Cursed Words

1.5K 322 59
                                    

Friend, tolong kasih tahu kalau ada typo, ya. Belakangan ini aku males baca ulang berkali-kali, hihihi.

----

ENTAH sudah berapa lama aku tertidur. Ketika membuka mata, aku nggak segera ingat apa yang terjadi. Saat aku meluruskan tatapan, mataku menangkap bayangan Ardo pada standing mirror yang berada di samping lemari pakaian. Dia duduk di sampingku, bersandar pada headboard dengan ponsel di tangan. Karena aku memunggunginya, dia nggak tahu aku sudah bangun. Maka pemandangan ini mengingatkan aku pada apa yang terjadi.

Perutku sudah nggak melilit. Beberapa keping Regal punya Kunyit, teh, dan Polysilane sebelum tidur tadi, sudah bekerja sama dengan baik. Kombinasi ketiganya itu kini meninggalkan pahit di mulut. Aku berpikir untuk sikat gigi, tapi masih belum menggerakkan badan karena masih sedikit mual.

Aku terus memandangi cermin dan menakar ekspresi lelaki berkaus putih polos di situ. Wajahnya terlihat biasa aja. Kalaupun aku yakin tadi dia marah, itu karena dia memang selalu meluapkan kekesalan dengan ekspresi datar. Lagian, sekesal-kesalnya dia sama aku, kekesalan itu nggak pernah membatu. Sebentar aja, sudah larut, seakan nggak pernah terjadi apa-apa.

Tapi ... dia masih memakai kausnya. Nggak akan ada yang melekat di badannya selain bawahan tiap kali dia mau tidur, sedingin apa pun. Ada aku yang dia jadikan thermostat untuk menjaga suhu tubuhnya secara otomatis. Maka artinya cuma satu, dia nggak bisa tidur. Baby Huey ini butuh aku untuk bisa tidur.

Aku beringsut duduk, perlahan menurunkan kedua kaki.

"Ke mana, Sayang?"

"Sikat gigi."

"Bisa bangun? Nggak pusing?"

"Nggak pusing."

Dia ikut bangun. "Abang antar, yuk."

"Nggak usah. Bisa."

Dia nggak mengikuti aku ke kamar mandi. Hanya aja, begitu aku selesai, aku menemukan dia bersedekap di depan pintu dengan senyum yang biasanya kupuja-puja. Biasanya. Karena kini senyum itu semu.

"Jam berapa?" tanyaku.

"Satuan." Dia merangkulku. Niatnya ingin membantu aku berjalan.

Aku mendorong pelan pinggangnya. "Nggak usah, sih."

Dia pun menahan langkahnya untuk menciptakan jarak.

Setelah beberapa langkah, aku teringat tamparan tadi. "Adek minta maaf, ya, Bang. Tamparan tadi, nggak sengaja. Maksudnya mau tepis tangan, malah nyasar." Walau sebenarnya rasa bersalah itu nggak ada, aku mengatakannya juga. Cuma jangan sampai dia kira aku sengaja.

"I know."

Tiba di kamar, aku kembali berbaring. Dia juga kembali ke posisi semula, kembali dengan ponselnya.

"Kenapa nggak bobok?" tanyaku.

"Sebentar lagi," jawabnya setelah jeda beberapa detik.

Aku tahu arti jeda itu, maka aku merentangkan tangan kiriku.

Sini.

Maksud hati pengin bilang, sini, supaya dia menggelesor, memelukku seperti biasa, menyembunyikan wajahnya di pundakku. Namun, nggak terucap, seketika beku demi melihat keseriusannya sama ponsel. Aku kembali memunggunginya.

* * *

LIMA hari berlalu, gangguan lambungku maju terus pantang mundur.

"Buuu ... kalau maag teh jangan minum kopi sama yang asem-asem atuh." Mini bergidik melihat aku mengiris lemon, padahal habis minum kopi.

"Penginnya ini, Min. Puas."

Medium Rare Mom [Elex Media]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang