Kritikus Kesiangan

1.6K 316 55
                                    

AKU duduk di depan meja makan dengan Instagram di tangan. Scrolling up, scrolling down, dengan pikiran bercabang. Sementara, cahaya matahari pagi setara lampu ratusan watt, menerangi dapur dan ruang makan yang berdampingan dengan teras belakang. Soundtrack pembuka hari ini, masih sama, masih orkestra yang tercipta dari deru pompa air, dengung kulkas, dengung mesin cuci, lagu dari film kartun "Shimmer & Shine" dari tivi di dalam, dan gelegak halus air yang mulai mendidih di atas kompor.

Ardo pernah bilang, rumah dengan kesibukan sederhana semacam ini, priceless banget. Dia nggak pernah mendapatkannya di tempat lain selain di rumah keluargaku yang di kampung. Sejak itu, dia mulai memimpikan rumahnya sendiri. Kini dia mendapatkannya. I guess.

Aku? Nggak tuh. Semua ini hal biasa, sehari-harinya aja. Oh oke, rumah tanpa berkarung-karung kopi dan tumpukan perkakas masak (baca: pekerjaan kotor seperti di rumah keluargaku), memanglah impianku sejak kecil. But, to tell you the truth, setelah hampir dua tahun aku nggak bekerja, semua ini tetap bermuara ke samudra bernama Hampa.

"Halo, Sayang." Suara Ardo. Baru bangun.

Aku melirik. Kebiasaan! Selain boxer longgar, nggak ada apa-apa lagi di badannya. "Kalau Mini lihat yang ngaceng di bawah sana, apa dia nggak gemes pengin cabut sampai ke akar?"

Dia terkekeh, menepuk-nepuk aset di bawah sana yang masih sama mencuatnya dengan rambutnya. "Turmeric, mana?"

"Kelayapan ke taman sama Mini, sambil disuap."

Kedua tangannya direnggangkan ke atas. Bagian ujung tato ilustrasi namaku, emmanuella, di dada kanannya, ikut sedikit merenggang. Eh ... aku sudah pernah bilang kalau dia bertato nggak, sih? Belum, ya? Yah dia mulai tatoan setelah aku bikin dia patah hati. Mengakunya begitu.

Selain di dada, kedua lengan atasnya juga dilingkari tato berwarna abu-abu dan hitam. Gambarnya ... ck, entahlah gambar apa. Kayak-kayak tribal. Ditanya, apa filosofinya, jawabnya: nggak ada. Nah, tato ilustrasi namaku itu tampak aneh. Huruf pertama mencong kayak dicoret, bekas jahitan gara-gara ditebas begal.

Anyway, Ardo mengaku nggak pernah khilaf sama cewek yang pernah dipacarinya sebelum balik sama aku. Aku percaya? Ya iyalah. Kalau khilaf, buka baju, begitu baca tatonya, cewek itu juga bisa khilaf dan mengebiri dia. Ardo juga mengaku, andai nggak bisa balik lagi sama aku, ketimbang buang uang membersihkan dadanya, dia akan memilih mengakuinya sebagai nama neneknya ke orang-orang yang bertanya.

"Wuidih!" serunya. "Tumben masak ini." Dia duduk di sampingku dan mengambil selembar roti cane dari tumpukan.

Aku menggeser piring kosong ke depannya, sebelum dia main celup roti ke mangkok berisi kari begitu aja. "Bukannya situ yang minta tadi pagi?" pancingku.

"Kapan?" tanyanya seraya mengisi piring dengan kari.

"Sebelum tidur."

Jidatnya mengerut, tangannya memasukkan suapan pertama ke mulut. "Hehelum hihur? Maha hih?"

"Apa yang Abang ingat memangnya?"

Dia menelan isi mulutnya. "Wangi rambut Adek. Bikin lemes, hehe."

Cuma itu? Sama sekali nggak ingat apa pun soal kidswear? "Apa lagi?"

Dia nyengir. "Manuver Adek yang terakhir-terakhir. Sukaaak. Lagi, yuk?"

Kudorong mukanya yang maju pengin nyosor mukaku. Dia terkekeh-kekeh dan lanjut makan.

Aku kembali ke Instagram. Dengan jempol masih scrolling down, aku kembali berpikir gimana caranya meminta modal. TRENG! Tiba-tiba, filamen wolfram berpijar di kepala. Ide muncul seketika sewaktu jempolku menabrak gambar sebuah tas, entah merek apa, entah harga berapa.

Medium Rare Mom [Elex Media]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang