Really?

1.7K 331 80
                                    

KURSUS sudah berlalu sepuluh kali. Semakin hari, aku nggak semakin betah. Agnes, guru berwajah Donatella Versace di depanku itu biangnya.

Katanya, tempat kursus ini berasal dari negara yang menjadi kiblat fashion dunia. Agnes pun lulusan sana dan punya butik yang lebih banyak menghasilkan rupiah. Mengajar cuma pelampiasan passion. Begitulah yang tertangkap telingaku saat mendengar obrolan mereka. Mungkin itulah alasan Agnes sombong padaku dan dua peserta kursus lain seperti Kevin dan Yuni. Kevin bilang, "Kita kelihatan misqueen."

Pada kedatanganku yang pertama, Agnes langsung menyuruhku membuat pola dasar blus sesuai instruksi buku manual, halaman 11 sampai 19, lalu dia meninggalkanku. Ke mana? Nggak ke mana-mana, dia cuma pindah ke station di seberangku, bergosip ria dengan Resti dan Ivana yang terlihat sangat akrab dengannya. Kevin bilang, "Resti sama Iva mah tajir melintir."

Waktu itu aku rada nggak happy. Yang kubayangkan, metode pengajaran akan sangat interaktif. Guru side by side dengan murid, memperkenalkan istilah-istilah di dunia jahit menjahit, menjelaskan gimana memahami instruksi dan kenapa harus dibuat seperti itu. Kan, begitu yang kulihat dari begitu banyak tutorial menjahit di YouTube.

Tapi, aku diam dan melakukan sesuai perintahnya.

Dan selama bekerja, fokusku agak terpecah. Aku nggak bisa sepenuhnya mengalihkan telinga dari riuh obrolan mereka. Tentang penilaian mereka terhadap pilihan fashion para seleb, tentang tongkrongan mereka (semacam kelab malam), tentang Agnes yang LDR sama bule Amrik, tentang kucing anggora si bule yang nggak bisa bobok kalau belum Skype sama Agnes, tentang ... ah pokoknya semua hal yang bukan aku banget, deh. Khususnya tentang rencana mereka jalan-jalan keliling Eropa.

Omong-omong soal Eropa, nih. Sebelum married, Ardo kasih pilihan. Satu, honeymoon keliling Eropa seperti Bang Mikha. Juga karena Ardo tahu keliling Eropa ada dalam daftar 100 things to do before I die di diary masa ABG-ku, sih. Kedua, duitnya buat down payment rumah. Aku jawab, "Dua-duanya." Dia nyengir kuda. Katanya, "Kalau mau dua-duanya, Adek harus bersedia jaga lilin tengah malam pas Abang cari uang."

Huh! Aku memang pernah berjanji: I'll stick with you through whatever. Tapi bukan berarti aku mau ngintilin Ardo-ngepet ke neraka. Makanya aku pilih yang kedua aja. Tentang yang pertama, karena kami menikah di Jakarta, honeymoon malah pulang kampung. Epic.

Anyway, sampai sekarang aku masih belum tahu Eropa tuh sebelah mananya rekening Ardo.

Oke, kembali ke Agnes-bukan-Mo. Tiap aku mengajukan pertanyaan, dia datang, menjawab ala kadar, lalu kembali ke kubangan mereka.

Pertanyaanku, misal, "Kenapa kerung lengan bagian depan, caranya beda dari bagian belakang, Miss?" Gimana aku nggak nanya, wong selisih hasilnya cuma 3 mm.

"Baju cewek, ya gitu. Cewek, kan, ada dadanya."

Pola yang sedang kukerjakan ini untuk anak usia tiga bulan. "Bayi ada dadanya, Miss?"

Aku merasa pertanyaan dan nadaku tuh biasa aja. Benar-benar bertanya, bukan membantah. Kok, muka Agnes mendadak kecut?

"Emang kayak gitu!" tegasnya.

Aku cuma bisa menghela napas.

Ketika kemudian dia mengumumkan waktunya makan siang, berakhirlah sesiku hari itu, polaku belum selesai.

Aku menyelesaikannya di rumah. Sekalian kubikin juga jiplakan (buat dipotong-potong), supaya besok aku bisa masuk ke fase berikut, yaitu memindahkan potongan jiplakan itu ke kain. Syukur-syukur bisa sampai pemotongan kain, lanjut menjahit.

Medium Rare Mom [Elex Media]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang