chap 22

10.1K 1.2K 85
                                    

Kegelisahan semakin menjadi. Telapak tangan terasa sangat dingin. Kepala mendadak pusing. Setiap detik perasaan semakin tak karuan. Setiap menit jantung berdegub kencang.

Bayangan Mama menunggu dengan raut kemarahan membuatku ingin melarikan diri. Pergi sejauh mungkin yang bisa kaki tempuh. Kenyataannya aku terduduk lemas di bangku depan mobil bersama Alvaro dan Nenek Euis. Sejak berangkat keduanya menyadari kekalutanku. Mereka berusaha meyakinkanku semua akan berakhir baik.

Awalnya aku menolak niat mereka ikut menemui Mama. Beranggapan hal itu bukan keputusan bagus. Kesan pertama sangat penting. Aku tidak ingin membuat kenangan buruk karena kami bertemu di waktu yang kurang tepat. 

Alvaro berulang kali memintaku berpikir sebaliknya. Kedatangannya untuk meluruskan kesalahpahaman. Menjelaskan tentang hubungan kami.

Nenek Euis sependapat dengan cucunya. Dibanding diriku, perempuan paruh baya itu justru sangat tenang. Tidak ada tanda kekhawatiran atau cemas. Ia begitu bersemangat. Penampilannya pun layaknya akan pergi ke jamuan penting.

Aku mencoba tersenyum, mengikuti alur keduanya meski sulitbersikap lepas. Perasaan bercampur aduk. Semuanya begitu tiba-tiba meskipun sadar cepat atau lambat hubungan kami akan terbongkar tetapi bukan kekacauan seperti ini yang kuharapkan.

"Tenang, Frey." Alvaro melirik. Sebelah tangannya meremas lembut bahuku yang kaku. "Tarik napas dan bayangkan sesuatu yang menyenangkan."

"Susah, Mas." Pandangan kualihkan padanya. "Mas yakin pilihan kita benar? Apa sebaiknya aku pergi sendiri."

Senyuman Alvaro mempertegas garis wajah kokoh. Jemarinya  menyentuh pipiku. Daya tariknya luar biasa tetapi kali ini ketakutan pada Mama lebih mendominasi. "Sekarang waktu yang tepat. Menunda memberitahu ibumu akan menciptakan masalah-masalah baru. Jika kita tidak menyelesaikannya dengan baik, ke depannya kamu bisa kewalahan menghadapi semua itu."

"Tapi..." Tanpa sadar aku mengigit bibir keras-keras. Penghiburan Alvaro tidak cukup menenangkan. "Mas yakin tentang kita? Situasi kita akan berbeda setelah Mama tahu. Sebagai orang tua..."

Tawa renyah mengalun dari bibir Alvaro menutup mulutku. Lelaki itu benar-benar tidak menampakan ketegangan. Padahal pertemuan nanti dapat mengubah hidup kami. "Apa bedanya ibu kamu dan nenekku. Sekalipun Nenek bertindak impulsive menjodohkan kita, dalam hati ia pasti ingin kita menjalani hubungan ini dengan serius. Benar kan, Nek?"

Nenek Euis tidak bersuara. Rupanya ia tertidur entah sejak kapan.

"Justru karena hubungan kita diawali ketidaksengajaan. Mas yakin tidak perlu waktu tambahan  sebelum bertemu Mama supaya lebih siap?"

"Freya sayang. Ketakutanmu berlebihan. Tanpa mengurangi hormatiku pada ibumu, aku pernah bertemu dengan orang-orang hebat pada saat kepercayaan diri sedang tidak bagus. Situasi kali ini serupa bahkan pertaruhannya lebih besar. Aku percaya bisa menangani permasalahan kita sebaik mungkin. Jangan cemas."

Bahuku melemas. Ketegangan menguras begitu tenaga. Kepalaku menunduk. "Yang kurasakan lebih dari sekadar cemas. Bagaimana kalau pertemuan nanti gagal. Semua akan sia-sia."

Rengkuhan lembut menarikku bersandar di dada bidang Alvaro. Tangannya yang bebas membelai kepalaku. Untuk sesaat aku melupakan keberadaan Nenek Euis. "Cara tercepat menghancurkan rasa percaya diri adalah memupuk pikiran negatif. Membuatmu berpikir menyerah sebelum melangkah. Semakin lama kamu takut oleh bayangan yang kamu ciptakan sendiri dalam kepala. Ingat Sayang, hubungan ini tentang kita. Aku punya andil dalam mengambil keputusan. Dan karenanya aku akan mencari cara agar kita bisa tetap bersama. Jangan pernah berpikir kamu berjuang sendirian."

"Bagaimana Mas bisa setenang ini," keluhku pelan. "Mas belum tahu sifat dan karaker Mama. Salah bicara sedikit bisa bahaya."

"Sudah terlambat kalau ingin mundur."

LIMERENCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang