M A K punya gaya saat berbelanja di pasar. Misal, Mak mau beli wortel. Dia menanyakan harga di lapak A, B, lalu C. Ujung-ujungnya, kembali ke lapak A hanya karena di lapak lain lebih mahal lima ratus perak.
Sekarang ini kontrol rutin. Aku mendapat urutan ke (((tiga puluh dua))) seorang dokter kandungan yang sudah sepuh. Para perawat memanggilnya Eyang. Seperti kasus Mak tadi, Eyang ini adalah lapak A.
Berawal dari aku kapok sama antreannya panjang, jang, jang banget. Aku cari dokter lain, deh. Kemudian, balik lagi ke haribaan beliau karena dokter B dan C (masing-masing di RS yang berbeda) mengatakan pertumbuhan janinku di luar kenormalan. Bahkan dengan halusnya dokter B menganjurkan janinku dibuang. Kalau aku nggak meremas tangan Tukang Balon dan buru-buru pamit, percayalah tangan itu akan meremas mulut si dokter B.
Tahu apa kata Eyang? "Ya kecil ndak pa-pa. Wong ibunya kecil, kok. Nanti gampang gedeinnya kalau udah di luar." Apakah ucapan itu adalah bentuk penyamaran kondisi sesungguhnya, entahlah. Aku dan Tukang Balon nggak mau tahu. Sungguh nggak mau tahu. Kami cuma ingin anak kami lahir. Apa pun yang terjadi kemudian, biarlah menjadi urusan kemudian.
Nah, sekarang masih nomor empat, penantian masih panjang. Untuk mengisi waktu, aku video calling sama Mama. Tukang Balon? Ada di sampingku dengan kotak berisi setengah lusin donat dan kantong plastik berisi dua cup puding plus Aqua dingin. Semua punya dia, kok. Sebulanan ini aku cuma sanggup makan sesendok dua sendok dan teh hangat manis-manis-jambu. Teh harus merek yang itu dan harus Tukang Balon yang bikin.
"Kalau tak mau lama-lama, ya jangan Sabtu ke dokternya. Hari biasa aja," kata Mama.
"Biar bisa diantar sama beruk ini, Ma," jawabku seenaknya.
"Kan, aku juga kangen sama beruk di dalam situ, Ma," timpal Tukang Balon.
Ya. Buatku, kontrol rutin ini agenda temu cemas. Buat dia, temu kangen. "Biar dia juga rasain derita hamil," kataku. "Jangan tahu bikinnya doang."
"Sampai sekarang aku nggak tahu derita hamil, cuma jadi tahu derita punya istri hamil." Tukang Balon terkekeh-kekeh. Omongannya suka melunjak kalau di depan Mama.
Bla, bla, bla, donat tinggal satu, puding tinggal cup doang, air tinggal separuh, barulah giliranku.
"Dalam seminggu ini kayaknya, deh, Mbak. Udah mateng nih," kata Eyang usai mengintip dedek. Mateng, katanya. Yang terbaring di sini tuh bukan aku, tapi oven toaster. "Kita usahakan normal, ya."
Aku diam. Sementara perawat membersihkan perutku dari lubricant gel.
Tukang Balon tahu kenapa aku diam: aku nggak mau melahirkan secara normal. Aku nggak mau teriak-teriak kesetanan lebih dari 24 jam seperti teman kantor. In the end, dia dibelah juga karena pembukaan nggak bertambah-tambah. Sakitnya dobel, di hati dan di lubang masuk helium.
Tukang balon menoleh pada Eyang yang sudah duduk di kursi kebesarannya. "Gimana ba---"
"Sectio aja, Dok!" potongku.
Aku melirik Tukang Balon. Dia balas melirik dan terlihat menahan sebal. Entah apa yang barusan ingin dia katakan. Bodo amat. Pokoknya, sectio.
"Tolong bikin alasan emergency kayak gimanalah," kataku lagi. Biar bisa klaim ke kantor Tukang Balon, maksudnya. Sewaktu kontrol minggu lalu, aku sudah meminta price list ke petugas administrasi. Plafon asuransi dari kantor Tukang Balon, cukup untuk biaya sectio dengan kamar VIP. Berhubung Tukang Balon memaksa VVIP, sisanya bisa aku klaim ke kantorku.
Eyang tersenyum. "Kenapa? Biasanya orang-orang pengin normal, kok kamu pengin dibelek?"
"Aku udah nggak tahan. Bisa sekarang aja nggak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Medium Rare Mom [Elex Media]
Ficción GeneralBehind the story of A Man Who Loves You