Kedatangan Axel ke kelas 11 IPA 2 membuat seluruh penghuni kelas refleks menghentikan kegiatannya dan menatap ke arah cowok itu.
Axel dengan aura dominannya melangkah masuk tanpa rasa takut. Cowok itu lalu duduk di kursi depan Regina yang masih kosong.
Regina yang menyadari ada seseorang, mendongak. Pupil cewek itu melebar kala melihat Axel duduk di depannya, menatapnya lurus.
"Axel .... " Regina berdehem kikuk. Cewek itu melirik ke sekelilingnya dan mendapati beragam ekspresi yang dilontarkan padanya.
"Kamu ngapain?" bisik Regina meremas jari-jarinya di atas meja.
Axel yang menyadari kegelisahan cewek itu memilih mengajak Regina keluar. "Mau ngobrol. Ayo, keluar," ujar cowok itu sambil berdiri dan mengulurkan tangan pada Regina.
Bola mata Regina bergerak liar. Bimbang, antara mengikuti ajakan Axel atau menolaknya saja.
"Kenapa? Ga mau?" Karena Regina tak kunjung menerima uluran tangannya, Axel memasukkan tangannya ke dalam saku.
Masih dengan posisi berdirinya, Axel bersandar pada meja di belakangnya. Tatapan cowok itu tak lepas dari Regina yang kini menunduk. Wajah cewek itu terlihat cemas.
Axel menghela napas, sabar menunggu sambil mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kelas. Dia baru menyadari tatapan tajam teman sekelas Regina pada cewek itu.
"Ayo."
Axel tahu apa yang Regina cemaskan. Maka dari itu, dia langsung menarik lengan Regina pelan dan menuntun cewek itu keluar kelasnya.
"Mereka sering gitu ke lo?" tanya Axel melirik Regina.
Regina menggeleng pelan. "Enggak."
"Oh," angguk Axel lalu mengeratkan genggamannya saat melihat sosok Clara yang sedang berdiri di depan kelasnya.
Sesekali, Axel lupa kalau kelas Regina bersebelahan dengan kelas Clara. Hal yang membuatnya kerap kali berpapasan dengan cewek itu jika Axel mengunjungi kelas Regina.
Axel melewati Clara dengan pandangan lurus ke depan. Sedangkan Regina hanya melirik singkat pada cewek yang memasang raut sulit itu.
Regina merapatkan tubuhnya pada Axel membuat cowok itu menatap Regina. "Kenapa?"
Regina menggeleng. "Kita mau ke mana?" tanyanya.
"Taman belakang."
Axel duduk di bawah pohon mangga dengan Regina di sebelahnya. Cowok itu menatap Seth dan William yang ternyata masih berada di posisi semula. Seth dan William memasang ekspresi yang tak bisa Axel jelaskan.
"Axel."
Axel menoleh pada Regina yang memandanginya bingung. "Mau ngomong apa?"
"Apa aja," sahut Axel menghadirkan kerutan di kening Regina namun tak lama kemudian cewek itu terkekeh geli.
"Kok ketawa?" tanya Axel menatap cewek itu.
Regina sontak menghentikan tawanya lalu meringis. Melihat itu, Axel jadi terkekeh geli. "Tadi ngapain pas gue belum dateng?"
"Ya belajar."
"Anak pinter emang beda, ya." Axel menatap Regina kagum.
"Ga juga. Biasa aja," bantah Regina.
"Biasa gimana? Lo gampang nyari kuliah nanti karena lo pinter."
"Belum tentu." Regina tersenyum kecut. "Kalau ga ada biaya ... otak pintar kadang ga bisa apa-apa."
Bukannya merendah untuk meroket, hanya saja apa yang Regina bilang adalah fakta. Cewek itu nyaris tidak lanjut sekolah karena tidak ada biaya sama sekali.
Sekalipun ada beasiswa, namun itu semua belum bisa menutupi biaya-biaya tambahan yang harus dia tanggung.
Regina menunduk sesaat. Cewek itu menekuri jari-jari tangannya yang bertaut. Dia harusnya bersyukur karena Tuhan membantunya agar dia tetap bisa bersekolah tapi ada hal yang harus dia korbankan demi itu.
"Kenapa?" tanya Axel yang menyadari Regina sedang melamun. "Lo ada masalah, hm?"
Regina mengerjap lalu menggeleng. "Enggak. Aku cuma kepikiran ayah," katanya pelan lalu merogoh ponselnya yang berbunyi.
Axel memandangi cewek itu lama. Hingga wajah Regina terlihat pucat dan dia buru-buru berdiri membuat Axel bingung.
"Mau ke mana?"
"Aku— aku mau ke kelas," jawab Regina cepat.
Axel berdiri. "Ayo, gue anter."
"JANGAN!"
Axel mengernyit melihat gerak-gerik Regina yang seperti orang panik. "Aku sendiri aja," pungkas cewek itu lalu berlari meninggalkan Axel yang masih kebingungan.
"Kenapa, tuh? Buru-buru amat keliatan." Seth bertanya saat Axel melangkah ke arahnya.
"Ga tau."
Axel melirik pada William yang tengah sibuk dengan ponselnya. "Masih?"
"Hm?" William mendongak lalu mengangguk. "Ya, masih."
"Oh, semoga aja lo ga diporotin."
"Kagak, elah."
William berdecak kesal. Lagi-lagi, tiap dia punya pacar, teman-temannya akan menjadi intel dadakan. Bukannya gimana. William itu anak konglomerat. Banyak yang mau dengan cowok itu entah karena wajah tampannya ataupun hartanya.
Dan bodohnya lagi, William tipe orang yang gak enakan. Dia suka membantu dan gampang kasihan, hal yang membuatnya kerap kali dimanfaatkan.
"Nanti kalau kebukti ... lo harus buka mata," kata Axel serius.
"Iya," angguk William patuh.
'Lo ga tau aja kalau yang lagi diporotin itu lo sendiri.'
{}
William Henry
KAMU SEDANG MEMBACA
AXEL
Teen FictionClara itu egois. Dia menyukai Axel dan melakukan apa saja agar Axel melihatnya. Dari sekian banyak cowok yang bertekuk lutut di bawahnya, yang Clara mau cuma Axel. Hanya Axel seorang. Axel adalah pangeran. Cowok dengan rahang tegas dan tubuh tinggi...