WELL .... Menjadi emak-emak rumahan tanpa penghasilan ternyata nggak menakutkan seperti yang kupikir. Oke, aku tetap takut suamiku minggat atau nggak bisa mencari uang lagi. Namun, aku sudah menekan tombol pause untuk semua itu karenaaa ... aku sibuk.
"Menu baru terus, Dek." Ardo memandangi isi meja makan. Menu baru, maksudnya jenis makanan ala negeri lain yang nggak pernah kumasak sebelumnya.
"Enak?" Aku bertanya walaupun tahu percuma. Dia ini, kan, bangkesaurus, jenis omnivora dengan prinsip: enak nggak enak, yang penting kenyang.
"Hmm," dia mengangguk-angguk dengan mulut penuh.
Lain waktu, sepulang kantor, dia tahu-tahu sadar dan takjub pada sesuatu yang sebetulnya sudah menjadi fenomena sejak beberapa minggu belakangan.
"Perasaan sekarang-sekarang ini Abang nggak pernah lihat Bukit Barisan (baca: pakaian yang belum disetrika) lagi, deh."
"Hohoho." Aku mengekeh. "Punya bini rajin nyetrika, rajin masak menu baru, rajin beberes, bangga nggak?"
"Biasa aja."
Meh! "Segitunya ...."
"Aku nggak nyari bini biar nyetrika, masak, atau beberes."
"Biar apa, dooong?"
"Biar happy," jawabnya. "Nyetrika, masak, beberes, bikin Adek happy? Hah! Nggak normal."
"Memang nggak, Paduka yang Mulia. Tapi kalau bukan Adek yang melakukan semua itu demi dikau bahagia, lantas siapa lagi?"
"Hire someone." Dia berlalu ke kamar mandi.
Aku tertawa-tawa sendiri. You know nothing, Jon Snow.
Yeah, Jon Snow. Kalau nonton "Games of Thrones", pasti tahu Jon Snow.
Kali itu dia pulang dan takjub melihat aku dan Kunyit berjejer di kasur dengan model rambut baru. Kunyit potong poni doang, sih. Rambut panjangku yang dibabat habis, nyaris secepak papanya.
"Eciyeee!" Ardo terkekeh-kekeh. "My ladies ke salon duaan nih, yeee."
Kunyit langsung buang ponselnya (as always), lalu berdiri, minta digendong papanya. Aku yang sedang menonton Netflix, cuma nyengir.
Dia menggendong Kunyit sambil mengelus-elus perutnya sendiri. "Laper, Sayang."
Ups!
"Hehehe ... maap. Adek keasyikan nonton Marco Polo ini seharian, jadi nggak masak."
Keningnya mengerut. "Games of Thrones sudah selesai, ya?"
"Sudah dari tiga hari lalu, kalik."
"Balap amat?"
"Balap, dong. Kan, masih ada 68 dari 100 film yang harus ditonton sebelum aku mati. Masih ada 5 dari 10 series yang harus ditonton sebelum 100 film tadi membuat aku mati."
"Jangan dibalap, dong, Sayang." Raut wajahnya berubah, kayak yang khawatir banget mesin mataku bakal makin rusak. "Entar matinya kecepetan."
Dem.
Daripada meladeni guyonan horornya, terus dia nggak kunjung makan, aku duduk dan mulai membuka aplikasi kesayanganku di ponsel. "Mau makan apa, Babe?"
Dia duduk di sampingku karena Kunyit mulai mendaki pundaknya dengan brutal, mirip atlit panjang tebing. "Barusan katanya nggak masak?"
"Dewa yang masak."
"Apaan?"
Aku mengekeh. "Adek nggak pernah nyetrika, masak, atau beberes, My Man. Yang menyibukkan Adek selama ini cuma film. Lainnya jadi tugas para dewa," jawabku. "Dewa masak, namanya God-Food. Dewa setrika dan beberes, namanya God-Clean. Dewa salon, namanya God-Glam. Masih banyak dewa lain yang bisa disembah sesuai kepentingan."
![](https://img.wattpad.com/cover/269872454-288-k176938.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Medium Rare Mom [Elex Media]
Ficção GeralBehind the story of A Man Who Loves You