kebenaran

248 36 0
                                    

"Ngga usah jadi sok pahlawan za, aku ndak pernah minta kamu buat bantuin aku dan lagi aku ngga butuh kamu kasihani!," Ucap Titin saat melihat Faza tengah menjalankan takziran membersihkan kamar mandi putri, tak ada orang lain disana hanya ada mereka berdua.

Faza menatap Titin tidak mengerti, gadis itu hanya ingin tau alasan dan cerita yang sebenarnya, ia tau betul jika Titin bersalah, dan kotak itu milik Titin, kotak yang sama persis seperti miliknya.

Tiga tahun lalu Faza sendiri yang memberikan kotak itu sebagai hadiah ulang tahun Titin, mereka berdua sedekat itu dulu, sebelum kesalahpahaman yang merengangkan hubungan keduanya.

"Kamu pikir dengan sikap kamu yang seperti itu akan membuat aku berterima kasih kekamu!, mimpi kamu za!, sejak hari itu aku sudah tidak butuh kamu lagi!" Sambung titin penuh penekanan.

"Maksud kamu apa tin?", Faza yang sudah diambang batas kesabarannya akhirnya angkat bicara, ia tidak bisa terus berdiam diri dan membiarkan gadis didepannya semakin bersikap kurang ajar.

Sudah cukup cacian dan hinaan yang ia dengar selama ini, sudah cukup kesabarannya diuji karena kasus ini dan sudah cukup ia berbaik hati menutupi kasus ini, namun apa balasannya. Meski sejak awal ia memang tidak berharap balasan apapun selain mendengar cerita yang sebenarnya dari gadis didepannya ini.

"Ngga usah berlagak ngga tau za!, aku tau dalam hatimu kamu bersorak girang melihat keterpurukanku, kamu seneng kan za?" Titin kembali melontarkan kata yang tidak hanya memenusuk hati itu, ia juga tidak segan mendorong tubuh f
Faza hingga terjatuh kelantai.

Faza meringgis kesakitan, lutut dan telapak tangannya tergores sedikit, namun itu tidak lebih sakit dari pada luka dihatinya yang selama ini berusaha ia tutup perlahan, Faza pikir Titin telah berubah, dan lagi itu sudah berlalu cukup lama.

"Cukup Tin!, kamu ini kenapa toh, apa salahku sampai kamu segitu bencinya sama aku?" Jawab Faza yang penuh penekanan juga, gadis itu menatap tajam kearah Titin .

Faza hanya ingin berdamai dengan gadis didepannya, mereka sudah cukup dewasa untuk saling memaafkan, memahami keadaan masing- masing dan menerima satu sama lain.

"Kamu masih berani bertanya dimana letak kesalahan kamu, kamu ngaca za!" Titin menjeda ucapannya, napasnya mulai kembang kempis, wajahnya berubah merah padam seakan segala rasa sakit yang berusaha ia tahan selama ini tumpah ruah disana.

"Kamu merebut mimpiku, segalanya. Menghancurkan hidupku satu persatu, lomba itu satu- satunya harapanku za!, orang tuaku mati- matian berusaha mewujudkan mimpiku. Demi bisa membuat pak dhe dan budhe ku bungkam!"  tangis yang selama ini ditahan akhirnya pecah, tubuhnya melemas seakan segala kekuatanya runtuh dan menghilang dari tempatnya, ia kecewa pada dirinya sendiri tapi ia menyangkal itu dan terus menerus mencari pembelaan.

Faza menatapnya iba, ia tidak tahu jika selama ini rasa sakit itu masih mengakar dihati gadis didepannya itu, ia pikir segalanya telah usai, sikap Titin yang menjauh bukan berarti kebencian  tertanam dihatinya melainkan sebab mereka tak lagi satu tujuan, satu frekuensi dan mungkin juga persahabatan mereka sudah kadaluarsa karna tak lagi ada sikap saling percaya.

Dan tentang masalah yang selama ini membebani titin, Faza tidak pernah tau-menahu, gadis didepannya jarang sekali bercerita tentang kehidupan pribadinya, terlalu banyak rahasia diantara mereka meski Faza sudah berusaha sangat terbuka dan terlalu menaruh percaya kepada Titin, ia pikir Titin selalu baik- baik saja.

"Kamu minta aku menilai dimana letak salahku, tapi kamu sendiri tidak pernah bersikap terbuka kepadaku, aku pikir kita sahabat Tin, aku percaya sama kamu, semua masalahku kamu tau, segalanya aku ceritakan kepada kamu, tapi pernah ngga sekali aja kamu berbagi kisahmu kepadaku?" Faza mulai terisak, entah sejak kapan bulir bening itu berjatuhan tak tau malu, ia masih tidak habis pikir, dimana letak salahnya dan kenapa gadis didepannya teramat sangat membenci dirinya.

"Kalo kamu pikir kita sahabat, harusnya kamu tau za!, sahabat ngga perlu cerita panjang lebar untuk menjelaskan kondisiku, harusnya kamu bisa melihatnya sendiri, mimpi itu harusnya tidak kamu hancurkan jika kamu benar- benar sahabatku.
Aku belajar mati- matian untuk lomba itu demi bisa membuktikan kalo aku mampu dan pak dhe juga bu dheku tak lagi menghina keluargaku, harusnya kamu tau kalo itu satu- satunya harapan aku untuk mewujudkan mimpi orang tuaku!", Titin semakin terisak bom waktu yang telah terkubur teramat lama itu akhirnya meledak juga.

"Aku capek za!, dibanding- bandingkan dengan sepupuku yang berhasil masuk sekolah negri tanpa tes, sementara aku harus rela berada disini , dan melihat pak dhe budheku terang- terangan menghina aku yang katanya tidak lebih pintar dari sepupuku, aku cuma mau membuktikan jika aku mampu, harusnya kamu tau itu za!, tanpa aku harus menjelaskan terlebih dahulu!", sambung Titin kemudian.

"Aku bukan peramal yang bisa baca pikiran kamu Tin, aku ngga akan tau kalo kamu ngga pernah cerita ke aku, sahabat bukan berarti harus tau segalanya, sahabat itu saling percaya dan saling mendukung satu sama lain, kalo kamu ngga pernah cerita bagaimana aku harus mendukungmu , aku pikir kamu selalu baik- baik saja karna tidak pernah bercerita apapun!"  Faza kini mengerti letak kesalahanya, titin hanya salahpaham terhadapnya.

Jika ini masalah lomba, harusnya sejak awal Titin jujur tentang masalah itu, Faza tidak masalah jika harus mundur dari posisinya, tapi sekali lagi nasi yang sudah menjadi bubur tidak akan kembali menjadi beras lagi dan kepercayaan yang telah hancur sulit terbangun kembali.

Mereka berdua tidak pernah salah, hanya waktu yang tidak memberi jeda.
Dan lagi untuk lomba itu, Faza akui ia hanya satu diantara ratusan santri yang beruntung mendapat kesempatan, ia pikir tidak ada salahnya mencoba, namun satu hal yang tidak gadis itu sadari sebelumnya.

Lomba itu bisa jadi satu- satunya harapan untuk santriwati lain termasuk Titin, namun sekali lagi itu hanya masalah komunikasi, jika saja hari itu Titin jujur dengan keinginannya, Faza tidak akan keberatan akan itu, tapi sejak  hari itu Titin tidak pernah berbicara apapun.

Mereka saling diam sejenak, tanpa kata terlampau senyap malah, jam sudah menunjukan hampir setengah dua belas siang, waktu dimana biasanya para santriwati akan kembali kepesantren untuk jamaah dhuhur, karna kebetulan letak sekolah dan pesantren yang tidak terlalu jauh, sebenarnya disekolah juga sudah disediakan musholla, namun kebanyakan santri ditempat ini lebih suka kembali kepesantren sebentar untuk sekedar sholat dhuhur dari pada harus sholat disekolahan.

"Aku minta maaf kalau selama ini itu yang kamu rasakan, harusnya aku memang lebih peka, aku memang terlalu sibuk dengan kehidupanku sendiri tanpa perduli dengan cerita- cerita kamu Tin!, harusnya aku lebih mengerti kamu, tapi satu hal yang ingin aku tau, aku selalu percaya kamu tidak mungkin bertindak tanpa sebab, aku hanya butuh alasan kamu perihal kotak kayu itu, aku tidak akan memaksamu bercerita atau mengakui kesalahan itu, biar tanggung jawab ini kupikul sampai tuntas dan perihal alasan ity, aku selalu percaya dan siap menunggu, maski tidak sekarang!" t
Titin hanya membisu mendengar penuturan Faza, tak ada respon apapun sampai mbak Ima muncul dan  berjalan kearah mereka.

"Belum selesai juga za, udah saatnya nyiapin makan siang nih!" tegur mbak Ima seletahnya, Titin hanya melengos tidak perduli, dan pergi menjauh dari hadapan mereka, meski hatinya ingin menjelaskan semuanya dan memperbaiki masalalunya namun tetap saja, nyalinya terlalu ciut dan gengsinya terlalu tinggi, ia lebih memilih menyingkir dan mengubur jauh- jauh rasa bersalahnya, berharap ia akan baik- baik saja setelahnya.

Faza diam sejenak, memperhatikan sosok Titin yang mulai menghilang dari pandangannya.

"Udah selesai kok mbak im, cuma tinggal ngembaliin ini aja" jawab Faza sambil menunjukan perlengkapan bersih- bersihnya.

"Yaudah, buruan bersih- bersih,ganti baju terus dandan yang rapi, aku tunggu didapur ndalem"  Faza  hanya balas tersenyum dan mengangguk pertanda mengerti, sebelum mbak ima berlalu pergi.

Sekali lagi  tidak satupun dari mereka yang menyadari jika sejak tadi percakapan itu terekam jelas dimemori seseorang yang belum beranjak dari tempatnya berdiri.

.
.
.
________________

Assalamualaikum guys,
Gimana kabarnya hari ini,? Semoga bahagia dan sehat selalu.
Terima kasih sudah mampir kecerita saya yang masih jauh dari katansempurna ini.
Bantu dukung author agar lebih semangat nulisnya dengan vote coment dan share cerita saya keteman- teman kalian ya,
Dan follow akun author untuk selalu update kelanjutan ceritanya.
Maaf jika typo masih bertebaran dimana-mana,
Insyaallah direvisi setelah cerita ini selesai, jadi silahkan bantu author untuk menadai kalimat typonya, terima kasih.

See you next chapter ➡️

Rindu Yang TertundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang