Chap 17

13K 1.8K 151
                                    

Aku kebingungan, termangu seperti baru saja mengeluarkan pernyataan bodoh. Setelah melempar umpan, mulutku malah terkatup begitu mendengar pertanyaan balik dari Alvaro. Kesalahan? Lelaki itu bertanya jenis kesalahan apa yang kumaksud. Apa aku sanggup menanyakan perasaannya dengan lantang tanpa memperburuk situasi? Nyaliku sontak menciut memikirkannya. Aku benci bertengkar setelah melewati hari yang memelelahkan. Pada akhirnya hanya permintaan pergi ke kamar untuk beristirahat yang terucap.

Dengan sisa tenaga aku mencoba berpikir positif di sela waktu membersihkan diri meski obrolan bersama Genta cukup menganggu. Citra Alvaro digambarkan penuh pesona. Ia piawai memikat lawan bicara. Salah satu kelebihannya hingga bisa mengembalikan kejayaan perusahaan yang hampir bangkrut. Kaum hawa senang berada di dekatnya. Selain wajah, tubuhnya menunjang penampilan. Ia selalu bugar sekalipun harus bolak-balik Jakarta Bandung setiap minggu. Entah berapa banyak yang patah hati karena Alvaro menganggap kedekatan mereka sebatas hubungan casual.

Di antara sekian banyak berita Alvaro tidak pernah membahas kisah asmaranya terlalu dalam, entah karena privasi atau tak cukup istimewa untuk dibagikan. Semua itu pernah membuatku beranggapan buruk, menilainya tak lebih satu di antara sekian banyak lelaki berengsek sebelum mengenalnya hingga mendengar informasi tentang lelaki itu berapa jam lalu.

Apakah Alvaro masih terikat oleh kenangan masa lalu seperti yang Genta katakan? Rasanya sangat menyebalkan karena suka tidak suka berita itu membuatku semakin penasaran. Bukan sekali ini aku dihadapkan pada kenyataan yang tidak sesuai ekspektasi tetapi tetap saja rasanya luar biasa mengejutkan.

Perlahan aku menaruh handuk di senderan kursi seusai mandi. Pandangan mengedar ke sekeliling kamar. Tempat ini selalu menjadi zona paling nyaman dibanding bangunan utama. Jemari mulai merapikan rambut sambil menatap cermin. Gurat lelah tersapu air dingin. Badan lebih segar dalam balutan piama. Aku mengulum senyum sembari membayangkan momen menyenangkan selain yang melibatkan Alvaro. Otakku perlu sejenak rehat dari segala sesuatu tentang lelaki itu.

Lima menit kemudian aku disibukkan membaca sejumlah catatan di meja. Otak melahap tulisan demi tulisan di depanku. Rumus demi rumus yang rumit.

Konsentrasi buyar bersamaan deringan ponsel. Nama Alvaro menghias layar. Dengan malas-malasan aku memggeser tombol berwarna hijau.

"Sudah istirahatnya?" Sambutan tak sabar terdengar dari seberang.

"Ada masalah?"

"Bukannya kita akan bicara?" Aku terdiam sesaat, mengingat-ingat apakah melupakan sesuatu. "Bagus kalau kamu tidak tertarik lagi."

"Aku belum bilang apa-apa." Gerutuan meluncur dari bibirku. Otakku dipenuhi kata-kata bernada kesal.

"Kalau begitu cepat kemari. Nenek sudah menunggumu untuk makan bersama." Panggilan itu terputus sebelum mulutku terbuka. Seperti biasa Alvaro kadang suka seenaknya.

Tanpa menunggu karena tidak ingin membuat yang lain menunggu, aku segera merapikan penampilan lalu bergegas keluar.

Tawa renyah Alvaro terdengar saat menyusuri koridor. Sahutan Nenek Euis menimpali suara berat lelaki itu. Kepalaku membayangkan raut bahagia keduanya layaknya keluarga harmonis. Gambaran itu tidak meleset. Nenek Euis tampak sumringah sementara Alvaro mendengarkan saksama perempuan di hadapannya di meja makan. Gerakanku melambat agar tidak mengusik pembicaraan mereka hingga tiba-tiba saja jantungku seakan berhenti berdetak. Sebuah lirikan yang diiringi senyuman menyambutku. Alvaro menarik kursi di sampingnya. Aku berusaha keras mengusir gugup yang muncul.

Susana makan malam terasa hangat. Nenek Euis bercerita tentang kehidupannya saat muda. Sebenarnya aku sudah sering mendengar cerita-cerita itu tetapi demi kesopanan, aku tetap antusias mendengarnya. Sementara Alvaro tidak banyak bicara. Ia sering terang-terangan menatapku daripada menyantap makanan.

LIMERENCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang