima dan faza.

"Ojo kurang ajar kamu kas, iku santrine yai hamzah, tar kuwalat kamu!" Sahut pak Amin pemilik warung.

Faza dan mbk ima yang mendengar obrolan tersebut hanya tersenyum ramah dan tidak mengubrisnya.

" niki nduk pesanannya udah jadi" ucap pak amin sambil menyerahkan kantong kresek kepada Faza, gadis itu segera mengecek pesannaya takut ada yang kurang, namun bukanya kurang justru pesanan itu kelebihan.

"Ngapunten pak, niki kok katah banget, saya cuma pesan tiga bungkus , tapi ini kok ada lima bungkus njeh" sahut faza menjelaskan.

"Mboten nopo- nopo nduk, sengaja tak lebihin buat kalian berdua" balas pak amin sambil tersenyum ramah.

"Matur suwun sanget pak, jadi ngerepotin kan."

"Ndak ngerepotin kok nduk, itung- itung bagi- bagi rizki nduk, biar dagangannya makin berkah."

"Alhamdulillah kalo gitu pak, semoga dagangannya makin laris pak, ya sudah pak saya pamit dulu.?" Ucap faza sebelum pergi.

"Amin nduk, atos-atos njeh" jawab pak amin lagi.

"Njeh pak suwun." Ucap faza lagi yang setelahnya berlalu untuk segera menyerahkan pesanan bu nyai.

Ditengah perjalanan, mbak ima menanyakan apa yang faza obrolkan tadi dengan pak Amin pemilik warung tersebut, faza menjelaskan perihal apa yang ia alami tadi dan mengucap syukur karena ketiban rezeki yang tidak terduga.

"Berkahhe bu nyai mbak.!" Sahut Faza sambil tersenyum yang dibalas dengan senyum dan anggukan oleh mbak ima pertanda ia setuju dengan apa yang dikatakan barusan.

Sesampainya dipondok mbak ima segera memarkirkan motor ketempat semula senentara Faza segera menuju ndalem untuk mengantarkan pesanan bu nyai, ia  menguluk salam dan menunggu diambang pintu, menunggu bu nyai membukakan pintu,gadis itu sampai tiga kali menguluk salam,karena belum ada jawaban juga. cukup lama gadis itu menunggu hingga setelahnya pintu terbuka, namun bukan Umi atau Abah yang membukakan pintu.

Seorang laki- laki yang berperawakan tinggi dengan wajah yang meneduhkan siapa saja yang melihatnya kini tengah berdiri gagah didepan gadis itu, laki- laki itu mengenakan stelan kemeja biru dan sarung hitam.

Deg.

Jantung Faza seperti akan berhenti detik itu juga, lidahnya terasa kelu untuk mengucapakan sepatah katapun, nyalinya tiba- tiba kembali menciut.

Benar laki- laki didepannya kini adalah penyusup dikelasnya sore tadi, laki- laki yang tidak lain adalah gusnya sendiri.
Muhammad Asyhifudin Latif.

.
.
.

"

Rindu Yang TertundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang